Sabtu, 13 Januari 2018

Membangun Narasi Republik

Membangun Narasi Republik
Airlangga Pribadi Kusman  ;  Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga; Tenaga Ahli Deputi Pengkajian dan Materi UKP-PIP
                                                      KOMPAS, 11 Januari 2018



                                                           
Pancasila hadir kembali dalam praktik kehidupan bernegara bukan untuk disusun sebagai sebuah kumpulan doktrin komprehensif kaku yang dijejalkan oleh aparat negara terhadap rakyatnya.

Pancasila tampil kembali untuk menjalankan fungsi restoratifnya, sebagai inspirasi untuk membangun narasi tentang republik dan kebersamaan di tengah padatnya ruang publik yang terjejali oleh narasi kebencian, berita fitnah (fakenews), dan kabar-kabar burung yang perlahan memorakporandakan ikatan kita sebagai bangsa Indonesia.

Tahun 2017 yang telah silam ditandai oleh sebuah fenomena traumatis dalam kehidupan kebangsaan kita. Fenomena itu adalah menyebarnya narasi kebencian berbalut politik identitas yang menyebar bagai virus, membelah satu pihak dengan pihak lainnya berdasarkan kategorisasi kultural yang enggan untuk dikompromikan. Narasi pribumi versus nonpribumi ataupun narasi berbasis antagonisme agama dan ras menjadi racun bagi pertarungan politik semenjak Pilpres 2014 dan kian mengeras setahun belakangan.

Hal yang mengherankan, sentimen kebencian yang membelah ruang sosial ini mendapatkan pengikut lintas kelas dan lintas jenjang pendidikan ketika ironisnya kabar-kabar tersebut dirangkai oleh informasi palsu dan data yang sumir. Narasi tentang 15 juta kader PKI yang siap bangkit, kabar tentang 10 juta imigran kerja dari China yang akan menginvasi Indonesia, sampai dengan seruan kebencian terhadap yang berbeda menghiasi tidak saja perbincangan di warung kopi pinggir jalan, tetapi juga grup-grup interaksi dunia maya dari kalangan terdidik dan kelas menengah di berbagai penjuru Indonesia.

Narasi Pancasila

Narasi kebencian yang tersirkulasi dalam perbincangan sosial lintas kelas dan lintas profesi ini hadir di tengah absennya narasi alternatif yang dapat melampauinya, yakni perbincangan yang berpijak pada narasi republik, narasi kebersamaan, yang dalam konteks Indonesia adalah narasi yang dihidupi oleh nilai-nilai dasar Pancasila. Sampai sejauh ini, respons terhadap merebaknya narasi kebencian di sekitar kita masih bersifat reaktif, dengan sekadar menampilkan data yang valid dan argumen ilmiah untuk menangkalnya.

Padahal, seperti diutarakan intelektual progresif asal Inggris, George Monbiot (2017), dalam karyanya, Out of the Wreckage, berkaca pada penyebaran politik radikal sayap kanan di Eropa, sebuah narasi yang berpijak pada kebencian dan data yang sumir tidak bisa diredam kecuali oleh tampilnya narasi baru yang lebih solid.

Dalam penjelasannya, Monbiot menguraikan bahwa sebuah narasi berperan untuk menavigasi pikiran kita dalam memahami dunia. Melalui pemahaman atas sebuah cerita, otak kanan yang mengelola kemampuan emosional manusia memahami data dan argumen rasional yang diserap oleh otak kiri kita.

Kecenderungan utama dari mayoritas manusia saat mencoba memahami kompleksitas masalah tidak terutama pada pencarian informasi dan data yang valid, tetapi kita lebih menangkap cerita atau narasi yang meyakinkan dan koheren yang dapat menjelaskannya.

Terkait dengan konteks merebaknya narasi kebencian di sekitar kita, persoalan utama dari cara kita menghadapi persoalan itu bukan terletak pada kuat dan solidnya narasi kebencian diciptakan. Persoalan yang muncul adalah kekuatan sosial yang mencoba membangun kesadaran literasi cenderung melupakan usaha untuk membangun sebuah narasi yang solid dan kuat untuk melampauinya. Padahal, kita memiliki modal untuk membangun narasi kebersamaan yang luar biasa di dalam Pancasila.

Teberkatilah para pendiri Republik yang telah mewariskan kepada kita Pancasila yang berlandaskan atas nilai-nilai perenial yang menjadi archetype dasar umat manusia. Seperti diutarakan ahli neuroscience C Daniel Batson (2011) dalam karyanya, Altruism in Humans, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang suka menolong.

Gotong royong adalah kodrat utama kemanusiaan kita. Pada umur 14 bulan, seorang bayi mulai menolong bayi lainnya, pada umur 2 tahun mereka belajar untuk berbagi sesuatu yang ia sukai dan pada usia 3 tahun, seorang anak sudah mampu memprotes terhadap pelanggaran moral oleh masyarakat. Selanjutnya, apabila mereka hidup di dalam lingkungan yang sehat, nilai-nilai kasih dan gotong royong akan melekat sebagai karakter internal dalam dirinya, demikian sebaliknya.

Di atas fondasi keadaban publik yang sendi-sendinya dibangun oleh nilai-nilai di dalam sila-sila Pancasila inilah kita membangun narasi baru, narasi republik yang bersumber dalam sejarah revolusi Indonesia. Upaya untuk menoleh ke belakang dalam rangka membangun narasi kebersamaan ini bukanlah  merupakan langkah mundur yang romantik.

Di dalam penelusuran atas kekayaan khazanah historis bangsa kita, untuk membangun narasi republik inilah, kita menemukan inti dari pandangan Walter Benjamin dalam Theses on the Philosophy of History yang ia tulis di tengah kepungan narasi kebencian Fasisme Hitler pada awal 1940-an. Bagaimana sebuah aksi politik progresif meminjam dan menunjukkan solidaritasnya dari role model sebelumnya untuk meresapi sari pati nilai-nilai di dalamnya, menghormati capaian-capaian politik mereka, dan mengaktualisasikan dalam tugas-tugas politik masa kini. Sebuah lompatan ke depan yang harus dilakukan melalui prasyarat kemampuan reflektif untuk membaca sejarah kita sendiri.             

Dalam rujukan atas sejarah revolusi Indonesia dan perumusan Pancasila sebagai rumusan kesepakatan bersama, narasi-narasi baru kebersamaan dapat dibangun melalui pengedepanan prinsip-prinsip hidup yang berpijak pada republikanisme ala Indonesia. Narasi yang melampaui kerja reaktif dan mengkritik, tetapi berorientasi—meminjam istilah Bung Karno—Pancasila sebagai meja statis (landasan pemersatu) dan leitstar (bintang penunjuk arah kedepan).

Narasi republik yang mampu memberikan jawaban solid bahwa dengan gotong royong dan kolaborasi kita dapat menyembuhkan bangunan kebangsaan kita. Narasi kebangsaan yang dengan semangat suka menolong tanpa memandang latar belakang sosial di antara kita, cita-cita keadilan sosial dapat perlahan-lahan diwujudkan di bumi Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar