Pulihkan
Citra DPR dengan Kinerja
Bambang Soesatyo ; Ketua DPR RI
|
KORAN
SINDO, 23 Januari 2018
DPR saat ini dihadapkan pada fakta tentang
buruknya persepsi masyarakat terhadap lembaga karena beberapa alasan. DPR
bahkan sudah dipersepsikan sebagai institusi paling korup. Dan mengacu pada
hasil kerja legislasi, DPR juga dinilai tidak produktif karena nyaris tidak
pernah mencapai target Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Anggota DPR
pun dinilai malas karena tingkat kehadiran yang rendah pada rapat-rapat alat
kelengkapan dewan (AKD).
Mengubah persepsi negatif publik tentang
DPR tersebut tidak bisa hanya dilakukan dengan kerja strategi pencitraan.
Perbaikan citra DPR akan berproses melalui peningkatan kinerja dan kualitas
produk, membangun suasana dialogis dengan pemerintah dan masyarakat, serta
responsif terhadap persoalan bangsa dan negara.
Kerja perbaikan citra dengan peningkatan
kinerja itu harus dimulai dengan menyamakan persepsi di antara semua unsur
atau kekuatan politik di DPR. Semua fraksi di DPR harus menerima kenyataan
atau menggarisbawahi fakta tentang buruknya persepsi masyarakat sebagaimana
disebutkan.
Persepsi negatif terhadap DPR sudah lama
terbentuk. Namun, selama itu pula nyaris tidak pernah ada upaya maksimal
untuk mengubahnya. DPR memperlihatkan gelagat tidak peduli dengan persepsi
negatif itu, sehingga DPR pun dinilai tidak punya sensitivitas untuk menjaga
marwahnya sendiri.
Kecenderungan negatif seperti itu
terpelihara karena DPR tidak berupaya membangun komunikasi yang baik dan
efektif dengan publik. Menyikapi kecaman atau kritik, sering kali reaksi
bukannya atas nama institusi, melainkan cenderung personal dan partisan
mewakili posisi dan sikap partai.
DPR seperti tidak punya juru bicara yang
sigap merespons ketika institusi menjadi target cercaan publik. Sudah barang
tentu DPR tidak boleh lagi dibiarkan dalam posisi seperti itu. Per institusi,
DPR harus segera memperlihatkan semangat perubahan, sejalan dengan perubahan
persepsi publik terhadap pemerintah yang terus membaik.
Untuk itu, semua elemen di DPR harus
didorong untuk peduli dan prihatin pada kenyataan tentang persepsi negatif
publik itu. Jangan lagi meremehkan atau menggampangkan masalah ini. DPR harus
sensitif menyikapi kritik atau kecaman publik. Jangan lagi kritik, masukan
bahkan kecaman masyarakat hanya dianggap angin lalu.
Publik berharap DPR responsif dan
konstruktif, dalam arti tidak emosional dengan sekadar melancarkan perang
kata-kata atau pernyataan, tetapi menyentuh dan mengunyah setiap persoalan
untuk menemukan solusi terbaik.
Karakter kepemimpinan DPR yang kolektif
kolegial harus diperkuat untuk tujuan kontributif dan produktif bagi
kepentingan negara dan rakyat, tanpa sedikit pun menghilangkan fungsi
pengawasan.
Namun, karena salah satu fokus terpenting
saat ini adalah perbaikan citra, kepemimpinan kolektif itu perlu menyamakan
dan mengambil sikap bersama untuk merespons masalah. Pertemuan reguler dengan
para pimpinan fraksi menjadi kebutuhan tak terelakkan.
Pertemuan reguler itu tentu saja
dimanfaatkan untuk mengi dentifikasi beban kerja DPR, menetapkan target dan
prioritas, serta mendata masalah-masalah yang dihadapi DPR. Semangat dan
kesepakatan untuk memperbaiki citra institusi patut diprioritaskan. Tidak
berarti pilihan perbaikan citra itu harus mengurangi arus kritik DPR kepada
mitra kerja atau eksekutif.
Kewajiban setiap anggota DPR adalah
berbicara mengkritik mitra kerjanya dari kamar eksekutif. Kewajiban yang satu
ini harus terus dilaksanakan. Tentu yang sangat dibutuhkan adalah kritik yang
konstruktif karena setiap anggota DPR diasumsikan tahu apa yang dikerjakan
para mitra.
Pada dasarnya, para mitra kerja DPR
(kementerian dan lembaga atau K/L) memang butuh kritik dan masukan. Maka,
sungguh tidak elok kalau parlemen sebagai mitra eksekutif bersikap minimalis
dan malas mengkritik pemerintah.
Kinerja
dan Kualitas
Jangan pernah berasumsi bahwa perbaikan
citra DPR hanya diwujudkan melalui strategi pencitraan. Masyarakat tidak bisa
dikelabui dengan strategi pencitraan. Adalah pepesan kosong jika kerja
pencitraan tidak dilengkapi dengan kerja nyata atau produktivitas.
Tidak ada pilihan lain bahwa perbaikan
citra DPR akan berproses melalui peningkatan kinerja, kualitas produk,
membangun suasana dialogis dengan pemerintah dan masyarakat , serta responsif
terhadap persoalan bangsa dan negara. Seperti diketahui, DPR dan pemerintah
pada November 2017 sudah memutuskan 50 rancangan undang-undang (RUU) masuk
dalam Prolegnas 2018 prioritas.
DPR mengajukan 31 RUU, pemerintah
mengajukan 16 RUU, dan DPD mengusulkan 3 RUU. Beban kerja legislasi ini
tampaknya tidak ringan, mengingat 2018 adalah tahun politik. Ambisi semua
partai politik(parpol) untuk meraih kemenangan pada Pilkada 2018 praktis
menghadirkan konsekuensi logis bagi semua anggota DPR.
Sebagai kader andalan, sebagian anggota DPR
harus menanggapi panggilan tugas dari partainya untuk kerja pemenangan.
Bahkan, dilemaituakan berlanjut sepanjang paruh kedua 2018. Sebab selepas
Pilkada 2018, anggota DPR akan melanjutkan konsolidasi menyongsong tahun
politik 2019 untuk agenda pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan
presiden (pilpres).
Maka itu, pimpinan DPR dan para ketua
fraksi perlu duduk bersama untuk membahas pengelolaan beban kerja ini. Apakah
jumlah RUU prioritas dalam Prolegnas 2018 perlu dipertahankan atau
disederhanakan lagi agar tampak lebih realistis? Penyelesaian beban kerja ini
tak bisa dipisahkan dari faktor kehadiran anggota dewan.
Karena itu, pimpinan DPR dan para ketua
fraksi juga perlu menyepakati ketentuan mengenai wajib hadir anggota fraksi
pada rapat-rapat AKD. Setiap fraksi akan diminta mengatur kegiatan anggota
pada tahun politik ini agar kerja legislasi tidak terganggu.
Selain target dalam Prolegnas 2018,
kualitas UU yang dihasilkan pun tidak boleh luput dari perhatian pimpinan
DPR. Selama ini, sudah menjadi catatan publik bahwa banyak produk UU
dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 2012 misalnya, MK membatalkan 29
UU.
Pembatalan oleh MK itu menjadi bukti
buruknya kualitas kerja DPR dan pemerintah sebagai perumus UU. Materi yang paling
banyak dimohonkan untuk diuji adalah aspekkeadilandanaspekkepastian hukum.
Sudah muncul kesan bahwa kualitas UU yang dihasilkan pemerintah dan DPR terus
menurun.
Beberapa produk UU yang dibatalkan MK
antara lain UU Nomor 17/2012 tentang Perkoperasian dan UU Nomor 7/2004
tentang Sumber Daya Air. Hingga tahun lalu, kecenderungannya belum membaik
sebagaimana yang dicatat oleh Setara Institute berikut ini; sepanjang periode
Agustus 2016-Agustus 2017, MK telah mengeluarkan 121 putusan terkait uji 258
pasal dari 62 produk UU.
Meliputi 26 putusan kabul, 38 putusan
laporan ditolak, 41 putusan laporan tidak dapat diterima, 5 putusan laporan
gugur, dan 11 laporan ditarik kembali. UU Nomor 10/2016 dan UU Nomor 8/2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) tercatat
sebagai UU yang paling banyak diuji, dengan 17 kali permohonan pengujian.
Agar kualitas UU semakin baik, DPR mau tak
mau harus lebih fokus dan mawas diri. Selain itu, kecenderungan DPR yang
ambisius untuk menyelesaikan puluhan RUU dalam satu tahun kerja harus
diakhiri. Demi kualitas UU, DPR memang harus realistis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar