Mendidik
Anak Bukan Sekadar Menyekolahkan
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS,
29 Januari
2018
Seorang teman saya yang tinggal di
Kalimantan mengeluhkan kualitas sekolah di kotanya, yang menurut dia buruk.
"Perlukah saya mengirim anak sekolah ke Jawa?" tanyanya pada saya.
Saya balik bertanya, "Siapa yang akan mendidik anakmu selama dia tinggal
di Jawa?"
Bagi banyak orang, mendidik anak itu adalah
memasukkan mereka ke sekolah. Pendidikan yang baik artinya memasukkan
anak-anak ke sekolah yang baik, atau dikenal dengan sekolah favorit. Maka,
orangtua rela menitipkan anaknya ke tempat lain, agar mereka mendapat
pendidikan yang baik, alias mendapat sekolah yang baik.
Apakah itu sebuah pilihan yang buruk?
Tidak. Hanya saja menimbulkan pertanyaan soal tanggung jawab pendidikan anak.
Ketika anak kita titipkan pada orang lain, lantas apa peran kita sebagai
orangtua dalam pendidikannya?
Pendidikan anak itu tanggung jawab
orangtua. Saya kira tidak ada yang menyangkal pandangan ini. Lalu, apa peran
sekolah? Sekolah, bagi saya, hanyalah institusi yang membantu setiap orangtua
dalam mendidik anak. Peran orangtua tetap yang utama. Jangan sampai terbalik,
seolah sekolah memegang peran utama, sehingga orangtua bisa lepas tangan
kalau sudah memasukkan anak ke sekolah.
Artinya, bila tidak ada sekolah yang baik,
atau sekolah yang ada tidak memuaskan, orangtua sebenarnya harus mengisi
kekurangan itu dengan peran mereka. Dengan prinsip itu maka ada sejumlah oran
tua yang memilih untuk tidak menyekolahkan anak ke sekolah formal, cukup
menempuh pendidikan dengan cara homeschooling.
Saya tidak menempuh cara homeschooling,
tapi menempatkan diri sebagai pemeran utama pendidikan anak. Dalam hal
pelajaran akademik, saya terlibat langsung mengajari anak-anak saya berbagai
pelajaran yang mereka terima di sekolah. Saya bantu anak-anak untuk memahami
dengan lebih baik, ketika mereka masih kesulitan memahami materi yang
diajarkan di sekolah. Ada bagian yang saya luruskan, ketika konsep yang
diajarkan guru-guru menurut saya keliru. Ada pula bagian yang saya tambahkan,
untuk pengayaan terhadap materi yang sudah diajarkan.
Itulah yang harus dilakukan oleh orangtua.
Bila sekolah sudah cukup memenuhi kebutuhan anak kita, maka kita tinggal
memperkayanya. Tapi ketika sekolah kita anggap tidak memadai, maka kita harus
melengkapinya. Bila diperlukan, kita harus mengambil peran utama dalam
pengajaran materi-materi akademik itu.
Pendidikan tentu bukan hanya soal materi
akademik. Materi pelajaran itu sesungguhnya hanya bagian yang sangat kecil
dari seluruh komponen pendidikan anak-anak kita. Yang lebih penting dari itu
adalah pembentukan karakter, seperti gigih dan tangguh, tertib, bersih,
hormat dan menghargai orang lain, dan sebagainya. Sebagian dari kebutuhan itu
tentu saja bisa kita harapkan dipenuhi oleh sekolah. Tapi sekali lagi, peran
terbesar dalam pembentukannya harus ada pada orangtua.
Porsi terbesar dalam pendidikan anak
sebenarnya tidak melalui proses pengajaran, tapi melalui interaksi. Kita
berinteraksi dengan anak setiap hari, dari situ kita menanamkan nilai-nilai.
Interaksi itu dimulai dari sapaan, sentuhan, dan berbagai aktivitas yang kita
lakukan bersama. Pembangunan karakter tadi tidak bisa hanya melalui nasihat
verbal saja. Karena itu, interaksi adalah pusat dalam pendidikan anak kita.
Nah, ketika anak-anak justru kita jauhkan dari kita, bukankah itu
menghilangkan komponen terbesar tadi?
Banyak orangtua berdalih bahwa mereka tidak
mampu melakukan itu semua. Kalau tidak mampu, artinya Anda merasa tidak mampu
mendidik anak bukan? Lalu, kenapa punya anak? Dalam banyak kasus, para
orangtua itu bukan tidak mampu, tapi tidak tahu atau tidak sadar. Mereka
mengira pendidikan identik dengan sekolah. Yang sudah tahu, tidak punya cukup
keinginan untuk melaksanakannya. Yang tidak mampu, tidak punya keinginan
belajar, agar menjadi mampu.
Ya, setiap orang perlu belajar untuk
menjadi orangtua. Menjadi orangtua bukan sekadar memenuhi hasrat seksual,
yang akibat biologisnya adalah punya anak. Juga bukan sekadar untuk memenuhi
kebutuhan psikologis, menikmati interaksi dengan anak hanya pada bagian yang
kita sukai saja. Juga bukan untuk memenuhi kebutuhan sosial, punya anak
karena orang lain punya anak.
Saat anak sudah hadir di kandungan,
pasangan orang tua harus tahu bagaimana ia harus diperlakukan. Salah
perlakuan bisa membuat bayi tadi terancam jiwanya, atau lahir cacat. Saat
bayi sudah lahir, maka orangtua harus tahu bagaimana cara merawatnya.
Perawatan diperlukan tidak hanya untuk fisik saja, tapi juga untuk kebutuhan
psikisnya. Demikian pula seterusnya. Orangtua tidak boleh berhenti belajar,
guna memenuhi kebutuhan untuk mendidik anak-anaknya.
Nah, banyak orangtua enggan melakukan itu.
Makin besar anak tumbuh, makin kompleks kebutuhan pendidikannya. Artinya,
makin kompleks hal-hal yang harus dipelajari. Guna mendorong anak saya agar
tertarik belajar program komputer, saya harus belajar ulang tentang
dasar-dasar pemrograman, misalnya. Kita harus terus belajar, karena kebutuhan
anak kita yang sangat dinamis.
Jadi, sebenarnya tidak ada istilah tidak
bisa dalam mendidik anak kita sendiri. Yang ada hanyalah tidak mau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar