Kartu
Kuning Sebagai Kritik
Tri Joko Her Riadi ; Pengumpul Buku Jurnalistik Lawas; Tinggal di Bandung
|
DETIKNEWS,
08 Februari
2018
Enam
puluh tahun sebelum mahasiswa UI meniup peluit sambil mengacungkan 'kartu
kuning' untuk Presiden Jokowi, terbit sebuah buku tentang seluk-beluk kritik.
Judulnya Tata Kritik. Pengarangnya Adinegoro, wartawan cemerlang yang namanya
diabadikan sebagai salah satu penghargaan jurnalistik paling bergengsi di
Tanah Air.
Saya
mendapatkan buku saku dengan tebal hanya 126 halaman itu dalam sebuah pameran
buku di Bandung tahun lalu. Sampulnya penuh dengan coretan, tapi isinya yang
berbobot itulah yang membuat saya ingin membaca.
Kritik
terhadap pemerintah, diyakini Adinegoro, merupakan hak setiap warga negara di
alam demokrasi. Orang bebas memberikan kritik, tapi tentu setiap kebebasan
itu ada aturannya. Ada tatanannya.
Ada
lima rukun kritik yang disampaikan Adinegoro, yakni bertujuan memperbaiki,
didasarkan pada pengetahuan yang selengkap mungkin dan menurut keadaan,
dijalankan tanpa sentimen, memikirkan soal, serta memuji apa yang baik. Lima
rukun ini yang bisa dijadikan acuan mengukur apakah aksi menghebohkan berupa
pemberian 'kartu kuning' ke Presiden sebuah kritik bermutu.
Apakah
aksi 'kartu kuning' itu bertujuan memperbaiki? Mari kita yakini iya. Konon
ada tiga poin utama kritik dari BEM UI: masalah kesehatan di Asmat,
kontroversi pengangkatan pejabat gubernur dari Polri/TNI, serta kekhawatiran
atas rancangan peraturan baru organisasi mahasiswa. Ketiganya patut dikritik
karena ada persoalan di dalamnya yang harus diperbaiki.
Apakah
aksi 'kartu kuning' didasarkan pengetahuan selengkap mungkin? Mari kita
andaikan iya. Kita tentu percaya para mahasiswa melakukan riset mendalam,
atau setidaknya mengikuti pemberitaan, tentang tiga permasalahan ini. Mereka
paham tentang rumitnya situasi di Asmat, mereka mengerti tentang eskalasi
politik menjelang pilkada serentak, dan mereka tahu latar belakang perumusan aturan
baru perihal organisasi mahasiswa.
Apakah
aksi 'kartu kuning' dijalankan tanpa sentimen? Barangkali iya. Kita lupakan
saja tuduhan-tuduhan kedekatan salah satu pentolan BEM UI itu dengan salah
satu partai politik. Biarlah itu berseliweran di jagat maya. Kita lihat para
anak muda ini sebagai harapan bangsa.
Apakah
aksi 'kartu kuning' ini memikirkan soal? Tentu saja iya. Mereka menyodorkan
tiga permasalahan aktual yang menjadi perhatian publik.
Apakah
aksi 'kartu kuning' ini memuji yang baik? Mungkin mereka mau, tapi tidak
sempat. Aksi dramatis itu berujung pada tindakan petugas Paspampres yang
meminta pengkritik keluar dari ruangan. Tidak ada waktu untuk berdiskusi.
Bukan
tanpa alasan Adinegoro menempatkan tujuan memperbaiki sebagai rukun pertama.
Dalam kata-katanya sendiri: "Daya kritik ialah pokok pangkal
perbaikan!"
Pertanyaannya
sekarang, apakah aksi 'kartu kuning' berhasil menjadi pokok pangkal
perbaikan? Apakah tiga poin kritik para mahasiswa sampai ke pemerintah, pihak
yang dikritik? Apakah pemerintah lalu tersadar untuk melakukan
perbaikan-perbaikan?
Atau,
jangan-jangan aksi 'kartu kuning' ini sebuah tindakan yang meleset dari
tujuan? Betul ia membuat heboh, menjadi perbincangan orang di mana-mana.
Sebagian memuji, yang lain mengomentari dengan nyinyir. Video aksi berani itu
menyebar. Para politisi menanggapinya, atau menungganginya.
Yang
disayangkan, aksi menghebohkan itulah yang diingat banyak orang, bukan isi
kritik yang hendak disampaikan mahasiswa. Bukan riset mendalam tentang tiga
permasalahan tersebut yang mungkin mereka kerjakan. Bukan gagasan-gagasan dan
jalan keluar yang mungkin akan mereka tawarkan.
Aksi
pemberian 'kartu kuning' berhasil membuat seluruh dunia tahu bahwa mahasiswa
UI punya kritik untuk pemerintahan Jokowi. Namun, aksi yang sama membuat kita
justru tidak tahu sejauh mana kritik mereka itu memperbaiki keadaan.
Beban
bukan semata-mata ditumpukan ke para mahasiswa. Mereka konon melakukan apa
yang mereka bisa setelah permintaan untuk meminta waktu berdiskusi langsung
dengan Presiden tidak juga memperoleh kepastian. Aksi 'kartu kuning' tidak
perlu terjadi kalau tuntutan mereka, yang tidak berlebihan itu, dipenuhi.
Kita
mengapresiasi bagaimana pemerintah menyikapi aksi 'kartu kuning' ini. Kita
menghargai tidak adanya reaksi berlebihan. Kita tahu betapa padat jadwal
seorang presiden, tapi tentu kita boleh berharap di lain waktu ia mau
menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan para mahasiswa yang datang dengan
membawa kritik. Tidak ada yang perlu ditakuti.
Sebuah
kritik yang baik, bukan cacian, makian, atau fitnah dibutuhkan untuk merawat
tegaknya demokrasi. Seorang presiden, yang dipilih rakyat, memerlukan kritik
untuk menghindarkannya menjadi seorang otoriter. Ia harus berterima kasih
untuk setiap kritik yang betul-betul kritik.
Kegagalan
sebuah kritik adalah kegagalan bersama. Yang paling dirugikan dari gagalnya
aksi 'kartu kuning' bukanlah BEM UI atau para mahasiswa selaku pengkritik.
Yang paling rugi adalah masyarakat luas, karena sebuah kritik yang bermutu
niscaya berujung pada perbaikan kebijakan yang berdampak besar bagi kehidupan
mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar