Populisme
Islam (5)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas
Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
25 Januari
2018
Dilihat dari perspektif historis dan
pembentukan tradisi Islam Indonesia, populisme Islam vis-a-vis
kekuasaan—khususnya sejak masa kemerdekaan—hanya memiliki ruang sempit untuk
berkembang. Realitas Islam Indonesia yang bersifat wasathiyah tidak cocok
dengan pemikiran dan praksis politik yang mengandalkan kekuatan massa yang
cenderung konfrontatif.
Meski ada elemen ormas arus utama yang
simpati dan pro pemikiran dan gerakan populisme Islam, arus utama dalam
ormas-ormas tetap memegang Islam wasathiyah. Di sini ormas wasathiyah terlalu
besar untuk bisa terbawa arus populisme Islam. Sebaliknya, ada ketegangan dan
kontestasi apakah terbuka atau tersimpan di bawah permukaan antara
ormas-ormas washatiyah di satu pihak dan gerakan populisme Islam di pihak
lain.
Lebih jauh, ormas-ormas arus utama umumnya
memiliki hubungan baik dan kedekatan dengan kekuasaan. Meski ada
elemen-elemen kritis terhadap rezim penguasa, mayoritas terbesar arus utama
ormas-ormas bersifat nonpolitik; tidak terlibat dalam agenda politik
kekuasaan dan day-to-day politics.
Selain itu, ormas-ormas arus utama memiliki
banyak kepentingan yang dipertaruhkan dengan pemerintah. Selain cukup banyak
pimpinan dan anggota mereka berada dalam pemerintahan, kepentingan lain, khususnya
terkait dengan banyaknya lembaga yang mereka miliki sejak dari pesantren,
madrasah, sekolah Islam sampai perguruan tinggi, rumah sakit atau klinik,
lembaga penyantunan sosial dan ekonomi.
Dengan begitu, ormas-ormas arus utama
memerlukan kerja sama baik dan dukungan pemerintah. Ini berlaku sejak dari
tingkat tertinggi (presiden dan wakil presiden), sampai ke level pemerintahan
provinsi, kota/kabupaten, hingga ke tingkat kecamatan dan desa sekalipun.
Pada pihak lain, meski populisme Islam di
Indonesia memiliki agenda dan tujuan politik vis-a-vis kekuasaan yang ada,
dia bukan parpol. Sebab itu, secara hukum populisme Islam tidak bisa
menjalankan agenda dan praksis politiknya sendirian.
Karena itu, populisme Islam berkolaborasi
dengan pihak-pihak yang berbeda ideologi—bisa aktivis, politisi, dan
purnawirawan militer dan polisi. Kolaborasi semacam ini—lazim juga di banyak
negara mayoritas Muslim di Asia Barat dan Asia Selatan—dalam terminologi ilmu
politik sering disebut sebagai "marriage for convenience" (kawin
untuk kesenangan alias "kawin mut’ah") atau "strange
bed-fellows" (teman seketiduran yang asing).
Akan tetapi, marriage for convenience
biasanya tidak berlangsung lama. Pertama, karena kecanggungan di antara
berbagai pihak berbeda ideologi yang akhirnya berujung
"perceraian". Pada saat yang sama, rezim penguasa lazimnya juga
melakukan tindakan tertentu yang membuat terjadinya perceraian di antara
mereka.
Lebih jauh, populisme Islam di Indonesia
juga secara tidak resmi bekerja sama dengan parpol tidak pro-pemerintah—untuk
tidak menyebut parpol oposisi. Parpol-parpol tertentu mendukung gerakan
populisme Islam karena terkait kepentingan politik masing-masing—menunjukkan
simpati dan dukungan pada populisme Islam untuk mendapat tambahan suara dalam
pilkada, pileg, dan pilpres.
Oleh karena itu, dukungan parpol tertentu
pada gerakan populisme Islam bisa dikatakan tidak "genuine".
Tetapi, sekali lagi, karena kepentingan mereka dalam bersaing dengan parpol
lain pro-pemerintah dan sekaligus dengan rezim penguasa.
Lebih jauh, setiap parpol yang bisa
berkoalisi dengan parpol lain memiliki agenda dan target masing-masing.
Karena itulah, misalnya, dalam penetapan calon-calon yang maju dalam Pilkada
2018, parpol berjalan sendiri berdasarkan pertimbangan pragmatis atau
oportunis tanpa mempertimbangkan apalagi mengikutkan populisme Islam.
Kenyataan inilah yang membuat para pimpinan
populisme Islam di Indonesia sangat kecewa dan membentuk unit atau sayap yang
bertujuan menampung para aspiran dan kandidat yang berniat maju dalam
kontestasi politik. Tetapi, sekali lagi, unit ini bukanlah lembaga politik
resmi atau parpol sehingga secara hukum tidak dapat mengajukan calon-calon
untuk bertarung dalam pilkada, pileg, dan pilpres.
Dengan begitu, proses politik pilkada gagal
memberi momentum pada populisme Islam. Momentum itu juga tidak muncul karena
tak ada faktor pemersatu dan pemicu—seperti ada dalam Pilkada DKI Jakarta.
Melihat fenomena ini, menjadi tanda tanya
besar pula apakah populisme Islam dapat bangkit kembali pada Pileg dan
Pilpres 2019. Tetapi, sekali lagi, mempertimbangkan berbagai faktor dan
dinamika politik yang ada, orang tidak perlu terlalu khawatir dengan populisme Islam; dapat dipandang
sebagai gejala religio-politik biasa. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus