Indonesia
Darurat Narkotika 2018, ini Faktanya
Anang Iskandar ; Dosen Universitas Trisakti Ka BNN 2012-2015;
Kabareskrim 2015-2016
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Februari 2018
DARURAT narkotika yang
bergema sejak beberapa tahun yang lalu, awalnya muncul dari satu kesimpulan.
Bersama tujuh pejabat senior di negeri ini sebagai bentuk keprihatinan
bersama terhadap permasalahan narkotika yg tak kunjung reda, malah terus
tumbuh dengan subur di negeri ini.
Situasi darurat yang
memprihatinkan ini juga terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu.
Bahkan, hingga 2018 ini, relatif tanpa perubahan yang berarti, ditandai
dengan fakta-fakta permasalahan berikut. Pertama, kejahatan narkotika tanpa
pandang bulu. Semuanya di jebloskan ke tahanan dan berakhir di penjara.
Kedua, prevalensi penyalah guna trennya naik dari tahun ke tahun. Dampaknya,
yang meninggal sekitar 15 ribu orang per tahun.
Ketiga, penjara mayoritas
dihuni terpidana narkotika. Kondisinya overload, aparat lapas menjadi tidak
berdaya. Keempat, tempat rehabilitasi jumlahnya sangat terbatas. Kelima,
masyarakat salah kaprah dalam memandang penyalah guna (tak mampu membedakan
dengan pengedar). Mereka menganggap benar kalau penyalah guna ketika disidik,
dituntut, diadili, ditahan, dan dihukum penjara. Kelima indikator ini yang
menyebabkan kesimpulan darurat narkotika di negeri ini.
Oleh karena itu,
penanggung jawab fungsi penegakan hukum dan pengemban fungsi rehabilitasi
narkotika diminta mengambil langkah sesuai tugas pokok dan fungsi masing
masing kementerian dan nonkementerian, guna mengubah kondisi darurat
narkotika menjadi kondisi yang kondusif agar lambat laun laju perkembangan
peredaran gelap narkotika mereda dan dapat dikendalikan.
Penegak hukum diminta agar
membangun sistem pelaksanaan penegakan hukum yang searah tujuan dibuatnya UU
No 35/2009 tentang Narkotika, yaitu penegakan hukum yang mengintegrasikan
upaya hukum dan upaya kesehatan terhadap para penyalah guna agar tetap mendapatkan
hukuman sekaligus menyembuhkan, yaitu hukuman rehabilitasi. Hukuman
rehabilitasi ini bermanfaat berguna untuk menyembuhkan penyalah guna dari
sakit ketergantungan, juga bermanfaat untuk menurunkan prevalensi penyalah
gunaan narkotika di Indonesia.
Pengemban rehabilitasi
diminta supaya menyiapkan infrastruktur rehabilitasi agar dapat melayani para
penyalah guna untuk mendapatkan penyembuhan, dengan membangun sumber daya
baik SDM maupun infrastruktur rehabilitasi.
Namun, ternyata sampai
hari ini belum kung (berarti) dalam mengubah arah sesuai tujuan yang
digariskan undang-undang, baik bidang penegakan hukum terhadap penyalah guna
maupun infrastruktur rehabilitasinya .
Penegakan
hukum
Benang merah pokok
permasalahan penyebab berkembangnya narkotika di Indonesia ialah masalah
penegakan hukum terhadap penyalah guna (bedakan dengan pengedar). Menurut UU
No 35/2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa penyalah guna itu pelaku tindak
pidana (pasal 127) diancam dengan pidana maksimum 4 tahun penjara.
Namun, pelaku pidana
tersebut dijamin untuk direhabilitasi (pasal 4) kalau jadi pecandu wajib
direhabilitasi (pasal 54). Artinya apa? Ini ialah bangunan sistem peradilan
rehabilitasi untuk para penyalah guna dan pecandu bila kena perkara hukum.
Menurut hukum acara pidana
kita (pasal 21 KUHAP) bahwa penyalah guna yang diancam pidana maksimum 4
tahun tidak memenuhi syarat untuk ditahan. Di lain pihak karena tujuan undang
undang narkotika menjamin rehabilitas bagi penyalah guna, maka sebagai
gantinya menahan penyidik, penuntut umum dan hakim diberi kewenangan
pengganti menahan, yaitu penempatan di lembaga rehabilitasi (PP 25 Tahun
2011) pada semua tingkat pemeriksaan, dan hakim diberi kewenangan yang
bersifat wajib memvonis rehabilitasi baik terbukti salah maupun tidak
terbukti salah di pengadilan (pasal 103).
Prinsipnya tetap dibawa ke
pengadilan melalui jalur sistem peradilan rehabilitasi karena perkara
penyalah guna ini ialah perkara pecandu minus keterangan ahli, yaitu visum
yang menyatakan penyalah guna itu ketergantungan narkotika secara fisik dan
psikis, sedangkan tuntutan UU ialah menjamin penyalah guna direhabilitasi,
penyidik tuntut minta visum/asesmen untuk memilah tingkat kecanduan tersangka
penyalah guna agar diketahui kadar kecanduan tersangka, apakah temasuk
golongkan kecanduan ringan, sedang, atau berat.
Hal ini diperlukan sebagai
bahan pertimbangan hakim ketika memutuskan perkara penyalah guna karena hakim
wajib menghukum rehabilitasi dan lamanya berdasarkan kadar kecanduan
tersangka penyalah guna.
Untuk membedakan penyalah
guna dan pengedar sesungguhnya sangat simpel. Kalau gramasi narkotika yang
dibawa, dimiliki jumlah sedikit dan tujuannya dipakai sendiri ialah indikasi
penyalah guna, ini yang dijamin untuk direhabilitasi.
Kalau jumlah gramasinya
besar dan tujuannya membawa memiliki menguasai untuk dijual guna mendapatkan
keuntungan apalagi terlibat jaringan narkotika, maka masuk kategori pengedar.
Nah, ini penjahatnya yang harus dihukum berat. Bahkan, harus disidik dituntut
dengan tindak pidana pencucian uang agar meraka jera dan dipenjara tidak
mengedarkan narkotika lagi karena asetnya kuasai negara .
Penyalah guna ditahan dan
bermuara di penjara itu di samping menyalahi tujuan dibuatnya UU narkotika
juga berdampak buruk bagi kita semua, yaitu prevalensi penyalah guna
kecenderungan menjadi naik, dan korban meninggal banyak bergelimpangan. Kalau
sudah demikian, peredaran narkotika menjadi tambah meningkat, akibatnya
program P4GN (pencegahan dan pemberantasan penyalah gunaan dan peredaran
gelap narkotika) yang dicanangkan pemerintah menjadi kedodoran, dan sulit
berhasil dalam membasmi masalah peredaran gelap narkotika di Indonesia.
Prestasi program P4GN di
mulai dari penegakan hukum dengan barometer menangkap menuntut dan menghukum
penjara sebanyak-banyaknya pengedar, dan menangkap, menuntut, serta menghukum
dengan hukuman rehabilitasi dan merehabilitasinya dengan baik
sebanyak-banyaknya penyalah gunanya. Kalau tidak yang sukses justru gegap
gempitanya penegakan hukum di Indonesia tetapi tidak menyelesaikan masalah
bahkan menyadi sumber masalah. Nah, ini bahayanya.
Oleh karena itu, perlu
digalakkan program rehabilitasi secara terintegrasi antara pendekatan hukum
dan upaya kesehatannya dengan cara membangun semangat integrasi antara upaya
penegakan hukum dan upaya kesehatan.
Konkretnya melakukan
penegakan hukum tanpa penahanan terhadap penyalah guna, membangun semangat
merehabilitasi dengan benar tidak asal-asalan, membangun SDM, sarana, dan
prasarana rehabilitasi yang dapat menampung para penyalah guna dengan membuka
layanan rehabilitasi di tingkat kabupaten/kota, dan tempat-tempat
rehabilitasi lainnya baik milik pemerintah maupun swasta .
Jumlah penyalah guna yang
direhabilitasi dan sembuh dari penyakit adiksi adalah salah satu faktor penting
untuk menurunkan prevalensi penyalah guna di Indonesia. Di samping faktor
pencegahan timbulnya penyakit adiksi. Itu sebabnya dalam event penting yang
diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Wiena selalu ditampilkan tren
keberhasilan menurunkan prevalensi penyalah guna sebagai indikator
keberhasilan menangani penyalah gunaan narkotika.
Khusus data ini kita belum
berperan banyak karena penyalah guna yang sembuh secara mandiri dilakukan
secara sembunyi-sembunyi. Bahkan, dilakukan di luar negeri. Penyalah guna
yang direhabilitasi melalui wajib lapor juga tidak laku, penyalah guna yang
direhabilitasi karena putusan hakim juga sangat sedikit. LP ketiban awu
anget.
Rehabilitasi
tidak berdaya
Kalau kita menengok ke LP,
kita akan mememukan kondisi LP dalam keadaan overload. Di titik ini jangan
salah menilai bahwa ini sebuah keberhasilan tapi malah sebaliknya karena
tujuan UU kita ialah menyelamatkan mereka dari penyalah gunaan narkotika.
Itulah sebabnya kita
mengamini bahwa kita memang mengalami darurat narkotika karena lebih dari 60%
penghuni LP ialah mereka yang terlibat masalah penyalah gunaan dan peredaran
gelap narkotika. Terdiri dari pengedar sebagai penjahat narkotika dan
penyalah gunanya sebagai korbannya, yakni keduanya dinyatakan sebagai kejahatan
narkotika. Tentu saja jumlah penyalah guna yang berada di LP jauh lebih besar
daripada pengedarnya.
Kondisi ini di samping
menyulitkan petugas LP untuk pengamanannya, mereka juga tidak memiliki
tupoksi untuk merehabilitasi warga binaannya sehingga LP tidak berdaya
apabila ada yang kumat alias sakau. Bila ada penyalah guna yang penyakit
adiksinya muncul, petugas pilihannya ialah mengambil langkah yang
menguntungkan.
LP sekarang ini mayoritas
dihuni para penyalah guna. Hal ini sangat menguntungkan bagi peredaran gelap
narkotika tapi bagi penanggung jawab LP ini seperti buah simalakama. Kalau
peredaran gelap di LP diketati yang berarti di LP tidak ada peredaran, akan
timbul kondisi ‘sakau bersama’ dari para penyalah guna penghuni LP. Di titik
Ini akan menjadi masalah besar bagi petugas LP.
Sebaliknya, apabila
dilonggarkan yang berarti peredaran gelap masuk dalam lapas, penghuni tidak
ada yang mengalami kondisi ‘sakau bersama’ alias tenang. Maka, pilihan
rasional LP memilih yang risikonya lebih aman, yaitu membiarkan peredaran
narkotika di dalam penjara. Toh, itu peredaran gelap bukan sengaja hanya main
mata. Pada kondisi demikian, LP bagai ketiban awu anget menjadi tempat
peredaran gelap narkotika yang empuk dan aman.
Kalau kita mengamati upaya
kesehatan baik pembangunan SDM maupun sarana dan prasarananya, kita akan
geleng-geleng kepala . Kondisi sekarang ini seperti hidup segan mati tak mau.
Sebabnya, pertama, upaya kesehatan yang dilakukan secara mandiri oleh
keluarga tidak berjalan dengan baik karena keluarga dan masyarakat pada
umumnya merasa takut dan waswas kalau merehabilitasi keluarganya karena
selama ini penyalah guna itu menjadi incaran penegak hukum untuk ditangkap
dan ditahan dianggap seperti pengedar.
Kedua, upaya kesehatan
melalui wajib lapor yang ditangani IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) juga
mengalami nasib yang sama, tidak jalannya karena masalah yang sama dengan
upaya kesehatan secara mandiri.
Ketiga, upaya kesehatan
bersumber pada keputusan hakim dalam bentuk hukuman rehabilitasi jumlahnya
sangat sedikit padahal UU menyatakan perkara pecandu hukumnya wajib
direhabilitasi.
Pertanyaannya apa itu
perkara pecandu? Perkara pecandu menurut UU ialah perkara penyalah guna
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan baik fisik maupun psikis.
Salah
kaprah memandang penyalah guna
Pandangan masyarakat yang
didapat melalui media elektronik , media cetak, maupun media sosial ternyata
salah kaprah terhadap penyalah guna. Penyalah guna itu dianggap penjahat
murni pantas dihukum penjara, biar ada efek jeranya, biar kapok, padahal
mestinya tidak demikian.
Salah kaprah dalam
memandang penyalah guna ini mendorong penegak hukum terus membawa penyalah
guna melalui sistem peradilan pidana yang akhirnya bermuara di penjara.
Kesimpangsiuran penanganan
penyalah guna ini tidak boleh terus-menerus terjadi di negeri ini dan harus
dihentikan. Para penegak hukum perlu duduk bersama membangun semangat
menghukum rehabilitasi terhadap perkara penyalah guna (sekali lagi bedakan
dengan pengedar narkotika) yang nota bene perkara pecandu. Yang penting
penyalah guna mendapatkan haknya untuk direhabilitasi melalui jalan yang
disediakan UU No 35/2009 tentang Narkotika, yaitu melalui ‘sistem peradilan
rehabilitasi’, yakni penyalah guna ditempatkan di lembaga rehabilitasi selama
proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan karena hakim diberi kewenangan
menghukum penyalah guna yang notabene pecandu baik terbukti bersalah, maupun
tidak terbukti bersalah di meja hijau dengan hukuman rehabilitasi yang
sifatnya wajib.
Selama ini yang terjadi
hakim yang memeriksa kasus penyalah guna yang diajukan penuntut umum melalui
sistem peradilan pidana (karena tersangkanya ditahan dan dituntut dengan me
yunto kan dengan pasal pengedar), mestinya melalui sistem peradilan
rehabilitasi (tersangkanya ditempatkan di lembaga rehabilitasi yang di
amanatkan UU No 35 tentang narkotika dan turunannya.
Karena salah jalan ini
mengakibatkan hakim dalam memeriksa perkara penyalah guna yang notabene ialah
perkara pecandu menjadi terbelenggu dengan Pasal 182 ayat 3 dan 4 KUHAP,
bahwa hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara harus berdasarkan pada
surat dakwaan jaksa penuntut umum, sedangkan tututan jaksa mencantumkan pasal
pengedar dan tersangkanya ditahan.
Di sisi lain, hakim wajib
menghukum rehabilitasi, dengan proses peradilan rehabilitasi yang dibentuk
secara khusus oleh UU Narkotika No 35/2009. Kondisi dilematis ini yang
menyebabkan hakim memutuskan hukuman penjara bagi penyalah guna yang
selanjutnya menjadi energi bagi peredaran gelap narkotika di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar