Membangun
Generasi Micin yang Percaya Diri
Iqbal Aji Daryono ; Esais; Bapak dua anak,
tinggal di Bantul
|
DETIKNEWS,
23 Januari
2018
Segenap kericuhan dunia maya pasca-2014
semakin memperkaya khazanah linguistik kita. Mulai pergeseran makna pada kata
'cebong' dan 'kampret', munculnya idiom baru semacam Bani Serbet dan Bani
Taplak, hingga yang paling mutakhir adalah 'generasi micin'.
Awalnya, saya menanggapi istilah-istilah
itu sebagai hiburan semata. Namun ceritanya jadi berubah pada dua pekan
terakhir. Tiba-tiba, saya sungguh sakit hati. Bukan karena 'cebong',
melainkan karena 'generasi micin'!
Selama ini, orang-orang memakai ungkapan
'generasi micin' sebagai ejekan, hinaan, untuk merendahkan pihak lawan yang
mereka anggap bodoh dan seterusnya. Dalam konstruksi persepsi yang mereka
bangun, kebodohan itu terjadi karena lawan mereka kebanyakan mengonsumsi
micin!
Ya Allah, ini tak dapat dibiarkan. Saya
terpanggil untuk mengembalikan martabat micin ke posisi yang semestinya.
***
Hanya dalam hitungan satu-dua hari selepas
kami meninggalkan Perth untuk seterusnya dan mendarat di Yogyakarta, anak
saya yang sulung sudah mulai mengeluh. Wajahnya cemberut parah. "In
Indonesia everything is dirty. The only place yang nggak dirty cuma di tempat
Bulik Uus."
Bulik Uus, alias adik saya, seorang dokter
gigi. Dia buka klinik di depan rumah. Bagi Hayun, anak sulung saya itu, cuma
klinik gigi itulah satu-satunya tempat bersih yang dia lihat di tanah tumpah
darahnya. Selebihnya kotor di mana-mana. Jalanan yang bertaburan papan baliho
yang menonjol-nonjol semrawut, sungai yang berair coklat diselingi sampah dan
beda jauh dengan Swan River yang jernih membiru, juga lalu lintas yang tampak
horor di matanya.
Mendengar keluhan itu, sontak harga diri
kebangsaan saya bergejolak. "Heh apa kau bilang? Ini negara dengan
penduduk seperempat miliar, mau kau bandingkan dengan benua yang cuma ngurus
25 juta orang? Negara ini pun jadi begini juga tak lepas dari hasil kelakuan
kolonial selama ratusan tahun! Lha Australi itu jadi begitu karena mereka
sendiri yang kolonial! Camkan itu baek-baek!"
Untunglah saya ingat bahwa Hayun masih
kanak-kanak berumur 8 tahun, dan dia juga anak saya sendiri. Maka saya cuma
mengelus rambutnya, dan memintanya bersabar. "Nanti pelan-pelan kamu
akan terbiasa, Nak. Ada banyak hal lain yang akan kamu sukai di sini."
Waktu kami boyongan pertama kali ke Perth
pada 2013, umur anak itu masih 4 tahun. Dia cuma sempat menjalani kehidupan
sosial di sekolah Indonesia sebentar saja sebelumnya, yakni di PAUD dan TK
separuh jalan.
Selanjutnya, sepanjang 4 tahun kemudian,
segenap proses penataan fondasi awal pendidikan dan pergaulannya dia dapatkan
di Perth. Dia belajar nilai-nilai dasar ya di Perth. Dia belajar bahasa
sebagai alat komunikasi yang lebih kompleks juga di Perth. Dia belajar konsep
kebersihan dan keselamatan juga yang ala Perth. Dia membangun persahabatan
mula-mula di Perth, bahkan seleranya atas makanan pun sangat dipengaruhi
bahan-bahan pangan di Perth.
Dari situ sejak awal kami harus memahami
bahwa dalam masa transisi selepas kami pulang ke Bantul, Hayun-lah yang
bakalan paling berat menjalaninya di antara kami berempat. Bapak dan ibunya
tentu nggak butuh adaptasi. Adiknya yang baru berumur 4 bulan jelas cuma
terima jadi, sebab bahkan seumur hidupnya belum pernah menghirup udara
Indonesia, dan belum paham pula bagaimana Australia.
Maka, di sinilah kemampuan parenting kami
ditantang, bagaimana agar bisa membimbing anak sulung kami, membantunya
menyeberangi masa berat ini dengan hati-hati.
***
"Hwaaaaa!! I miss Calistaaaaa! I miss
Zahra and Almaaaaa! I hate Indonesiaaaa! I wanna stay forever in
Australiaaaaa....!"
Dalam pelukan ibunya, tangis itu pecah
lagi. Pedih sekali mendengarnya. Kali ini bukan soal kebersihan yang dia
keluhkan. Bukan juga soal makhluk aneh bernama cecak yang tiba-tiba nongol di
dinding, dan membuat dia berteriak, "Goooosh, that's lizard! Lizard!
Gimana kalo itu jatuh kena kepalaku??"
Bukan, bukan itu. Sekarang dia menangis
sambil mengabsen nama-nama teman terdekatnya. Satu anak Indonesia, dua lagi
anak Irak. Sebenarnya Hayun masih lancar berbahasa Indonesia bahkan Jawa
(inilah untungnya punya bapak yang skor kemampuan bahasa Inggrisnya terlalu
mengharukan). Namun ketika emosinya menuju puncak, bahasa Inggrislah yang
keluar. Maka kami langsung paham bahwa kerinduan hatinya kepada para
sahabatnya benar-benar sedang membuka lukanya.
Yang lebih berat, kerinduan kepada teman
itu dibarengi juga dengan tumpukan kenangan saat mereka bermain bersama di
berbagai playground. Ini sudah perkara lain lagi. Taman-taman bermain di
Perth memang tersedia di mana-mana, semuanya outdoor. Lengkap, gratis,
bersih, aman, dan variatif. Hampir semua wahana permainan dibuat dari bahan
fiberglass yang antikarat, dan memberikan kemerdekaan kepada anak-anak untuk
melakukan olah fisik dengan gembira. Energi anak tersalurkan, otot-otot
selalu terlatih, kegesitan badan juga terus meningkat.
Untuk kerinduan kepada temannya, solusinya
relatif mudah. Video call! Untunglah zaman ini sudah melahirkan produk
peradaban yang satu itu, sehingga Hayun bisa bercakap heboh berjam-jam dengan
Calista. Tapi bagaimana dengan playground?
"Wow! That's so boring!" ucapnya
sinis saat kami membawanya ke sebelah Lapangan Parasamya Bantul, sembari
memintanya menikmati ayunan dari besi yang mejeng di sana. Dia memang tetap
mencobanya, tapi lalu sambil bersungut-sungut meninggalkannya.
Dalam kondisi bete melihatnya, ingin sekali
saya kembali menceramahinya, "Ndhuk, kamu tahu nggak, banyak playground
bagus di Perth itu dibikin dengan dana sumbangan dari Lotteriwest! Itu uang
dari bisnis perjudian! Haram! Kamu mungkin senang bermain di sana, tapi
kesenanganmu tidak akan membawa barokah!"
Untunglah saya masih waras dan mampu
mengontrol diri, meski kemudian tak tahu harus mencari cara apa lagi. Anak
saya pada hari-hari pertama itu masih terus mengusik rasa nasionalisme
bapaknya, mengejek Indonesia Tanah Air Beta, seolah-olah tak ada satu pun hal
menyenangkan di dalamnya.
Hingga kemudian, ada satu peristiwa yang
membuka pintu harapan….
***
Sudah lama sekali saya tidak melihatnya
makan selahap itu. Semangkok penuh, dan dia menyantapnya tanpa jeda, hingga
cuma sedikit meninggalkan sisa. Saya dan istri memandang berbinar-binar ke
wajah anak kami yang tampak diliputi rasa bahagia. Oh, pertolongan Tuhan
telah tiba.
Warung Mie Ayam Tumini, sebelah Terminal
Giwangan. Semangkok Rp 10.000, dengan bumbu pekat dan rasa micin yang lumayan
liat. Micin! Nyaris saja saya melompat sambil berteriak "Eureka!"
Micin datang sebagai solusi, jauh lebih
konkret ketimbang Khilafah. Selama di Australia, kami memang jauh dari micin.
Kerinduan kami pada rasa micin jarang terobati. Entah kenapa, barangkali
karena standar kesehatan ala Australia yang terlalu menyiksa diri, maka kadar
micin pada berbagai makanan amat dibatasi.
Benar, banyak swalayan juga menjual Indomie
(maaf sebut merek). Namun Indomie yang dijual resmi untuk pasar Australia
dihidangkan dengan micin seiprit, sehingga sensasi makan intel goreng jauh
dari suasana hati saat nongkrong tengah malam di warung-warung Putra Sunda.
Maka, Mie Ayam Tumini pun menjadi gerbang
megah yang memulihkan stabilitas spiritual anak saya. Mulutnya
mengecap-ngecap, sulur-sulur mie panjang itu dia sedot dengan nikmat, kuahnya
berleleran di janggut bahkan di bajunya yang kena ciprat.
Ini surga.
Tak berhenti di mie ayam. Dia juga
menemukan keindahan duniawi satu lagi, karena ibunya menyambarkan sebungkus
snack saat berbelanja.
"Wowww it's so
yummmyyyyy…!"ucapnya sambil ngemil krauk-krauk tanpa henti. Karo, bukan
nama sebenarnya, sejak itu menjadi menu jajan yang selalu ia tunggu-tunggu.
Rasa segurih keping-keping keripik Karo tidak pernah ia dapatkan di Perth.
Puncaknya, Hayun sekarang sudah mau mengakui bahwa snack Indonesia jauh lebih
enak ketimbang snack Australia! Ini tentu perkembangan kesadaran kebangsaan
yang amat membanggakan.
"Jadi kamu sudah tahu to, kalau
Indonesia is much more beautiful than Australia?" tanya saya, dengan
ekspresi ala Najwa Shihab saat memojokkan narasumbernya.
"Noooooooo!" Hayun masih gengsi
mengakuinya. Tapi saya tahu, emosi dan perasaan sentimentilnya sudah jauh
berkurang, dan dia mulai stabil dan percaya diri untuk memulai proses
kehidupan selanjutnya.
***
Apa pesan moral dari cerita ini? Tidak ada.
Ini bukan perkara moral-moralan. Ini lebih kepada kisah tentang realitas
hidup para orangtua yang gagap dan putus asa, yang kadangkala harus
berkompromi dengan banyak hal, serta satu-dua kali terpaksa meninggalkan
idealisme muluk-muluk dalam mendidik anak-anaknya.
Kesehatan badan itu penting. Tapi kesehatan
batin pada saat-saat genting acapkali jauh lebih penting.
Lagi pula, hei, kata siapa micin berbahaya?
Dr. John W. Olney dari Washington University memang menyebut efek-efek
berbahaya dari MSG. Tapi riset dari The Federation of American Societies for
Experimental Biology malah menemukan sebaliknya.
Entahlah, saya juga nggak tahu versi mana
yang lebih mendekati kebenaran hakiki. Tapi dari situ akhirnya muncul satu
pelajaran, yakni para orangtua mesti berani mengambil sikap dalam menghadapi
informasi kesehatan yang sering berganti-ganti. Hari ini ada pakar bilang
minum air putih banyak-banyak itu sehat, besoknya ada pakar lain lagi
mengatakan air dari sayur mayur dan buah sudah cukup. Hari Senin ada ahli
menulis bahwa wortel sangat bagus untuk kesehatan mata, tapi di hari Jumat
ada profesor menyatakan kebanyakan wortel justru berbahaya.
Hoahm. Kita orang awam jadi
terombang-ambing dalam iman yang rapuh. Maka dalam situasi banjir bandang
informasi seperti ini, saya kira hanya ada satu rumus ilmiah yang paling layak
dipegang teguh: "Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."
Al-Quran Surah Al-A'raf ayat 31. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar