Sabtu, 13 Januari 2018

Genderang Perang

Genderang Perang
R William Liddle  ;  Profesor Emeritus, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
                                                      KOMPAS, 11 Januari 2018



                                                           
Bunyi perang, bagi orang yang bisa mendengarkannya, meski sangat awal dan redam, sudah mulai kedengaran.  Pemerintah China dilaporkan mempersiapkan kamp-kamp pengungsi di kawasan perbatasan Korea Utara.  Sumber daya militer sedang digeserkan untuk mengamati tentara Korut.  Materi kritis sedang dipindahkan dan diperbarui serta pasukan sedang digalang.  Hanya isyarat terbesar—evakuasi warga Amerika Serikat dari Korea Selatan—belum bernyala merah.  Namun, demi keterkejutan, hal itu mungkin tak akan terjadi.”

Analisis yang berdarah dingin dan menakutkan ini diterbitkan baru-baru ini oleh Eliot Cohen, staf tetap The Atlantic, majalah Amerika ternama yang bersemboyan Of No Party or Clique, Tidak berpihak pada partai atau kelompok apa pun, sejak pendiriannya pada 1857.

Cohen sendiri adalah ilmuwan politik dan intelektual publik yang bergabung dengan Partai Republik pada awal kariernya di masa pemerintahan George W Bush.  Ia terkenal sebagai tokoh neo-konservatif yang ikut mendorong Presiden Bush untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein di Irak dan menggantikannya dengan rezim demokratis.

Selama pemerintahan Presiden Barack Obama, tokoh Demokrat, Cohen berada di luar pemerintah, tempat ia menjadi pengkritik tajam kebijakan luar negeri Obama.  Pada 2016, ia menerbitkan The Big Stick: The Limits of Soft Power and the Necessity of Military Force.

Menurut Cohen, Obama dan para politisi Demokrat lainnya terlalu mengandalkan soft power—nilai-nilai seperti demokrasi dan hak asasi serta alat-alat seperti diplomasi dan kerja sama internasional—ketimbang hard power atau pendekatan militer.  Kiranya cukup jelas bahwa di dunia kebijakan keamanan nasional Cohen merupakan anggota teras kubu hawk, burung elang, yang berlawanan dengan kubu dove atau merpati.

Korut bagi Cohen merupakan ancaman serius terhadap Amerika.  Pemerintahnya sudah lama bersedia menjual apa pun kepada pembeli mana pun: hal ini pasti akan berlaku pula bagi senjata nuklir.  Sebentar lagi Pyongyang pasti mampu memusnahkan Los Angeles.  Lagi pula, rezim itu sudah membuktikan bahwa ia tidak menghormati norma, apalagi hukum internasional.   Pemimpinnya, Kim Jong Un, sudah membunuh musuh domestiknya, dan hidup dalam ”kepompong psikotis yang ia ciptakan sendiri”.

Trump dan Korut

Mengetahui semua fakta ini, presiden Amerika Serikat yang terpilih pada 2016, baik Demokrat maupun Republik, tentu wajib mempertimbangkan kemungkinan melakukan preventive war, perang untuk mencegah tindakan militer dari Kim.  ”Namun,” tegas Cohen, ”setelah dipertimbangkan, presiden Amerika mana pun pasti tidak akan memilih jalan itu.”

Alasan utamanya adalah ongkos yang bakal dibayar oleh Korea Selatan, yang sudah menjadi negara modern dan makmur selama paruh kedua abad ke-20.  ”Akankah rakyat Korsel memaafkan Amerika setelah warga dan kota-kotanya dibinasakan atas dalih melindungi warga dan kota-kota Amerika?  Apakah China akan tinggal diam kalau rezim Kim dihapuskan?  Dan, apa yang akan terjadi setelah itu?”

Sayangnya, Cohen meragukan apakah Presiden Donald Trump akan memilih jalan damai meski jelas jalan terbaik.  Kenapa?  Dari awal percaturan presidensial 2016, Cohen melawan pencalonan Trump.  Bagi Cohen, dan sejumlah kecil intelektual publik Partai Republik yang bertindak selaku naluri bangsa, Trump sama sekali tidak memenuhi syarat paling dasar untuk menjadi presiden.  Masalah inti adalah watak dan temperamennya.

Cohen mengacu pada tulisan panjang Dan P McAdams, profesor psikologi di universitas ternama, Northwestern University, The Mind of Donald Trump.  Artikel itu terbit lebih awal di The Atlantic, Juni 2016, dua bulan sebelum Trump dicalonkan.

Meski Trump tidak pernah menjadi pasiennya, McAdams mengaku bahwa selaku ilmuwan psikologi, ia bisa menggali banyak dari riwayat seorang selebritas seperti Trump.  Lagi pula, Tump telah menulis sejumlah buku sendiri dan beberapa biografi ditulis oleh orang lain.  Tak kurang penting, Trump sudah bertahun-tahun sering ”curhat” melalui kicauannya.

Penemuan apa yang meyakinkan Cohen bahwa Trump akan melakukan preventive war terhadap Korea Utara?  Menurut McAdams, Trump adalah seorang narsis yang terfokus hanya pada tercapainya kepentingannya sendiri.  Kepentingan didefinisikan selaku winning, kemenangan secara pribadi terhadap orang lain, juga dimengerti secara perseorangan.

Di luar negeri, pandangan ini diterapkan terutama dalam bidang ekonomi, dengan proteksionisme, dan keamanan, dengan andalan pada hard power.  Dalam buku kampanyenya, Crippled America, Trump menulis: ”Semua mulai dengan tentara yang kuat.  Semua”.  Modelnya adalah penaklukan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Penaklukan kelompok ini, tahun lalu, merupakan keberhasilan militer pertama pemerintahannya.  

Tentang Korut, Trump sudah bersitegas, negara itu harus melepaskan senjata nuklirnya, atau Amerika akan memaksanya dengan kekuatan militer.  ”Kami tak punya jalan lain,” kata Trump di depan massa pendukungnya.  Usaha menteri luar negerinya, Rex Tillerson, untuk membuka jalur diplomasi diremehkan oleh Trump.  Kim Jong Un dilecehkan sebagai ”Little Rocket Man”.

Alihkan perhatian

Akhirul kata, Cohen mengakui bahwa masih ada kemungkinan Trump tidak cukup berani untuk menyerang Korut, ”meski ia sudah membuat garis merah yang lebih besar dari semua presiden sebelumnya”.  Namun, hal itu akan berarti bahwa ”Amerika akan mengalami suatu penghinaan besar”.  Yang lebih mungkin: serangan terhadap Korut pada suatu waktu di 2018 yang akan merupakan bagi Trump ”suatu momen mulia, pemenuhan janji kampanye serta kesempatan untuk mengalihkan perhatian masyarakat Amerika dari pengusutan Special Counsel Robert Mueller tentang hubungan kampanyenya dengan Rusia”.

Sebagai warga Amerika, saya sendiri merasa kagum bahwa ada orang seperti Cohen yang dari awal tidak bersedia melihat partai dan negaranya dikuasai oleh pemimpin yang jahat dan kebijakan yang biadab.  Mudah-mudahan era Trump tidak akan berlanjut lama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar