Kamis, 15 Februari 2018

Kartu Kuning Sebagai Kritik

Kartu Kuning Sebagai Kritik
Tri Joko Her Riadi  ;   Pengumpul Buku Jurnalistik Lawas;  Tinggal di Bandung
                                                  DETIKNEWS, 08 Februari 2018



                                                           
Enam puluh tahun sebelum mahasiswa UI meniup peluit sambil mengacungkan 'kartu kuning' untuk Presiden Jokowi, terbit sebuah buku tentang seluk-beluk kritik. Judulnya Tata Kritik. Pengarangnya Adinegoro, wartawan cemerlang yang namanya diabadikan sebagai salah satu penghargaan jurnalistik paling bergengsi di Tanah Air.

Saya mendapatkan buku saku dengan tebal hanya 126 halaman itu dalam sebuah pameran buku di Bandung tahun lalu. Sampulnya penuh dengan coretan, tapi isinya yang berbobot itulah yang membuat saya ingin membaca.

Kritik terhadap pemerintah, diyakini Adinegoro, merupakan hak setiap warga negara di alam demokrasi. Orang bebas memberikan kritik, tapi tentu setiap kebebasan itu ada aturannya. Ada tatanannya.

Ada lima rukun kritik yang disampaikan Adinegoro, yakni bertujuan memperbaiki, didasarkan pada pengetahuan yang selengkap mungkin dan menurut keadaan, dijalankan tanpa sentimen, memikirkan soal, serta memuji apa yang baik. Lima rukun ini yang bisa dijadikan acuan mengukur apakah aksi menghebohkan berupa pemberian 'kartu kuning' ke Presiden sebuah kritik bermutu.

Apakah aksi 'kartu kuning' itu bertujuan memperbaiki? Mari kita yakini iya. Konon ada tiga poin utama kritik dari BEM UI: masalah kesehatan di Asmat, kontroversi pengangkatan pejabat gubernur dari Polri/TNI, serta kekhawatiran atas rancangan peraturan baru organisasi mahasiswa. Ketiganya patut dikritik karena ada persoalan di dalamnya yang harus diperbaiki.

Apakah aksi 'kartu kuning' didasarkan pengetahuan selengkap mungkin? Mari kita andaikan iya. Kita tentu percaya para mahasiswa melakukan riset mendalam, atau setidaknya mengikuti pemberitaan, tentang tiga permasalahan ini. Mereka paham tentang rumitnya situasi di Asmat, mereka mengerti tentang eskalasi politik menjelang pilkada serentak, dan mereka tahu latar belakang perumusan aturan baru perihal organisasi mahasiswa.

Apakah aksi 'kartu kuning' dijalankan tanpa sentimen? Barangkali iya. Kita lupakan saja tuduhan-tuduhan kedekatan salah satu pentolan BEM UI itu dengan salah satu partai politik. Biarlah itu berseliweran di jagat maya. Kita lihat para anak muda ini sebagai harapan bangsa.

Apakah aksi 'kartu kuning' ini memikirkan soal? Tentu saja iya. Mereka menyodorkan tiga permasalahan aktual yang menjadi perhatian publik.

Apakah aksi 'kartu kuning' ini memuji yang baik? Mungkin mereka mau, tapi tidak sempat. Aksi dramatis itu berujung pada tindakan petugas Paspampres yang meminta pengkritik keluar dari ruangan. Tidak ada waktu untuk berdiskusi.

Bukan tanpa alasan Adinegoro menempatkan tujuan memperbaiki sebagai rukun pertama. Dalam kata-katanya sendiri: "Daya kritik ialah pokok pangkal perbaikan!"

Pertanyaannya sekarang, apakah aksi 'kartu kuning' berhasil menjadi pokok pangkal perbaikan? Apakah tiga poin kritik para mahasiswa sampai ke pemerintah, pihak yang dikritik? Apakah pemerintah lalu tersadar untuk melakukan perbaikan-perbaikan?

Atau, jangan-jangan aksi 'kartu kuning' ini sebuah tindakan yang meleset dari tujuan? Betul ia membuat heboh, menjadi perbincangan orang di mana-mana. Sebagian memuji, yang lain mengomentari dengan nyinyir. Video aksi berani itu menyebar. Para politisi menanggapinya, atau menungganginya.

Yang disayangkan, aksi menghebohkan itulah yang diingat banyak orang, bukan isi kritik yang hendak disampaikan mahasiswa. Bukan riset mendalam tentang tiga permasalahan tersebut yang mungkin mereka kerjakan. Bukan gagasan-gagasan dan jalan keluar yang mungkin akan mereka tawarkan.

Aksi pemberian 'kartu kuning' berhasil membuat seluruh dunia tahu bahwa mahasiswa UI punya kritik untuk pemerintahan Jokowi. Namun, aksi yang sama membuat kita justru tidak tahu sejauh mana kritik mereka itu memperbaiki keadaan.

Beban bukan semata-mata ditumpukan ke para mahasiswa. Mereka konon melakukan apa yang mereka bisa setelah permintaan untuk meminta waktu berdiskusi langsung dengan Presiden tidak juga memperoleh kepastian. Aksi 'kartu kuning' tidak perlu terjadi kalau tuntutan mereka, yang tidak berlebihan itu, dipenuhi.

Kita mengapresiasi bagaimana pemerintah menyikapi aksi 'kartu kuning' ini. Kita menghargai tidak adanya reaksi berlebihan. Kita tahu betapa padat jadwal seorang presiden, tapi tentu kita boleh berharap di lain waktu ia mau menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan para mahasiswa yang datang dengan membawa kritik. Tidak ada yang perlu ditakuti.

Sebuah kritik yang baik, bukan cacian, makian, atau fitnah dibutuhkan untuk merawat tegaknya demokrasi. Seorang presiden, yang dipilih rakyat, memerlukan kritik untuk menghindarkannya menjadi seorang otoriter. Ia harus berterima kasih untuk setiap kritik yang betul-betul kritik.

Kegagalan sebuah kritik adalah kegagalan bersama. Yang paling dirugikan dari gagalnya aksi 'kartu kuning' bukanlah BEM UI atau para mahasiswa selaku pengkritik. Yang paling rugi adalah masyarakat luas, karena sebuah kritik yang bermutu niscaya berujung pada perbaikan kebijakan yang berdampak besar bagi kehidupan mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar