Three
Filters of Socrates
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 26 Januari 2018
DI
TENGAH menyeruaknya hoax dan ujaran kebencian terutama lewat medsos, saya
jadi ingat nasihat Socrates, 470-399 SM saat bagaimana kiatnya untuk menepis
berbagai berita dan ujaran kebencian yang hanya akan merusak kerukunan dan
kedamaian sosial.
Kiat
Socrates ini dikenal dengan sebutan ‘Tiga Filter Socrates’. Dia merumuskan
filters ini setelah mengamati masyarakat Yunani kuno ketika mereka terlibat
dalam persaingan perebutan pengaruh politik, mirip suasana batin masyarakat
Indonesia yang tengah menghadapi pilkada dan pemilu.
Nasihat
Socrates, kalau ada orang datang membawa berita kepadamu, pertanyaan pertama
yang mesti dimajukan adalah; Apakah berita yang kamu sampaikan itu sebuah
kenyataan yang benar, ataukah fiktif alias bohong.
Mungkin
sekali seseorang akan menjawab bahwa berita itu benar adanya. Bahkan disertai
data dan fakta. Ini bukan mengada-ada.
Kalaupun
yang disampaikan sebuah fakta, bukan hoax, Socrates masih bertanya: Andaikan
aku tahu isi berita itu, kebaikan apa yang akan aku peroleh darinya? Jika tak
ada kebaikan, sebaliknya, malah menambah beban dan bahkan menimbulkan
keburukan pada diriku, maka tak perlu kita terima tawaran berita itu.
Tidak
semua peristiwa dan fakta yang terjadi pada orang lain mesti kita ketahui
karena adakalanya dengan mengetahui malah berakibat buruk dan merusak
persahabatan. Berita itu bisa meracuni pikiran dan perasaan. Namun, bisa saja
sebuah berita oleh yang menyampaikan dinilai benar dan baik.
Bagi
Socrates, masih harus difilter lagi dengan pertanyaan: Berita itu akan
membawa manfaat apa bagi saya dan masyarakat luas andaikan saya dan
masyarakat mengetahui?
Jadi,
untuk menjaga hati dan pikiran agar tidak kotor dan terkena penyakit dari
informasi yang berseliweran, atau bahkan sekarang ini bagaikan virus wabah
yang menyerang kita, maka kita disarankan selalu memasang tiga filter tadi.
Sebelum
kita buka mata, telinga dan jendela pikiran, kita tanya dulu, apakah isi
berita itu, faktual, apakah memberi nilai tambah berupa pengetahuan yang
baik. Lebih dari itu, apakah isi berita itu mendatangkan manfaat?
Nasihat
Socrates itu secara moral sangat sejalan dengan ajaran agama yang kita
pelajari. Namun jika diperhadapkan dengan praktik dalam panggung politik dan
bisnis yang terjadi, jangan-jangan sebaliknya. Kebohongan telah menjadi lahan
bisnis baru.
Pada
zaman Socrates, dulu kebohongan dan ujaran kebencian disampaikan secara lisan
dan jangkauan penyebarannya sangat terbatas. Tetapi hari ini dengan medsos
yang berbasis internet, kebohongan, ujaran kebencian, dan fitnah bisa
disebarkan dengan sangat mudah, cepat, dan luas. Ironisnya, ada orang-orang
yang senang dengan berita-berita sensasional, tidak difilter dan tidak peduli
apakah berita itu benar, baik, dan berguna.
Yang
demikian ini merebak karena dalam dirinya dikuasai oleh cara berpikir
kalah-menang menurut emosi dan kepentingan dirinya, bukan melihat orang lain
dalam tataran yang sama sebagai sesama manusia dan hamba Tuhan yang mesti
dihargai martabatnya.
Dalam
istilah Alquran, orang yang bergosip menjelekkan teman itu diibaratkan
sebagai "pemakan bangkai" (Alhujurat 12). Ini tentu lebih pedas
dari nasihat Socrates.
Mengapa
ibarat makan bangkai? Karena orang yang kita bicarakan kejelekannya tidak
hadir, tidak mendengar dan tidak bisa membela diri, tak ubahnya binatang
mati, tak berdaya diperlakukan apapun. Lalu bangkai itu kita nikmati, kita
asyik bergosip tentang orang itu. Padahal perbuatan itu sangat menjijikkan
dan kita benci kalau saja kita sadari. Begitu kata Alquran.
Untuk
mencintai nilai-nilai kejujuran dan kebaikan itu memerlukan latihan dan
pembiasaan yang dimulai dan dikondisikan sejak masa kanak-kanak terutama
dalam lingkungan keluarga. Ini mirip dengan cinta kebersihan.
Anak-anak
yang dari kecil oleh orang tuanya ditanamkan cinta kebersihan dan keteraturan,
maka dia akan merasa risih melihat lingkungan kotor. Dalam hal ini, kita bisa
belajar Jepang. Sulit menemukan sampah di sudut-sudut kota dan di lorong
jalan. Orang di Jepang terbiasa mengantongi bungkus roti atau kulit pisang,
baru dibuang kalau ketemu tempat sampah.
Mestinya
mata, telinga dan pikiran kita juga kita pagari sebagai filter, jangan
sembarang berita masuk ke folder memori kita. Mesti selektif membaca berita
yang sering menyergap handphone kita. Kalau terasa tidak sehat, segera kita
delete. Jangan malah disebarkan. Begitu pun membuka saluran TV, ingat dengan
tiga filter Socrates. Jika tidak baik dan tidak mendatangkan manfaat, tak
usah ditonton.
Sekadar
berbagi pengalaman, dengan berat hati saya keluar dari beberapa WA Group
(WAG) karena isi dan berita yang beredar sering kali berisi ujaran kebencian
yang merusak keharmonisan dalam persahabatan. Ini saya amati terjadi sejak
Pilkada DKI dan masih berlangsung sampai hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar