Politik
Populis
Abdillah Toha ; Pemerhati Politik
|
KOMPAS,
29 Januari
2018
Pada era politik di tahun ini dan tahun
depan, perilaku politisi dalam meraih simpati pemilih tampaknya akan
cenderung populis. Gejolak populisme pada perpolitikan DKI 2017 akan
berpengaruh. Mereka sadar bahwa berkampanye dengan teori muluk-muluk tidak
akan laku.
Bahasanya akan dibuat sesederhana mungkin
agar bisa cepat ditangkap. Politisi, khususnya yang bukan petahana dan di
luar pemerintah yang berkuasa, akan menggambarkan dirinya sebagai pejuang
andalan rakyat yang ”tertindas” oleh penguasa dengan menjanjikan perubahan.
Populisme telah berjalan sepanjang umur
sejarah politik. Namun, belakangan ini tampak menguat di berbagai belahan
dunia, termasuk di Amerika dan Eropa. Populisme seyogianya bukanlah sebuah
ideologi, melainkan strategi politik yang memecah rakyat ke dalam dua kubu.
Kubu rakyat yang ”tertindas” atau tersumbat aspirasinya dan kubu kelompok elite
yang ”menindas” dan berkuasa. Politisi populis selalu berbicara atas nama
rakyat yang terpinggirkan.
Politisi populis tidak melihat suatu negeri
sebagai majemuk, tempat bersemayamnya berbagai kepentingan politik yang
berbeda-beda. Negara dibelah dua menjadi wong cilik atau mereka yang tak
tersalurkan aspirasinya di satu sisi dan orang berkuasa yang berkecukupan dan
korup di sisi lain. Populisme menarik garis yang tegas antara kawan dan
lawan. Kontrak politik apa pun akan ditandatangani demi memperjuangkan
”rakyat” yang terpinggirkan.
Populis bisa cenderung ke ideologi kiri,
bisa juga ke kanan. Yang kiri biasanya akan membela mereka yang diklaim
terpinggirkan karena alasan ekonomi disebabkan sumber daya yang dikuasai oleh
elite penguasa dan orang kaya. Yang kanan bisa bermotifkan nasionalisme,
sinofobia, bahkan sentimen agama. Yang terakhir ini mengklaim memperjuangkan
mayoritas pemeluk agama tertentu yang merasa agamanya terancam oleh minoritas
yang kuat dan berkuasa.
Donald Trump dituduh memenangkan pemilu
presiden di Amerika dengan menjual kampanye populis kanan. Slogannya ”Make
America Great Again” dengan menjajakan anti-imigran, ancaman Islam radikal,
nasionalisme, hilangnya peluang kerja oleh barang murah asing, dan
proteksionisme serta anti-perjanjian perdagangan bebas dengan negeri lain.
Di Inggris, populisme mengakibatkan Brexit,
keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang menurut banyak pihak dalam jangka
panjang merugikan Inggris dan Uni Eropa. Melimpahnya imigran ke Eropa juga
membuat partai-partai populis kanan, terutama di Eropa Timur, menguat.
Populisme yang bermula dari demokrasi
liberal juga lebih cenderung berproses menjadi fasisme dan otoriter begitu
mereka berkuasa. Nazi Jerman di bawah Hitler dan Italia di bawah Mussolini
pada Perang Dunia II adalah contoh politik populis kelas menengah yang
kemudian berkembang menjadi fasisme anti-asing. Berbagai teori konspirasi
dijual untuk mendukung kebijakannya.
Populisme yang dikelola oleh pemimpin
karismatik dan demagog bahkan bisa mencetuskan revolusi rakyat dengan
menggerakkan masa, seperti terbukti dalam berbagai peristiwa sejarah.
Dampak
populisme
Banyak orang sepakat bahwa gubernur DKI
yang sekarang berhasil mengalahkan saingannya dalam pilkada yang lalu dengan
strategi populisnya. Berbagai kontrak politik dibuat bersama kelompok bawah
dan kelompok agama dengan menampung aspirasi mereka. Kebijakan terkait
pedagang kaki lima (PKL) Tanah Abang, becak masuk kampung, janji tidak
menggusur, rumah dengan uang muka (down payment/DP) nol persen, dan lain-lain
itu adalah sebagian dari janji populis yang saat ini mulai diusahakan untuk
dipenuhi.
Masalah yang kemudian timbul ketika seorang
politisi populis terpilih adalah ketika dia akan memenuhi janji-janjinya.
Politisi populis ketika menyebut rakyat
atau ”kepentingan rakyat” implisit hanya menunjuk kepada rakyat yang
menjadikannya terpilih. Sekitar 40 atau 45 persen rakyat yang tak memilihnya
menjadi tidak relevan. Mereka dianggap tidak ada dan karenanya program
populis yang akan dilaksanakan dalam rangka memenuhi janji tidak perlu
memerhatikan kepentingan lebih besar yang mencakup seluruh warga.
Politisi populis berpikir jangka pendek.
Program-program yang dipilih harus segera bisa dirasakan hasilnya oleh
konstituennya. Mengampanyekan program jangka panjang yang hasilnya tidak akan
segera dirasakan rakyat akan dihindari. Program jangka panjang biasanya juga
akan menimbulkan rasa sakit dalam jangka pendek. Sebagai akibatnya, sumber
dana akan terkuras pada program-program yang konsumtif. Dengan demikian,
antisipasi terhadap kebutuhan dan masalah yang mungkin timbul di masa depan
dengan mengalokasikan belanja untuk program jangka panjang tidak mendapat
perhatian yang cukup. Rezim seperti ini akan sangat membebani penggantinya
pada saatnya nanti.
Politisi populis ada yang tulus, tetapi ada
pula yang sejak awal tidak pernah sungguh-sungguh berniat melaksanakan
janji-janjinya. Kelompok kedua ini biasanya terdiri dari politisi profesional
yang datang justru dari kelompok elite yang dipertentangkan dengan ”rakyat”
yang dibelanya. Begitu terpilih, dia akan kembali ke habitatnya karena
orang-orang jenis ini memang tidak mampu mengubah cara berpikirnya yang sudah
terbentuk lama. Begitu pula, apabila dia melaksanakan janji populisnya,
kepentingan diri dan kelompoknya bisa terancam.
Politisi populis juga cenderung mengobral
janji guna menyenangkan pemilih tanpa perhitungan yang matang tentang
kemampuan lembaga yang akan dipimpin untuk memenuhi janji-janji itu. Yang
terjadi kemudian, ketika terpilih, dia menghadapi dua pilihan. Ingkar
terhadap janjinya atau memenuhi janjinya dengan memotong dan meninggalkan
program-program penting yang sedang berjalan dan telah dirancang rezim
sebelumnya. Perbuatan ini sekaligus dalam rangka semata-mata untuk
menunjukkan bahwa dia berbeda dengan pendahulunya.
Politisi populis percaya bahwa rakyat
(mayoritas) selalu di pihak yang benar. Apa pun tuntutan rakyat harus
dipenuhi, tidak peduli apakah dalam jangka panjang akan berpotensi merugikan
rakyat juga. Fungsi pemimpin sebagai inspirator dan sumber visi kenegaraan
yang benar ditinggalkan. Sebagai contoh, pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono selama 10 tahun telah mengikuti keinginan rakyat menjual bensin
murah bersubsidi dengan konsekuensi memubazirkan hampir Rp 1.300 triliun yang
sebenarnya dapat dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat, termasuk membangun
infrastruktur yang sangat diperlukan bagi pendayagunaan ekonomi bangsa.
Rezim populis menentukan kebijakannya atas
dasar nilai-nilai moral yang diyakininya. Bukan atas dasar pertimbangan
rasional atau perhitungan ekonomi dan sosial yang terencana dengan baik.
Akibatnya, dalam perjalanannya negara akan menghadapi kejutan-kejutan yang
tidak diantisipasi. Ketika kemudian terapi diperlukan untuk mengatasi
kejutan-kejutan itu dengan memangkas kebijakan populisnya, yang terjadi
adalah pemberontakan oleh konstituen yang sudah terbiasa dimanjakan atau
kondisi sudah terlalu parah untuk diatasi.
Yang paling berbahaya, apabila rezim
populis percaya bahwa dia mewakili aspirasi rakyat yang sebenarnya, dia akan
menganggap semua unsur yang menentangnya, seperti partai politik lawan, media
masa, penegak hukum, dan semua institusi yang mengkritik, sebagai musuh yang
harus dihentikan. Rezim populis seperti ini apabila didukung oleh kekuatan
bersenjata bisa membahayakan kelangsungan demokrasi.
Populisme yang juga berbahaya adalah
populisme atas dasar sentimen agama dan ras. Di sini, sang politisi sudah
melangkah jauh dari pikiran rasional. Yang dimainkan adalah sentimen
primordial yang sangat peka dan dapat menyulut kekerasan. Bermula dari
kekerasan verbal menjadi kekerasan fisik. Kita telah menyaksikan ini terjadi
tahun lalu ketika beberapa kelompok ekstrem melakukan persekusi dan main
hakim sendiri terhadap mereka yang dianggap menghalangi kemauan mereka.
Di negeri-negeri demokrasi baru yang aturan
main demokrasinya belum bisa sepenuhnya ditegakkan, campuran antara populisme
dan politik uang merupakan senjata ampuh untuk merayu dukungan pemilih.
Populisme juga sering dimainkan oleh petahana yang ingin dipilih kembali
dengan menyesuaikan anggaran belanja pemerintah di tahun politik ke arah yang
lebih bisa dirasakan langsung dan segera oleh rakyat. Populisme sering hanya
memproduksi retorika dan khotbah-khotbah emosional yang berbau nasionalis dan
provinsialis. Semangat dikobarkan untuk mendukung tujuan-tujuan imajiner.
Permasalahan bangsa yang merugikan rakyat dibesar-besarkan untuk
membangkitkan emosi masa.
Peran
masyarakat
Meski belum ditemukan sistem lain yang
lebih baik, demokrasi nyaris tidak pernah menghasilkan pemimpin yang terbaik.
Kalaupun itu terjadi sekali-sekali, lebih merupakan kebetulan serta nasib
baik dan keberuntungan bangsa yang dipimpin. Karena itu, masyarakat luas
tidak boleh berpangku tangan dan menyerahkan seluruh proses demokrasi kepada
sistem yang berjalan.
Menjelang pilkada serentak lima bulan
mendatang dan pemilu presiden 14 bulan lagi, yakni April 2019, masyarakat
madani, cendekiawan, dan pers harus aktif membantu pemilih menjatuhkan
pilihan kepada calon yang tepat. Masyarakat perlu diberi masukan sebanyak
mungkin tentang integritas, rekam jejak, dan karakter calon-calon kepala
daerah dan anggota legislatif yang bertanding agar tidak salah pilih.
Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memastikan bahwa aturan main dipatuhi
semua pihak.
Pers tidak boleh lagi berlagak netral. Jika
didasarkan atas keyakinan kuat dan fakta-fakta obyektif, pers boleh berpihak
dan ikut mempromosikan calon tertentu yang diyakini jujur, mampu, dan
beritikad baik. Populisme tidak diharamkan asalkan dia merupakan populisme
positif yang rasional, tidak memecah belah bangsa, didukung oleh niat yang
tulus, dan dibarengi dengan pandangan visioner jangka panjang ke depan yang
konstruktif dan bermanfaat bagi pembangunan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar