Partai
dan Politik Tanpa Keadaban
Benny Susetyo ; Penasihat UKP Pancasila
|
KORAN
SINDO, 24 Januari 2018
KONFLIK internal partai politik (parpol)
kembal terulang di awal 2018 ini. Kali ini Partai Hanura yang dilanda prahara
yang pada akhirnya menimbulkan dualisme kepengurusan. Dua kubu saling pecat
yakni Ketua Umum Oesman Sapta Odang yang akrab disapa Oso dan Sekretaris
Jenderal Sarifuddin Sudding. Aksi saling pecat ini tak pelak membuat suasana
internal partai tersebut memanas.
Konflik parpol kerap kali terjadi karena
dipicu persoalan mendasar yakni tidak adanya ideologi yang jelas sebagai roh
perjuangan partai. Pendirian parpol kerapkali hanya berorientasi pada
pragmatisme dan transaksional kekuasaan. Peristiwa ini menunjukkan keadaban politik tidak memiliki ideologi
yang menjadi acuan dalam penataan parpol agar memiliki karakter melayani
rakyatnya.
Orientasi parpol hanya do ut des, sekadar
merebut jabatan kekuasaan tanpa penanaman nilai-nilai ideologi. Dalam kondisi
ini sebuah partai akan terjebak untuk mementingkan nilai ekonomi yang
bersifat serakah daripada menganut sebuah nilai ideologi sebagai filosofi
perjuangannya. Posisi parpol yang sekadar industri jasa untuk merebut
kekuasaan akan menyebabkan konflik internal mudah terjadi karena sistem nilai tidak dijadikan acuan dalam berpikir,
bertindak, dan berelasi. Orientasi berpolitik yang hanya do ut des (saya
mendapat apa dalam mengolah kekuasan) membuat politik menjadi benalu negara
karena kehilangan keadaban.
Nilai politik sebagai perjuangan mencapai
kesejahteraan kandas karena dikalahkan politik pragmatisme. Kekuasaan yang
semestinya menjadi alat untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, nyatanya
diselewengkan hanya demi kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Bangsa
mendapat pelajaran utama di mana kekuasaan beserta birokrasi sangat rentan
disalahgunakan bila tidak dipegang pribadi-pribadi yang sungguh-sungguh ingin
menciptakan kebaikan negeri.
Kekuasaan hanyalah medium kejahatan bagi
oknum politikus untuk memperkaya diri. Ironisnya lagi, kekuasaan justru kerap
menjadi senjata utama para elite untuk lupa terhadap kewajibannya kepada
rakyat. Hal ini terus-menerus berlangsung, seperti dibiarkan tanpa ada
perbaikan sebagaimana yang mestinya diperjuangkan parpol.
Semoga saja, masalah abadi perpolitikan ini
bukan karena keterbatasan imajinasi para elite dalam membayangkan peradaban
yang sempat jaya di dalam membangun keadaban politik. Rakyat harus menegaskan
kembali makna berpolitik dan berkekuasaan. Semua harus mengembalikan makna
berpolitik untuk kepentingan perjuangan semesta. Politik untuk membangun
Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera.
Partai politik yang tidak mampu menunjukkan
visi dalam menciptakan politik keadaban, maka ia juga tidak mampu keluar dari
lingkaran keperduliannya, yakni urusan
internal partai yang tidak akan
selesai karena pertarungan perebutan kekuasaan di internal. Ke depan
partai politik harus mampu menciptakan keadaban politik. Sudah saatnya
keadaban politik menjadi panglima karena tanpa itu politik tak ubahnya panggung yang berisi
para pesolek dan demagog. Tanpa keadaban, politik menjadi mahal. Politik
hanya menghasilkan seremoni lima tahunan yang menyajikan “menu prasmanan”
setengah basi. Tanpa keadaban, demokrasi yang kita elu-elukan juga akan
terjungkal.
Tentu dalam arena politik, lembaga paling
bertanggung jawab menentukan keadaban politik adalah partai. Dia merupakan
“kawah candradimuka” para politikus. Ibarat kampus, parpol harus memiliki
kurikulum yang jelas, khususnya kurikulum yang terkait etika. Lebih dari itu,
agar output lulusan bagus, kampus
politik bernama partai politik juga harus melakukan penyaringan kader secara
ketat.
Dengan menyaringan ketat dan kurikulum
tepat, output yang dihasilkan bisa
dipastikan baik. Peringatan ini penting disampaikan karena yang terjadi saat
ini, partai belum memiliki kurikulum yang jelas, penyaringannya pun
asal-asalan. Bahkan, tak jarang banyak orang yang ingin masuk parpol lewat
jalur belakang (transaksional). Dengan hanya bermodal uang, ia bisa dengan
mudah melenggang jadi elite parpol tanpa tes (integritas) terlebih dahulu.
Politik model itulah yang kini menghiasi
ruang publik. Padahal, Plato (427 SM-347 SM) jauh-jauh hari mengatakan,
seyogianya seorang pemimpin (politikus) itu lahir dari manusia “kepala”,
bukan manusia “dada”, apalagi “perut“. Jika dielaborasi, manusia kepala
adalah orang-orang bijak dan bajik, lebih mementingkan isi daripada bungkus.
Manusia dada adalah mereka yang lebih menonjolkan kekuatan fisik, haus citra
dan kekuasaan. Manusia perut lebih mementingkan nafsu keserakahan. Ketika
berpolitik, manusia tipe ini biasanya sangat berorientasi ingin mendapatkan
keuntungan berlimpah dari medan politik.
Tentu pandangan Plato di atas penting untuk
direnungkan, khususnya bagi parpol dalam memilih kader. Sebagai pilar
demokrasi, parpol harus mampu mencetak kader terbaik untuk bangsa ini. Parpol
yang baik tidak kehabisan stok kader. Idealnya, parpol lah yang membesarkan
figur, bukan figur yang membesarkan parpol. Ketika parpol sudah mampu
membesarkan figur —melahirkan kader-kader terbaiknya untuk bangsa—berarti
parpol tersebut sudah matang secara organisasi.
Sebagai kawah politikus, parpol memiliki
peran esensial dalam membawa arah mata angin kehidupan berbangsa. Paling
tidak, parpol harus mampu mewujukan gagasan Trisakti Bung Karno yang
lama-lama semakin dilupakan; berdaulat dalam politik, berdikari dalam
ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tentu gagasan founding father
itu akan terlaksana bila para politikus kita berpolitik dengan penuh
keadaban.
Jika orientasi ini dijalankan dalam menata
keadaban parpol, potensi konflik di dalam tubuh parpol akan kecil karena ia
akan berlomba merebut simpatik rakyat. Tidak justru sebaliknya, parpol hanya
berkutat pada urusan politik jangka pendek yakni merebut jatah kekuasaan
semata-mata. Bila hal ini terjadi parpol hanya sekadar jadi benalu negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar