Inkonsistensi
Penjabat Gubernur
Syamsuddin Radjab ; Dosen Hukum Tata Negara
UIN Alauddin Makassar;
Direktur Eksekutif
Jenggala Center
|
KORAN
SINDO, 29 Januari 2018
DALAM sepekan ini, polemik calon penjabat
gubernur dua provinsi, Jawa Barat dan Sumatera Utara, menghiasi pelbagai
media baik cetak,elektronik maupun online.
Mendagri Tjahjo Kumolo memantik debat publik tersebut setelah menyampaikan
pernyataan (25/1) bahwa dua perwira Polri, yakni Irjen Pol M Iriawan (Asops
Mabes Polri) dan Irjen Pol Martuani Sormin (Kadiv Propam Mabes Polri), akan
diserahi tanggung jawab sebagai pelaksana tugas (plt) gubernur untuk Jawa
Barat dan Sumatera Utara.
Dalam Pasal 18 ayat (4) UUDN RI 1945 dinyatakan, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Terjemahan frasa “dipilih secara demokratis”, dulu gubernur, bupati, dan wali kota hanya dipilih oleh DPRD sesuai dengan tingkatannya, tetapi sekarang dipilih melalui pemilihan umum atau yang dikenal dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebelum terlalu jauh, ada soal esensi yang patut dikemukakan untuk mengurai kekusutan polemik pengisian jabatan gubernur dalam pilkada. Apakah jabatan gubernur merupakan jabatan politik atau jabatan birokrasi? Jawaban pertanyaan ini akan sangat membantu mengurangi energi perdebatan berkelanjutan di masa mendatang. Dengan demikian menata sistem pemerintahan sesuai dengan kerangka sistem ketatanegaraan menurut UUDN RI 1945. Dalam konstitusi (UUDN RI 1945), ada dua bab yang berbicara tentang pemerintahan. Pertama, bab III mengenai kekuasaan pemerintahan negara, dalam hal ini presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara dengan segala hak, tugas, wewenang, tata cara pemilihan, sumpah dan pemberhentiannya. Selanjutnya bab VI mengenai pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) dengan segala urusan yang berasaskan otonomi dan tugas pembantuan serta pengakuan atas kekhususan daerah, pemanfaatan sumber daya alam dan kewenangan membentuk aturan sendiri melalui peraturan daerah. Membaca kedua bab pemerintahan dalam konstitusi tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial dalam bentuk negara kesatuan yang terintegrasi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenang masing-masing dalam semangat desentralisasi atau otonomi dan menghargai tata nilai masyarakat yang hidup dan berkembang. Gubernur Jabatan Politik Max Weber (1864-1920) yang memperkenalkan istilah birokrasi menyebutnya sebagai hierarki otoritas (kekuasaan kantor) dalam struktur organisasi pemerintahan dengan tata prosedur dan pembagian tanggung jawab yang bersifat impersonal. Birokrasi dalam pemaknaan perbuatan atau tindakan administratif pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Adapun birokrasi dalam pemaknaan sebagai aparatur (perangkat/alat pemerintah atau negara) adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN). Membaca secara saksama makna filosofis dan original intent kandungan Pasal dalam Bab III dan Bab VI UUDN RI 1945 serta turunannya UU No 23 Tahun 2014 yang kemudian diubah menjadi UU No 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) serta UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada), yang pada prinsipnya menegaskan bahwa jabatan gubernur/bupati/wali kota merupakan jabatan politik dan bukan jabatan birokrasi. Memang segala tindakan dan perbuatannya dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan merupakan tindakan administratif. Jadi harus dibedakan, gubernur/bupati/wali kota dan wakil-wakilnya merupakan jabatan politik karena diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan dipilih melalui pilkada, tetapi segala tindakan dan perbuatannya dalam kapasitas sebagai pelaksana pemerintah daerah merupakan perbuatan administratif pemerintahan negara. Sementara birokrasi merupakan perangkat utama dalam menjalankan pemerintahan baik di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah dalam hal administrasi guna membantu pejabat politik dalam penyelenggaraan negara. Di sini para pembentuk UU Pemda dan UU Pilkada mendistorsi dan mempersamakan atau bahkan mereduksi secara ugal-ugalan antara jabatan politik dan jabatan birokrasi dalam urusan penyelenggaraan negara dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan daerah. Hal demikian tergambar dalam rumusan norma Pasal 1 ayat (13) UU Pemda dan tanpa uraian lanjut dalam pasal-pasal berikutnya yang berjumlah 411 pasal dan Pasal 73 ayat (3) UU Pilkada yang dijadikan dasar mengeluarkan Permendagri No 74 Tahun 2016 yang tidak mengatur penggantian gubernur, melainkan hanya soal cuti-bukan diganti-di luar tanggungan negara bagi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota. Apabila pembentuk UU (DPR dan pemerintah) konsisten dengan logika dan original intent rumusan norma Pasal 18, Pasal 18A ayat (1) UUD 1945 dikaitkan dengan Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 7B UUD 1945 mengenai pemerintahan daerah dan kekuasaan pemerintahan negara sebagai satu kesatuan nasional dalam sistem pemerintahan, persepsi yang harus dibangun adalah bahwa jabatan kepala pemerintahan (presiden/gubernur/ bupati/wali kota) merupakan jabatan politik karena diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol dan dipilih melalui pemilu/pilkada. Berdasarkan persepsi di atas, jika gubernur tidak dapat menjalankan tugas sehari-hari karena mengikuti pilkada misalnya, penjabatnya haruslah dari kalangan politisi pula dan bukan birokrasi. Hal ini sesuai dengan semangat UUD 1945 dan Pasal 88 ayat (1) UU Pemda, yaitu wakil gubernur melaksanakan tugas sehari-hari gubernur sampai dilantiknya gubernur terpilih dalam pilkada. Apabila gubernur dan wakil gubernur maju dalam pilkada, pengganti sementara juga dari parpol atau gabungan parpol pengusul sama yang berstatus anggota atau pimpinan DPRD yang ditetapkan melalui sidang paripurna paling lambat satu bulan sebelum dimulainya pendaftaran pasangan bakal calon peserta pilkada dengan mempertimbangkan saran dan masukan Mendagri. Pelantikan dilaksanakan sehari setelah gubernur petahana mendaftarkan diri sebagai bakal calon pilkada.
Kesesatan Plt Gubernur
Kesalahan mendasar dalam polemik plt gubernur karena UU Pilkada dan Permendagri No 74 Tahun 2016 mempersamakan jabatan politik dan jabatan birokrasi. Jabatan politik diraih melalui pemilihan langsung sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat, sedangkan jabatan birokrasi diperoleh karena prestasi kinerja, dedikasi, dan prestasi melalui merit system. Itu pun sebatas mengurus kantor pemerintahan sebagai supporting system penyelenggaraan negara. Dalam hal tersebut telah terjadi ketidakadilan hukum dalam memperoleh kedudukan di pemerintahan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945 dan Pasal 43 UU No 39 Tahun 199 tentang Hak Asasi Manusia. Katakanlah kita sepakat dengan argumen Mendagri Tjahjo Kumolo. Dari pelbagai pernyataannya, ada empat alasan yang dapat dinilai menyesatkan publik dalam memuluskan rencana plt gubernur yang akan diisi oleh dua perwira tinggi Polri aktif dengan uraian sebagai berikut. Pertama, pengisian jabatan gubernur yang diambil dari luar instansi Kemendagri pernah dilakukan dengan menunjuk Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai plt gubernur Sulawesi Barat dan Mayjen TNI Soedarmo sebagai plt gubernur Aceh masing-masing pada 2016 dalam menghadapi Pilkada 2017. Kedua, perwira tinggi yang berasal dari Polri dan TNI di atas sebelum menjadi penjabat gubernur bukanlah anggota TNI/ Polri aktif seperti Irjen Pol M Iriawan dan Irjen Pol Martuani Sormin. Carlo sebelumnya telah menjabat sebagai dirjen Politik dan Pemerintahan Umum di Kemendagri dan telah beralih status dan Darmo (sudah pensiun) yang menjabat sebagai staf ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi di Kemenko Polhukam telah beralih status menjadi PNS. Dengan berdalih kedua mantan plt gubernur juga berasal dari TNI/Polri sama dengan Iriawan dan Martuani, itu merupakan upaya penyesatan Mendagri karena tidak jujur menyampaikan bahwa kedua perwira tinggi tersebut sebelumnya telah beralih status kepegawaian atau bukan anggota TNI/Polri aktif lagi. Andaikata berkehendak memaksakan menjadikan perwira tinggi Polri aktif sebagai penjabat gubernur, Mendagri harus merujuk pada ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang menyatakan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.” Maka jelaslah, perwira tinggi Polri aktif yang ingin menduduki atau ditempatkan dalam jabatan birokrasi/publik (bukan jabatan politik) harus mengundurkan diri atau pensiun. Hal ini telah dilakukan Ronny Sompie (mantan Kapolda Bali) yang beralih status menjadi PNS dan diangkat menjadi Dirjen Imigrasi Kemenkumham, demikian pula Pudji Hartanto (mantan Kakorlantas) yang menjadi dirjen Perhubungan Darat di Kemenhub. Ketiga, pada struktur organisasi Kemendagri terdapat 16 jabatan eselon I atau jabatan pimpinan tinggi (JPT) yang dapat mengisi kekosongan jabatan gubernur yang ditinggalkan karena Pilkada 2018. Selain itu, secara kelaziman, pengisian jabatan sementara gubernur biasanya diambil dari pejabat eselon I Kemendagri atau pejabat sekda provinsi dengan pertimbangan efektivitas, efisiensi, dan kesinambungan atau keterpaduan dalam melaksanakan tugas pemerintahan daerah. Alasan kekurangan atau ketiadaan penjabat eselon I dalam lingkup Kemendagri menjadi tidak berdasar alias lemah baik secara logika maupun sistem penalaran hukum. Keempat, secara tegas dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada dan Pasal 4 ayat (2) Permendagri No 74 Tahun 2016 dinyatakan bahwa pelaksana tugas gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya Kemendagri atau pemerintah daerah provinsi dan bukan dari instansi lain, termasuk kepolisian. Tafsir di luar Kemendagri dan pemda merupakan tafsir sesuka hati Tjahjo Kumolo. Bahkan menurutnya juga selain dari kepolisian, bisa juga dari Kejaksaan Agung dan lain-lain. Kebijakan demikian lebih terkesan sebagai keputusan persuasi, semata-mata untuk mempengaruhi dan sebagai upaya meyakinkan publik agar tindakan dan kebijakannya diterima, tetapi tanpa berdasarkan hukum dan bahkan melanggar peraturan perundang-undangan yang secara jelas telah diatur. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar