Pelecehan
Seksual Mengancam Perempuan
Bagong Suyanto ; Guru Besar FISIP
Universitas Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Januari 2018
AKSI pelecehan seksual kembali ramai
menjadi perbincangan warganet. Kali ini kasus yang viral di media sosial
ialah peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan oknum perawat di Rumah Sakit
National Hospital. Seorang pasien perempuan, W (33 tahun) yang ternyata
merupakan istri dari bekas pengacara Jessica Wongso, Yudi Wibowo, dilaporkan
telah menjadi korban pelecehan seksual pasca menjalani operasi. Ketika
dipindahkan dari kamar operasi menuju ruang pemulihan, dan kondisi pasien
tersebut masih setengah sadar, seorang perawat laki-laki berinisial J memanfaatkan
kesempatan meraba-raba payudara korban dua sampai tiga kali.
Sebelum kasus pelecehan seksual yang
terjadi di National Hospital ini viral, kasus pelecehan seksual yang juga
sempat ramai menjadi perbincangan warganet ialah kasus yang dialami AM, seorang
perempuan berusia 22 tahun di Depok. Pelaku, Ilham Sanin, 29, diketahui
sebagai pelaku pelecehan seksual dari rekaman CCTV. Saat melihat korban
seorang diri di Gang Datuk, Beji Depok, pelaku kemudian melakukan aksi kurang
ajarnya meremas payudara korban dengan alasan sekadar iseng.
Kedua kasus pelecehan seksual itu menjadi
perbicangan publik karena peristiwanya telah menyebar luas melalui media
sosial. Kasus yang awalnya beredar melalui Whatsapp grup dan media sosial ini
telah membuat warganet geram dan menuntut aparat kepolisian untuk segera
menindaklanjuti insiden tersebut.
Saat ini, kedua pelaku pelecehan seksual
telah ditangkap pihak yang berwajib. Mereka sudah tentu harus menjalani
proses hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Namun demikian, lebih dari
sekadar peristiwa kriminal, kasus pelecehan seksual sesungguhnya merupakan
fenomena sosial yang terjadi dan berkaitan dengan ideologi patriarki yang
cenderung melecehkan eksistensi perempuan.
Tidak
ada tempat aman
Di kalangan pemerhati hak perempuan,
pelecehan seksual bukan dipahami sekadar sebagai bentuk pelanggaran hukum
terhadap hak orang lain yang tergolong tindak kriminal. Lebih dari itu, kasus
ini merupakan sebuah peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki
terhadap perempuan karena dilatarbelakangi nilai sosial-budaya di masyarakat
yang sedikit-banyak bias gender. Pelecehan seksual tidak selalu berupa tindak
perkosaan atau kekerasan seksual. Bentuk pelecehan seksual dapat
bermacam-macam. Mulai dari sekadar menyiuli perempuan yang sedang berjalan,
memandang dengan mata seolah sedang menyelidiki tiap-tiap lekuk tubuh,
meraba-raba ke bagian tubuh yang sensitif, memperlihatkan gambar porno, dan
lain sebagainya. Pelecehan seksual sendiri merupakan sebuah bentuk pemberian
perhatian seksual, baik secara lisan, tulisan, maupun fisik terhadap diri
perempuan (Adrina, 1995). Sementara itu, menurut Michael Rubenstein (1992),
yang dimaksud pelecehan seksual ialah sifat perilaku seksual yang tidak
diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung si
penerima.
Persamaan dari pelecehan dan perkosaan
ialah keduanya sebetulnya sama-sama tidak diiinginkan perempuan yang menjadi
korban. Namun, acap kali kaum perempuan tak bisa berbuat apa-apa karena di
sana terdapat dan sedang berlaku nilai atau konstruksi sosial masyarakat yang
seolah-olah membenarkan peristiwa di atas atau minimal menuntut korban untuk
selalu bersikap pasrah (Rohan Collier, 1998). Intinya, pelecehan seksual
sesungguhnya merupakan bentuk perlakuan yang tidak wajar dan memaksa kepada
seseorang atau kelompok (perempuan) akibat adanya hubungan dominasi antarsatu
dengan yang lain. Pelecehan seksual tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi
juga terjadi di berbagai negara maju.
Di Uni Eropa, misalnya sekitar 4 juta manusia
dilaporkan pernah mengalami pelecehan seksual (Collins, 1992). Di Belgia,
survei menunjukkan bahwa 30%-34% perempuan mengalami pelecehan seksual di
tempat kerja. Di Spanyol, jumlahnya meningkat kira-kira 80%-90% di kalangan
perempuan muda. Di Portugal jumlahnya 37%, di Belanda 58%, dan di Jerman 72%
(Collier, 1998). Secara teoritis, tindak pelecehan seksual terhadap
perempuan oleh laki-laki merupakan gejala yang sangat kompleks. Mengakar
dalam hubungan kekuasaan yang berbasis gender, seksualitas, identitas diri
serta dipengaruhi pranata-pranata sosial yang berkembang di komunitas itu.
Pelecehan seksual ini, dalam banyak hal dipahami dan dianggap sebagai suatu
perpanjangan kontinum keyakinan yang seolah memberi hak kepada laki-laki
untuk mengendalikan perilaku perempuan, membuat perempuan tidak memiliki
kebebasan terhadap kehidupan seksual dan peran reproduktifnya sendiri,
misalnya dalam representasi simbolik dan ritual hubungan seksual.
Contoh pelecehan seksual yang acap tejadi
di masyarakat kita ialah risiko perempuan memperoleh perlakuan tak senonoh di
tempat kerja dan di berbagai zona publik, seperti di bus atau di kereta.
Bahkan, yang benar-benar memprihatinkan ialah ketika di tempat-tempat yang
seharusnya perempuan memperoleh perlindungan yang aman, seperti di rumah
sakit, ternyata ancaman pelecehan seksual juga tidak hilang. Kasus pelecehan
seksual yang terjadi di National Hospital seperti saat ini viral benar-benar
memberikan gambaran betapa tidak ada lagi tempat yang aman bagi kaum
perempuan.
Dekonstruksi
Berbeda dengan kasus pemerkosaan, kasus
pelecehan seksual selama ini kurang dianggap sebagai ancaman yang serius.
Bahkan ada indikasi munculnya tindak pelecehan seksual diklaim sebagian
akibat dipicu daya tarik dan kegenitan tampilan korban. Pendapat seperti ini
sudah barang tentu hanya menyimplifikasi masalah, cenderung bias, dan bahkan
merendahkan perempuan. Meningkatnya kasus pelecehan seksual sesungguhnya
merupakan refleksi dari kurangnya penghormatan terhadap perempuan dan lebih
banyak dipicu arogansi supremasi laki-laki. Seperti dikatakan BF Skinner,
bahwa perilaku agresi manusia termasuk perilaku melecehkan perempuan
sesungguhnya merupakan imbas dari pengaruh faktor lingkungan, bukan faktor
‘bawaan’.
Tindak pelecehan seksual merupakan
implikasi dari kelemahan dalam mengendalikan kontrol di dalam pribadi
seseorang (internal control) dan kurangnya mengendalikan kontrol dari luar
atas diri orang yang bersangkutan (eksternal control) di dalam menghadapi
tekanan dan tarikan sosial. Untuk mencegah agar kasus pelecehan seksual
tidak bertambah marak, selain dibutuhkan ketegasan dalam proses penegakan
hukum, yang tak kalah penting ialah bagaimana melakukan dekonstruksi terhadap
ideologi patriarki yang merendahkan perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar