Republik
Laki-laki
Teuku Kemal Fasya ; Dewan Pakar NU Aceh;
Peneliti tentang
Perlindungan dan Hak-hak Perempuan di Aceh Utara
|
KOMPAS,
29 Januari
2018
Meskipun usia reformasi hampir dua
dasawarsa, belum banyak kegembiraan bagi perempuan Indonesia. Pembahasan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual menunjukkan sinyal emansipasi dan perlindungan
hukum bagi perempuan masih cukup temaram.
Hadirnya Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) diyakini mengakomodasi dan memenangkan
posisi ”subalternitas” perempuan akibat kekerasan yang tidak pernah diakui
sebagai tindak pidana. Rancangan awal RUU ini memasukkan sembilan jenis
tindak pidana kekerasan. Belakangan, beberapa poin tidak dianggap sebagai
tindak pidana dan dihapuskan dari pasal-pasal, seperti pemaksaan kontrasepsi,
pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan
seksual (Kompas, 27/10/2017).
Perjalanan RUU PKS ini sendiri cukup
berkelok. Rancangan telah dipersiapkan sejak awal pemerintahan Joko Widodo
yang diharapkan melengkapi hal-hal
yang belum diatur di dalam UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan di
Dalam Rumah Tangga, UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, dan KUHP.
RUU
PKS diimajinasikan jadi lilin terang bagi kasus-kasus kejahatan yang sulit
dipidanakan karena belum ada jaminan hukum. Demikian pula ia bisa jadi terapi
kejut bagi pelaku humiliasi seksualitas perempuan yang berketerusan tanpa
tepi, yang terus menderetkan korban.
Konstruksi narasi dan persiapan hukumnya
sudah cukup matang. RUU ini dipersiapkan sejak 2014-2015 oleh Forum Pengada
Layanan (FPL) yang jumlahnya mencapai 120 se-Indonesia dan Komnas Perempuan.
RUU ini masuk Program Legislasi Nasional pada 2016 sebagai inisiatif
parlemen, tetapi baru dibahas pada semester akhir 2017. Sayangnya, RUU ini
dibahas hanya di tingkat Panja Komisi VIII DPR yang terbatas sumber daya
perempuannya. Akan lebih baik jika ia jadi pembahasan panitia khusus (pansus)
yang lintas komisi.
Seperti banyak terjadi pada RUU progresif
yang memperbarui nilai dan norma di dalam masyarakat, RUU PKS tampaknya mulai
menemukan takdir kemunduran. Yang mencolok adalah cepatnya berubah beberapa
pasal penting dari kekerasan seksual jadi bukan masalah pidana dalam
pembahasan di parlemen. Tim pemerintah
melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak malah
merontokkan pasal-pasal misoginis dan eksploitatif seksual dari daftar
inventarisasi masalah (DIM) akibat kesadaran patriakhal yang tidak masuk
akal.
Bagaimana mungkin masih muncul pertanyaan
enigmatis seolah-olah tidak ada kasus pemerkosaan di dalam rumah tangga.
Padahal, melalui pemberitaan saja dengan mudah ditemukan kasus suami
memperlakukan istri bak ”kenikmatan komersial” yang dijajakan kepada pihak
lain. Ini bukti ruang patriarkal tumbuh di lembaga negara yang seharusnya
memiliki kesadaran feminisme dan jender yang kuat.
Bukan
fiksi
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual. Dalam catatan
tahunan Komnas Perempuan, sepanjang 2016 terdapat 259.150 jumlah kekerasan
terhadap perempuan. Lebih dari 90 persen kasus kekerasan itu terekam melalui
proses di 358 pengadilan agama, sisanya dari rekap kronologis mitra layanan
di seluruh Indonesia. Kasus tertinggi adalah kekerasan fisik (42 persen) dan
kekerasan seksual (34 persen) (kompas.com, 7/3/2017).
Data itu teramat banyak untuk bisa disebut
narasi fiktif. Gambaran itu bukan sketsa rekaan atau jurnalisme warga yang
bersifat longgar, melainkan data valid yang berimplikasi legal. Meski
demikian, penyingkapan kisah kelam perempuan terkait tubuh dan seksualitasnya
belum cukup efektif. Kriminalisasi, viktimisasi, dan penistaan perempuan korban
sampai saat ini belum memiliki tuas hukum yang adil dan manusiawi. Perempuan
masih mudah dianiaya atas alasan moral dan agama.
Hasil penelitian penulis pada 2017 juga
menunjukkan kualitas data yang kian mencengangkan. Praktik kekerasan tak
hanya di ruang domestik dan publik, juga di dunia pendidikan Islam
tradisional seperti dayah (pesantren). Basis penelitian ini kajian legal
perda dan kontribusinya bagi kesejahteraan sosial. Instrumen analisis melihat
dampak biaya dan manfaat hadirnya sebuah peraturan dan tanggung jawab sosial
ketika menghadirkan peraturan. Peraturan yang dipilih adalah Qanun No 3/2012
Aceh Utara tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Dayah.
Secara umum, qanun yang diteliti terlihat
”netral jender”, yang berarti tidak terlihat diskriminasi terhadap perempuan,
baik bagi ustazah (teungku inong) maupun santriwati. Namun, bacaan normatif
legal itu tidak banyak menolong di dunia nyata.
Secara tak terduga penelitian menemukan
kasus-kasus kekerasan seksual terhadap santriwati. Anehnya, penyelesaian
hukum atas kasus ini cenderung secara ”adat”, yang ikut didesain oleh kepala
desa (geuchiek) dan aparat keamanan.
Ketika kasus-kasus kekerasan seksual di
dayah tradisional (salafy) semakin merebak, bupati mencoba mengantisipasi
dengan membuat peraturan (perbup). Namun, lagi-lagi konstruksi hukum yang
dipersiapkan semakin misoginis dan diskriminatif.
Salah satu pasal di dalam perbup
menyebutkan, ”bahwa pelanggaran berupa tindakan asusila/amoral yang dilakukan
pengasuh dimaksud maka dapat ditindak pidana oleh pihak berwajib, jika tidak
bisa diselesaikan secara perdamaian maupun secara adat” (Perbup Aceh Utara No
35/2014). Fenomena hukum ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual dianggap
sebagai perkara perdata atau pidana ringan yang bisa diselesaikan dengan cara
damai.
Jika
RUU PKS saat ini mangkrak seperti proyek Hambalang, dapat ditemukan
justifikasinya. Dari hulu masyarakat, kasus-kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan masih dilindungi oleh adat dan kultur lokal. Dari hilir elite
pemerintahan, dampak populisme agama menyebabkan belum ada keberanian
bertindak progresif dalam politik pembangunan hukum.
Secara antropologis, masyarakat kita belum
menghargai hak-hak korban, terutama bagi perempuan miskin dan kelas sosial
rendah yang mayoritas jumlahnya. Problem seksualitas masih menempatkan
perempuan sebagai pelaku dan laki-laki sosok yang tercemar kehormatannya.
Perempuan korban masih dituduh pengarang dan pembohong atas kisah-kisah
pelecehan dan perbudakan seksual yang dialami. Republik ini masih berjalan
pincang untuk masalah ini. ●
|
Prediksi Bola Sevilla vs Inter 22 Agustus 2020 yang akan diselenggarakan langsung tanpa penonton di Rhein Energie Stadion.
BalasHapusDalam pertemuan kedua tim di Liga Europa kali ini. Akan di Jadwal Bola Malam Ini pertandingan ini tentunya akan sangat seru untuk di tonton pada Siaran Bola Live Streaming