Rabu, 31 Januari 2018

Politik Pasca-212 (5.435) - Noory Okthariza

Perombakan Kabinet dan Politik Pasca-212
Noory Okthariza  ;  Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS, Jakarta
                                                 KORAN SINDO, 30 Januari 2018



                                                           
Satu hal yang sering luput dari perbicangan politik hari ini adalah bahwa politik Indonesia sebetulnya sudah memasuki era baru pasca gerakan massa 212 tahun 2016 lalu.

Politik pasca 212 ditandai setidaknya dengan tiga hal. Pertama, menguatnya pengaruh politik Islam yang ditandai dengan kemenangan Anies Baswedan dalam Pilkada Jakarta; kedua, mengerasnya hubungan oposisional antara koalisi pemerintah dan koalisi yang dipimpin Prabowo Subianto; dan ketiga, mulai munculnya perimbangan kekuatan militer terhadap supremasi sipil. Menguatnya pengaruh politik Islam terjadi bukan tanpa sebab. Meskipun awalnya tak disadari, “kecelakaan politik” yang menimpa gubernur Basuki Tjahaja Purnama kala itu menciptakan momentum bagi kelompok Islam untuk mengorganisir diri.

Kita tahu bahwa pada akhirnya momentum politik ini berhasil dimanfaatkan secara gemilang. Kelompok Islam tidak saja sukses menggalang mobilisasi massa berkali-kali selama Pilkada Jakarta berlangsung, tetapi mereka juga berhasil mendudukkan kandidat mereka ke kursi nomor satu di ibukota. Keberhasilan ini menciptakan kepuasan tersendiri bagi kelompok Islam. Jika dulu aspirasi politik Islam dianggap lebih bersifat simbolik dan berjalan lewat jalur parlementer, kini mereka sadar bahwa jalur eksekutif ternyata jauh lebih memikat. Kini, setelah Anies-Sandi terpilih, tampaknya “jalan Jakarta” akan coba diterapkan di beberapa daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak Juni mendatang.

Memang ini adalah tugas yang tidak mudah. Pilkada Jakarta terjadi dalam konteks yang sangat khusus dimana ada gubernur non-Muslim yang berasal dari etnis minoritas. Sang gubernur kala itu juga dianggap telah melukai umat Muslim serta berlaku tidak patut terhadap ulama. Tetapi “jalan Jakarta” yang dimaksud disini adalah soal komposisi koalisi politik yang terbangun. Pasca gerakan 212, kita tahu bahwa ada setidaknya tiga partai politik yang kian solid membangun kekuataan. Tiga partai ini adalah Gerindra, PKS, dan PAN.

Ketiga partai ini, yang besar kemungkinan mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres 2019, telah memutuskan untuk melakukan semacam pre-test, ujian awal, yang tujuan utamanya adalah memenangkan Prabowo pada Pilpres tahun depan. Ujian awal ini disepakati dilakukan di Pilkada 2018. Ketiga partai bersepakat untuk berada dalam koalisi bersama mengusung kandidat gubernur di tiga provinsi besar: Jawa Barat (Sudrajat – Saikhu), Jawa Tengah (Sudirman Said – Ida Fauziah), dan Sumatera Utara (Edy Rahmayadi – Musa Rajekshah).

Jika digabungkan, ketiga provinsi ini menaungi kurang lebih 95.3 juta penduduk, jumlah yang sangat besar dari total 258 juta penduduk Indoneisa. Dan apapun hasil akhir dari pemilihan gubernur di tiga provinsi ini, ketiga partai akan mendapatkan kebaikan. Jika menang, artinya mereka berhasil mendudukkan kandidatnya di kursi kekuasaan, dan jika kalah, sekurang-kurangnya mereka mendapat pelajaran berharga soal strategi menggalang kekuatan di lapangan agar makin solid pada 2019 nanti. Dan dalam dua konteks di ataslah muncul fenomena menarik.

Di pentas politik Indonesia, perlahan-lahan muncul pemain baru yang tampak kian penting untuk diperhatikan, yakni politik militer. Politik militer mewujud dalam diri mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Pasca Pilkada DKI, Gatot tanpa disangka- sangka menjadi aktor politik baru yang banyak dieluelukan masyarakat, khususnya dari kelompok Islam. Sang Jenderal tampaknya terpancing. Ia terlihat melakukan beberapa manuver secara sadar dan sistematis untuk meningkatkan popularitasnya.

Manuver-manuver yang ia lakukan misalnya melaksanakan pengajian-pengajian besar di Mabes TNI, memberi ceramah di kampus-kampus, mendatangi ulama-ulama, dan mengeluarkan beberapa statement populis seperti pemberhentian kerja sama militer Indonesia dan Australia. Demi mencegah manuver Panglima TNIyangkiandiluar kendali, Presiden Jokowi akhir-nya bersikap tegas: Memberhentikan Sang Jenderal dari jabatan Panglima meskipun masa pensiunnya masih cukup panjang. Tetapi presiden sadar bahwa dinamika politik satu setengah tahun ke belakang telah memberi panggung cukup terbuka bagi militer untuk menebar pengaruh.

Suka atau tidak, militer telah ikut mewarnai panggung politik Indonesia akhir-akhir ini. Keputusan memberhentikan Panglima TNI sendiri tidak menjamin akan menyurutkan pengaruh politik militer di tingkat nasional. Dan dalam konteks itulah kita memaknai reshufflekabinet yang dilakukan Presiden Jokowi 17 Januari. Terlihat ada upaya perimbangan kekuatan yang coba dilakukan Presiden terhadap militer. Mantan Panglima TNI Moeldoko masuk kabinet sebagai Kepala Staf Presiden menggantikan Teten Masduki.

Hal ini diikuti dengan masuknya Agum Gumilar, tokoh senior di kalangan purnawirawan angkatan darat, sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Agum dan Moeldoko akan bergabung dengan figur senior militer lainnya yang sudah ada di kabinet seperti Wiranto, Luhut Binsar Panjaitan, dan Ryamizard Ryacudu. Pertanyaannya kemudian apakah reshuffle ini berhasil menjawab dua kebutuhan sekaligus, yakni membatasi pengaruh politik militer yang kian menegas serta menjinakkan kekuatan politik Islam? Saya cenderung yakin bahwa pengaruh militer akan perlahan- lahan melemah, seiring dicabutnya mandat Jenderal Gatot oleh Presiden.

Kini Gatot tak lagi punya kuasa akan pasukan dan kuasa komando teritorial. Lagipula, rencana rotasi jabatan-jabatan strategis ditubuh TNI yang ia rencanakan menjelang lengser telah dianulir oleh Marsekal Tjahjanto, Panglima TNI baru. Tetapi soal politik Islam memang lebih rumit. Kita baru akan mendapat gambaran lebih utuh setidaknya sampai dengan Pilkada serentak usai digelar 27 Juni 2018.

Jika koalisi yang dipimpin Prabowo Subianto sukses memenangkan provinsi-provinsi kunci Juni nanti, pengaruh politik Islam kemungkinan akan semakin mengakar. Sambil terus bersiasat menghadapi perheletan Pilkada 2018, pemerintahan Jokowi mesti menemukan strategi bagaimana menghadapi kekuatan politik Islam, jika mereka ingin terpilih kembali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar