Senin, 12 Februari 2018

Indonesia Darurat Narkotika 2018, ini Faktanya

Indonesia Darurat Narkotika 2018, ini Faktanya
Anang Iskandar  ;   Dosen Universitas Trisakti Ka BNN 2012-2015;
 Kabareskrim 2015-2016
                                           MEDIA INDONESIA, 10 Februari 2018



                                                           
DARURAT narkotika yang bergema sejak beberapa tahun yang lalu, awalnya muncul dari satu kesimpulan. Bersama tujuh pejabat senior di negeri ini sebagai bentuk keprihatinan bersama terhadap permasalahan narkotika yg tak kunjung reda, malah terus tumbuh dengan subur di negeri ini.

Situasi darurat yang memprihatin­kan ini juga terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Bahkan, hingga 2018 ini, relatif tanpa perubahan yang berarti, ditandai dengan fakta-fakta permasalahan berikut. Pertama, kejahatan narkotika tanpa pandang bulu. Semuanya di jebloskan ke tahanan dan berakhir di penjara. Kedua, prevalensi penyalah guna trennya naik dari tahun ke tahun. Dampaknya, yang meninggal sekitar 15 ribu orang per tahun.

Ketiga, penjara mayoritas dihuni terpidana narkotika. Kondisinya overload, aparat lapas menjadi tidak berdaya. Keempat, tempat rehabilitasi jumlahnya sangat terbatas. Kelima, masyarakat salah kaprah dalam memandang penyalah guna (tak mampu membedakan dengan pengedar). Mereka menganggap benar kalau penyalah guna ketika disidik, dituntut, diadili, ditahan, dan dihukum penjara. Kelima indikator ini yang menyebabkan kesimpulan darurat narkotika di negeri ini.

Oleh karena itu, penanggung jawab fungsi penegakan hukum dan pengemban fungsi rehabilitasi narkotika diminta mengambil langkah sesuai tugas pokok dan fungsi masing masing kementerian dan nonkementerian, guna mengubah kondisi darurat narkotika menjadi kondisi yang kondusif agar lambat laun laju perkembangan peredaran gelap narkotika mereda dan dapat dikendalikan.

Penegak hukum diminta agar membangun sistem pelaksanaan penegakan hukum yang searah tujuan dibuatnya UU No 35/2009 tentang Narkotika, yaitu penegakan hukum yang mengintegrasikan upaya hukum dan upaya kesehatan terhadap para penyalah guna agar tetap mendapatkan hukuman sekaligus menyembuhkan, yaitu hukuman rehabilitasi. Hukuman rehabilitasi ini bermanfaat berguna untuk menyembuhkan penyalah guna dari sakit ketergantungan, juga bermanfaat untuk menurunkan prevalensi penyalah gunaan narkotika di Indonesia.

Pengemban rehabilitasi diminta supaya menyiapkan infrastruktur rehabilitasi agar dapat melayani para penyalah guna untuk mendapatkan penyembuhan, dengan membangun sumber daya baik SDM maupun infrastruktur rehabilitasi.

Namun, ternyata sampai hari ini belum kung (berarti) dalam mengubah arah sesuai tujuan yang digariskan undang-undang, baik bidang penegakan hukum terhadap penyalah guna maupun infrastruktur rehabilitasinya .

Penegakan hukum

Benang merah pokok permasalahan penyebab berkembangnya narkotika di Indonesia ialah masalah penegakan hukum terhadap penyalah guna (bedakan dengan pengedar). Menurut UU No 35/2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa penyalah guna itu pelaku tindak pidana (pasal 127) diancam dengan pidana maksimum 4 tahun penjara.

Namun, pelaku pidana tersebut dijamin untuk direhabilitasi (pasal 4) kalau jadi pecandu wajib direhabilitasi (pasal 54). Artinya apa? Ini ialah bangunan sistem peradilan rehabilitasi untuk para penyalah guna dan pecandu bila kena perkara hukum.

Menurut hukum acara pidana kita (pasal 21 KUHAP) bahwa penyalah guna yang diancam pidana maksimum 4 tahun tidak memenuhi syarat untuk ditahan. Di lain pihak karena tujuan undang undang narkotika menjamin rehabilitas bagi penyalah guna, maka sebagai gantinya menahan penyidik, penuntut umum dan hakim diberi kewenangan pengganti menahan, yaitu penempatan di lembaga rehabilitasi (PP 25 Tahun 2011) pada semua tingkat pemeriksaan, dan hakim diberi kewenangan yang bersifat wajib memvonis rehabilitasi baik terbukti salah maupun tidak terbukti salah di pengadilan (pasal 103).

Prinsipnya tetap dibawa ke pengadilan melalui jalur sistem peradilan rehabilitasi karena perkara penyalah guna ini ialah perkara pecandu minus keterangan ahli, yaitu visum yang menyatakan penyalah guna itu ketergantungan narkotika secara fisik dan psikis, sedangkan tuntutan UU ialah menjamin penyalah guna direhabilitasi, penyidik tuntut minta visum/asesmen untuk memilah tingkat kecanduan tersangka penyalah guna agar diketahui kadar kecan­duan tersangka, apakah temasuk golongkan kecanduan ringan, sedang, atau berat.

Hal ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan hakim ketika memutuskan perkara penyalah guna karena hakim wajib menghukum rehabilitasi dan lamanya berdasar­kan kadar kecanduan tersangka penyalah guna.

Untuk membedakan penyalah guna dan pengedar sesungguhnya sangat simpel. Kalau gramasi narkotika yang dibawa, dimiliki jumlah sedikit dan tujuannya dipakai sendiri ialah indikasi penyalah guna, ini yang dijamin untuk direhabilitasi.

Kalau jumlah gramasinya besar dan tujuannya membawa memiliki menguasai untuk dijual guna mendapatkan keuntungan apalagi terlibat jaringan narkotika, maka masuk kategori pengedar. Nah, ini penjahatnya yang harus dihukum berat. Bahkan, harus disidik dituntut dengan tindak pidana pencucian uang agar meraka jera dan dipenjara tidak mengedarkan narkotika lagi karena asetnya kuasai negara .

Penyalah guna ditahan dan bermuara di penjara itu di samping menyalahi tujuan dibuatnya UU narkotika juga berdampak buruk bagi kita semua, yaitu prevalensi penyalah guna kecenderungan menjadi naik, dan korban meninggal banyak bergelimpangan. Kalau sudah demikian, peredaran narkotika menjadi tambah meningkat, akibatnya program P4GN (pencegahan dan pemberantasan penyalah gunaan dan peredaran gelap narkotika) yang dicanangkan pemerintah menjadi kedodoran, dan sulit berhasil dalam membasmi masalah peredaran gelap narkotika di Indonesia.

Prestasi program P4GN di mulai dari penegakan hukum dengan barometer menangkap menuntut dan menghukum penjara sebanyak-banyaknya pengedar, dan menangkap, menuntut, serta menghukum dengan hukuman rehabilitasi dan merehabilitasinya dengan baik sebanyak-banyaknya penyalah gunanya. Kalau tidak yang sukses justru gegap gempitanya penegakan hukum di Indonesia tetapi tidak menyelesaikan masalah bahkan menyadi sumber masalah. Nah, ini bahayanya.

Oleh karena itu, perlu digalakkan program rehabilitasi secara terintegrasi antara pendekatan hukum dan upaya kesehatannya dengan cara membangun semangat integrasi antara upaya penegakan hukum dan upaya kesehatan.

Konkretnya melakukan penegakan hukum tanpa penahanan terhadap penyalah guna, membangun semangat merehabilitasi dengan benar tidak asal-asalan, membangun SDM, sarana, dan prasarana rehabilitasi yang dapat menampung para penyalah guna dengan membuka layanan rehabilitasi di tingkat kabupaten/kota, dan tempat-tempat rehabilitasi lainnya baik milik pemerintah maupun swasta .

Jumlah penyalah guna yang direhabilitasi dan sembuh dari penyakit adiksi adalah salah satu faktor penting untuk menurunkan prevalensi penyalah guna di Indonesia. Di samping faktor pencegahan timbulnya penyakit adiksi. Itu sebabnya dalam event penting yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Wiena selalu ditampilkan tren keberhasilan menurunkan prevalensi penyalah guna sebagai indikator keberhasilan menangani penyalah gunaan narkotika.

Khusus data ini kita belum berperan banyak karena penyalah guna yang sembuh secara mandiri dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan, dilakukan di luar negeri. Penyalah guna yang direhabilitasi melalui wajib lapor juga tidak laku, penyalah guna yang direhabilitasi karena putusan hakim juga sangat sedikit. LP ketiban awu anget.

Rehabilitasi tidak berdaya

Kalau kita menengok ke LP, kita akan mememukan kondisi LP dalam keadaan overload. Di titik ini jangan salah menilai bahwa ini sebuah keberhasilan tapi malah sebaliknya karena tujuan UU kita ialah menyelamatkan mereka dari penyalah gunaan narkotika.

Itulah sebabnya kita mengamini bahwa kita memang mengalami darurat narkotika karena lebih dari 60% penghuni LP ialah mereka yang terlibat masalah penyalah gunaan dan peredaran gelap narkotika. Terdiri dari pengedar sebagai penjahat narkotika dan penyalah gunanya sebagai korbannya, yakni keduanya dinyatakan sebagai kejahatan narkotika. Tentu saja jumlah penyalah guna yang berada di LP jauh lebih besar daripada pengedarnya.

Kondisi ini di samping menyulitkan petugas LP untuk pengamanannya, mereka juga tidak memiliki tupoksi untuk merehabilitasi warga binaannya sehingga LP tidak berdaya apabila ada yang kumat alias sakau. Bila ada penyalah guna yang penyakit adiksinya muncul, petugas pilihannya ialah mengambil langkah yang menguntungkan.

LP sekarang ini mayoritas dihuni para penyalah guna. Hal ini sangat menguntungkan bagi peredaran gelap narkotika tapi bagi pe­nanggung jawab LP ini seperti buah simalakama. Kalau peredaran ge­lap di LP diketati yang berarti di LP tidak ada peredaran, akan timbul kondisi ‘sakau bersama’ dari para penyalah guna penghuni LP. Di titik Ini akan menjadi masalah besar bagi petugas LP.

Sebaliknya, apabila dilonggarkan yang berarti peredaran gelap masuk dalam lapas, penghuni tidak ada yang mengalami kondisi ‘sakau bersama’ alias tenang. Maka, pilihan rasional LP memilih yang risikonya lebih aman, yaitu membiarkan peredaran narkotika di dalam penjara. Toh, itu peredaran gelap bukan sengaja hanya main mata. Pada kondisi demikian, LP bagai ketiban awu anget menjadi tempat peredaran gelap narkotika yang empuk dan aman.

Kalau kita mengamati upaya kesehatan baik pembangunan SDM maupun sarana dan prasarananya, kita akan geleng-geleng kepala . Kondisi sekarang ini seperti hidup segan mati tak mau. Sebabnya, pertama, upaya kesehatan yang dilakukan secara mandiri oleh keluarga tidak berjalan dengan baik karena keluarga dan masyarakat pada umumnya merasa takut dan waswas kalau merehabilitasi keluarganya karena selama ini penyalah guna itu menjadi incaran penegak hukum untuk ditangkap dan ditahan dianggap seperti pengedar.

Kedua, upaya kesehatan melalui wajib lapor yang ditangani IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) juga mengalami nasib yang sama, tidak jalannya karena masalah yang sama dengan upaya kesehatan secara mandiri.

Ketiga, upaya kesehatan bersumber pada keputusan hakim dalam bentuk hukuman rehabilitasi jumlahnya sangat sedikit padahal UU menyatakan perkara pecandu hukumnya wajib direhabilitasi.

Pertanyaannya apa itu perkara pecandu? Perkara pecandu menurut UU ialah perkara penyalah guna narkotika dan dalam keadaan ketergantungan baik fisik maupun psikis.

Salah kaprah memandang penyalah guna

Pandangan masyarakat yang didapat melalui media elektronik , media cetak, maupun media sosial ternyata salah kaprah terhadap penyalah guna. Penyalah guna itu dianggap penjahat murni pantas dihukum penjara, biar ada efek jeranya, biar kapok, padahal mestinya tidak demikian.

Salah kaprah dalam memandang penyalah guna ini mendorong penegak hukum terus membawa penyalah guna melalui sistem peradilan pidana yang akhirnya bermuara di penjara.

Kesimpangsiuran penanganan penyalah guna ini tidak boleh terus-menerus terjadi di negeri ini dan harus dihentikan. Para penegak hukum perlu duduk bersama membangun semangat menghukum rehabilitasi terhadap perkara penyalah guna (sekali lagi bedakan dengan pengedar narkotika) yang nota bene perkara pecandu. Yang penting penyalah guna mendapatkan haknya untuk direhabilitasi melalui jalan yang disediakan UU No 35/2009 tentang Narkotika, yaitu melalui ‘sistem peradilan rehabilitasi’, yakni penyalah guna ditempatkan di lembaga rehabilitasi selama proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan karena hakim diberi kewenangan menghukum penyalah guna yang notabene pecandu baik terbukti bersalah, maupun tidak terbukti bersalah di meja hijau dengan hukuman rehabilitasi yang sifatnya wajib.

Selama ini yang terjadi hakim yang memeriksa kasus penyalah guna yang diajukan penuntut umum melalui sistem peradilan pidana (karena tersangkanya ditahan dan dituntut dengan me yunto kan dengan pasal pengedar), mestinya melalui sistem peradilan rehabilitasi (tersangkanya ditempatkan di lembaga rehabilitasi yang di amanatkan UU No 35 tentang narkotika dan turunannya.

Karena salah jalan ini mengakibatkan hakim dalam memeriksa perkara penyalah guna yang notabene ialah perkara pecandu menjadi terbelenggu dengan Pasal 182 ayat 3 dan 4 KUHAP, bahwa hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara harus berdasarkan pada surat dakwaan jaksa penuntut umum, sedangkan tututan jaksa mencantumkan pasal pengedar dan tersangkanya ditahan.

Di sisi lain, hakim wajib menghukum rehabilitasi, dengan proses peradilan rehabilitasi yang dibentuk secara khusus oleh UU Narkotika No 35/2009. Kondisi dilematis ini yang menyebabkan hakim memutuskan hukuman penjara bagi penyalah guna yang selanjutnya menjadi e­nergi bagi peredaran gelap narkotika di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar