Rabu, 07 Februari 2018

Menimbang Kritik Perumusan Delik Zina dalam RUU KUHP

Menimbang Kritik Perumusan Delik Zina
dalam RUU KUHP
Novi Inayatun Nadziroh  ;   Mahasiswa Fakultas Hukum UGM;
Peserta Rumah Kepemimpinan Regional Yogyakarta Angkatan 8
                                                  REPUBLIKA, 06 Februari 2018



                                                           
Rancangan Undang-Undang  (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terbaru kini sedang digodok di DPR dan telah menuai beberapa kontroversi. Salah satu dari kontroversi ini adalah pada kriminalisasi zina. Sebelumnya, dalam KUHP yang lama perumusan delik zina dianggap kurang mengakomodir beberapa hal termasuk terkait kumpul kebo.


Untuk itu, RUU KUHP pada draf sementara telah memperluas rumusan delik zina pada pasal 284 KUHP lama untuk mencakup setiap hubungan seks konsensual di luar perkawinan (fornication/extramarital sex). Ini termasuk hubungan seks antara pasangan yang sama-sama belum kawin. 

Muncul beberapa kritik terhadap perumusan ini, yang umumnya mengerucut pada tiga hal. Di antaranya pertama, korban perkosaan yang terbukti persetubuhannya namun sulit untuk membuktikan paksaannya berisiko untuk justru terjerumus delik zina.

Kedua, pasangan yang menikah secara siri atau secara adat dapat dikenakan delik zina karena dalam rumusan deliknya menyebutkan perkawinan yang sah dan tercatat di pencatatan sipil dan disahkan oleh negara.

Ketiga, perluasan rumusan delik ini juga dapat meningkatkan kriminalisasi terhadap anak di bawah umur yang menjadi korban pelecehan seksual karena batasan usia 18 tahun dihapuskan.

Perlu dikaji sejauh mana kritik-kritik tersebut benar, dan bagaimana legislator harus menyikapinya. Bagaimanapun juga, ketidakbijaksanaan dalam perumusan sebuah delik pidana bisa membawa masalah walaupun objek kriminalisasinya benar.

Soal hal pertama, yakni apakah persetubuhan tanpa dapat dibuktikan pemaksaan dapat dikenakan delik zina? Sebetulnya, telah banyak sarana untuk membuktikan ada atau tidaknya paksaan jika ia memang betul ada. Antara lain dapat menggunakan visum et repertum perkosaan, ditunjang pemeriksaan fisik dan psikis yang dapat dilakukan oleh dokter dan/atau psikiater/psikolog. Ini sudah biasa.

Lagipula, argumen ini berdasarkan kemungkinan sulit terbuktinya delik sehingga pihak yang tidak bersalah berpotensi terjerat delik lain. Bukankah masalah yang sama bisa ada pada delik pidana lain? Misalnya, tidak sedikit kasus tuduhan perkosaan dilayangkan oleh seseorang yang sebetulnya berzina suka sama suka, lalu berubah pikiran entah karena menyesal atau malu atau alasan lain.

Kasus seperti ini tidak sedikit dan berpotensi tersuburkan oleh stereotype ‘laki-laki suka menindas dan memanfaatkan perempuan’. Tapi, belum kita dengar kritik serupa terhadap kriminalisasi pemerkosaan.

Belum lagi ini bergantung pada banyak pengandaian. Apakah aparat penerima laporan akan memilih untuk tidak memproses laporan pemerkosaan dan malah memproses sebagai terduga zina? Atau tersangka melaporkan balik dengan tuduhan zina dengan tetap menjerumuskan dirinya?

Atau penuntut umum menjadikan zina sebagai pidana alternatif? Atau setelah perkosaan tidak terbukti, apakah penuntut umum akan melakukan dakwaan baru untuk zina? Perlu dikaji dulu seberapa besar konkretnya potensi masalah ini sebelum betul-betul dijadikan pertimbangan.

Dengan demikian, masalah ini bukan pada perumusan delik pidana dan tidak pula menegasikan tujuan kriminalisasi. Ini adalah masalah penegakan hukum saja.

Hal kedua, yakni apakah nikah siri dan perkawinan adat dapat dikenakan delik zina? Permasalahan pokok pada kritik ini terletak pada kata ‘perkawinan yang sah’. Dalam UU Perkawinan, perkawinan yang sah dimaknai sebagai perkawinan yang tercatat oleh pencatatan sipil dan disahkan oleh negara.

Hal ini juga diperkuat dengan adanya Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 pada kasus Macica Mochtar yang menegaskan bahwa nikah sah yang dikenal dalam tatanan hukum positif Indonesia adalah nikah resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan nikah siri atau nikah agama tidak dikenal. Hal ini dipakai sebagai dasar dalam hukum perdata. 

Solusi dari masalah ini bisa ada dua kemungkinan. Pertama, bisa dibiarkan saja seperti itu. Tidak sedikit kritik terhadap praktek nikah siri yang sarat eksploitasi dan pelanggaran. Sebagai perbandingan, Malaysia memberi sanksi pidana untuk siapapun yang tidak mencatatkan nikahnya (tetapi hukum Malaysia mengatakan sah nikah selama rukun nikah terpenuhi, walaupun tidak dicatatkan).

Bisa saja ini dijadikan salah satu titik mula untuk menyelesaikan fenomena nikah siri jika memang dianggap sebagai masalah. Ini dapat ditunjang dengan peran aparat penegak hukum, tokoh agama maupun adat untuk segera menguruskan pencatatan nikah jika memang nikah siri dapat dibuktikan telah terjadi dan terjerat masalah zina. Akan tetapi, solusi ini perlu kajian lebih karena kurang memberikan kepastian hukum.

Solusi kedua adalah dengan merumuskan delik yang akomodatif terhadap nikah siri maupun perkawinan adat dalam rumusan delik tersebut. Ini dapat dilakukan dengan cara menyertakan nikah siri dan adat dalam rumusan delik sebagai termasuk dalam ‘pernikahan’.

Solusi kedua ini bukan tanpa potensi masalah karena dapat menimbulkan dualisme dalam pemaknaan ‘perkawinan yang sah’ antara hukum perdata (yang telah dijelaskan sebelumnya) dan pidana melalui RUU KUHP ini. Akan tetapi, bukan hal baru untuk adanya perbedaan makna untuk terminologi yang sama bila kepentingan hukum menghendaki.

Misalnya dalam konteks ‘hak milik’ yang mana dalam hukum perdata tidak dapat diterapkan pada mayat, sedangkan dalam hukum pidana mayat dianggap milik ahli waris. Permulaan seseorang menjadi subjek hukum juga, secara umum dianggap dimulai saat kelahirannya, tetapi dalam konteks waris dan aborsi ternyata janin dianggap sudah jadi subjek hukum. Rumusan delik zina dan persoalan nikah siri atau adat bisa jadi memerlukan perlakuan serupa.

Kita berharap para legislator dapat teliti dalam melihat masalah ini dan mencapai perumusan yang hati-hati, akomodatif, dan bijaksana.

Hal Ketiga, soal kriminalisasi anak dibawah umur korban pelecehan seksual. Memang betul, Draf RUU KUHP sementara ini tidak tidak mengatur terkait batasan umur pelaku zina. Hal tersebut kemudian menuai kritik yang menyayangkan tidak adanya Batasan umur tersebut.

Sebenarnya masalah ini adalah perpanjangan dari kritik pertama, yaitu kekhawatiran tidak terbuktinya unsur paksaan pada pengaduan pemerkosaan, sehingga nantinya anak-anak yang dieksploitasi secara seksual dapat malah terjerumus delik zina. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kekhawatiran ini berdasarkan banyak pengandaian dan bukan merupakan masalah pada perumusan.

Kemudian, apabila ada anak di bawah umur yang ternyata terjerumus dalam dugaan zina, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa anak-anak ini akan melalui proses pidana yang sama dengan proses yang dijalani orang dewasa. Apabila anak-anak tersangkut dugaan zina, maka KUHP tidak berlaku pada mereka dan digantikan oleh UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang sudah sejak lama diterapkan di Indonesia.

Di sana berlaku banyak kekhususan dalam penanganan tersangka yang masih anak-anak yang sarat pendekatan restorative justice, seperti penerapan diversi dan lain sebagainya. Maka, sejatinya rumusan delik zina dalam RUU KUHP tersebut sudah pas dengan tidak mencantumkan batasan umur di dalamnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar