Menimbang
Kritik Perumusan Delik Zina
dalam
RUU KUHP
Novi Inayatun Nadziroh ; Mahasiswa Fakultas Hukum UGM;
Peserta Rumah Kepemimpinan Regional
Yogyakarta Angkatan 8
|
REPUBLIKA,
06 Februari
2018
Rancangan
Undang-Undang (RUU) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terbaru kini sedang digodok di DPR dan
telah menuai beberapa kontroversi. Salah satu dari kontroversi ini adalah
pada kriminalisasi zina. Sebelumnya, dalam KUHP yang lama perumusan delik
zina dianggap kurang mengakomodir beberapa hal termasuk terkait kumpul kebo.
Untuk itu, RUU KUHP pada
draf sementara telah memperluas rumusan delik zina pada pasal 284 KUHP lama
untuk mencakup setiap hubungan seks konsensual di luar perkawinan (fornication/extramarital
sex). Ini termasuk hubungan seks antara pasangan yang sama-sama belum
kawin.
Muncul beberapa kritik
terhadap perumusan ini, yang umumnya mengerucut pada tiga hal. Di antaranya
pertama, korban perkosaan yang terbukti persetubuhannya namun sulit untuk
membuktikan paksaannya berisiko untuk justru terjerumus delik zina.
Kedua, pasangan yang
menikah secara siri atau secara adat dapat dikenakan delik zina karena dalam
rumusan deliknya menyebutkan perkawinan yang sah dan tercatat di pencatatan
sipil dan disahkan oleh negara.
Ketiga, perluasan rumusan
delik ini juga dapat meningkatkan kriminalisasi terhadap anak di bawah umur
yang menjadi korban pelecehan seksual karena batasan usia 18 tahun
dihapuskan.
Perlu dikaji sejauh mana
kritik-kritik tersebut benar, dan bagaimana legislator harus menyikapinya.
Bagaimanapun juga, ketidakbijaksanaan dalam perumusan sebuah delik pidana
bisa membawa masalah walaupun objek kriminalisasinya benar.
Soal hal pertama, yakni
apakah persetubuhan tanpa dapat dibuktikan pemaksaan dapat dikenakan delik
zina? Sebetulnya, telah banyak sarana untuk membuktikan ada atau tidaknya
paksaan jika ia memang betul ada. Antara lain dapat menggunakan visum et
repertum perkosaan, ditunjang pemeriksaan fisik dan psikis yang dapat
dilakukan oleh dokter dan/atau psikiater/psikolog. Ini sudah biasa.
Lagipula, argumen ini
berdasarkan kemungkinan sulit terbuktinya delik sehingga pihak yang tidak
bersalah berpotensi terjerat delik lain. Bukankah masalah yang sama bisa ada
pada delik pidana lain? Misalnya, tidak sedikit kasus tuduhan perkosaan
dilayangkan oleh seseorang yang sebetulnya berzina suka sama suka, lalu
berubah pikiran entah karena menyesal atau malu atau alasan lain.
Kasus seperti ini tidak
sedikit dan berpotensi tersuburkan oleh stereotype ‘laki-laki suka menindas
dan memanfaatkan perempuan’. Tapi, belum kita dengar kritik serupa terhadap
kriminalisasi pemerkosaan.
Belum lagi ini bergantung
pada banyak pengandaian. Apakah aparat penerima laporan akan memilih untuk
tidak memproses laporan pemerkosaan dan malah memproses sebagai terduga zina?
Atau tersangka melaporkan balik dengan tuduhan zina dengan tetap
menjerumuskan dirinya?
Atau penuntut umum
menjadikan zina sebagai pidana alternatif? Atau setelah perkosaan tidak
terbukti, apakah penuntut umum akan melakukan dakwaan baru untuk zina? Perlu
dikaji dulu seberapa besar konkretnya potensi masalah ini sebelum betul-betul
dijadikan pertimbangan.
Dengan demikian, masalah
ini bukan pada perumusan delik pidana dan tidak pula menegasikan tujuan
kriminalisasi. Ini adalah masalah penegakan hukum saja.
Hal kedua, yakni apakah
nikah siri dan perkawinan adat dapat dikenakan delik zina? Permasalahan pokok
pada kritik ini terletak pada kata ‘perkawinan yang sah’. Dalam UU
Perkawinan, perkawinan yang sah dimaknai sebagai perkawinan yang tercatat
oleh pencatatan sipil dan disahkan oleh negara.
Hal ini juga diperkuat
dengan adanya Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 pada kasus Macica Mochtar
yang menegaskan bahwa nikah sah yang dikenal dalam tatanan hukum positif
Indonesia adalah nikah resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan nikah
siri atau nikah agama tidak dikenal. Hal ini dipakai sebagai dasar dalam
hukum perdata.
Solusi dari masalah ini
bisa ada dua kemungkinan. Pertama, bisa dibiarkan saja seperti itu. Tidak
sedikit kritik terhadap praktek nikah siri yang sarat eksploitasi dan
pelanggaran. Sebagai perbandingan, Malaysia memberi sanksi pidana untuk
siapapun yang tidak mencatatkan nikahnya (tetapi hukum Malaysia mengatakan
sah nikah selama rukun nikah terpenuhi, walaupun tidak dicatatkan).
Bisa saja ini dijadikan
salah satu titik mula untuk menyelesaikan fenomena nikah siri jika memang
dianggap sebagai masalah. Ini dapat ditunjang dengan peran aparat penegak
hukum, tokoh agama maupun adat untuk segera menguruskan pencatatan nikah jika
memang nikah siri dapat dibuktikan telah terjadi dan terjerat masalah zina.
Akan tetapi, solusi ini perlu kajian lebih karena kurang memberikan kepastian
hukum.
Solusi kedua adalah dengan
merumuskan delik yang akomodatif terhadap nikah siri maupun perkawinan adat
dalam rumusan delik tersebut. Ini dapat dilakukan dengan cara menyertakan
nikah siri dan adat dalam rumusan delik sebagai termasuk dalam ‘pernikahan’.
Solusi kedua ini bukan
tanpa potensi masalah karena dapat menimbulkan dualisme dalam pemaknaan
‘perkawinan yang sah’ antara hukum perdata (yang telah dijelaskan sebelumnya)
dan pidana melalui RUU KUHP ini. Akan tetapi, bukan hal baru untuk adanya
perbedaan makna untuk terminologi yang sama bila kepentingan hukum
menghendaki.
Misalnya dalam konteks
‘hak milik’ yang mana dalam hukum perdata tidak dapat diterapkan pada mayat,
sedangkan dalam hukum pidana mayat dianggap milik ahli waris. Permulaan
seseorang menjadi subjek hukum juga, secara umum dianggap dimulai saat
kelahirannya, tetapi dalam konteks waris dan aborsi ternyata janin dianggap
sudah jadi subjek hukum. Rumusan delik zina dan persoalan nikah siri atau
adat bisa jadi memerlukan perlakuan serupa.
Kita berharap para
legislator dapat teliti dalam melihat masalah ini dan mencapai perumusan yang
hati-hati, akomodatif, dan bijaksana.
Hal Ketiga, soal
kriminalisasi anak dibawah umur korban pelecehan seksual. Memang betul, Draf
RUU KUHP sementara ini tidak tidak mengatur terkait batasan umur pelaku zina.
Hal tersebut kemudian menuai kritik yang menyayangkan tidak adanya Batasan
umur tersebut.
Sebenarnya masalah ini
adalah perpanjangan dari kritik pertama, yaitu kekhawatiran tidak terbuktinya
unsur paksaan pada pengaduan pemerkosaan, sehingga nantinya anak-anak yang
dieksploitasi secara seksual dapat malah terjerumus delik zina. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, kekhawatiran ini berdasarkan banyak pengandaian dan
bukan merupakan masalah pada perumusan.
Kemudian, apabila ada anak
di bawah umur yang ternyata terjerumus dalam dugaan zina, tidak perlu ada
kekhawatiran bahwa anak-anak ini akan melalui proses pidana yang sama dengan
proses yang dijalani orang dewasa. Apabila anak-anak tersangkut dugaan zina,
maka KUHP tidak berlaku pada mereka dan digantikan oleh UU Sistem Peradilan
Pidana Anak yang sudah sejak lama diterapkan di Indonesia.
Di sana berlaku banyak
kekhususan dalam penanganan tersangka yang masih anak-anak yang sarat
pendekatan restorative justice, seperti penerapan diversi dan lain
sebagainya. Maka, sejatinya rumusan delik zina dalam RUU KUHP tersebut sudah
pas dengan tidak mencantumkan batasan umur di dalamnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar