Pidana
LGBT dan Hak Asasi
Mimin Dwi Hartono ; Staf Senior Komnas HAM
|
TEMPO.CO,
30 Januari
2018
Dewan Perwakilan Rakyat mendorong adanya
ketentuan pemidanaan terhadap kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan
transgender) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Rencana
itu memposisikan kelompok LGBT sebagai pelaku kriminal, sehingga tidak sesuai
dengan norma dan nilai hak asasi manusia (HAM).
Menurut norma dan prinsip HAM yang dimuat
dalam dokumen Prinsip Yogyakarta (Yogyakarta Principles), LGBT adalah
kelompok rentan yang wajib dilindungi oleh negara.Prinsip Yogyakarta adalah
panduan global bagi upaya penghapusan stigma dan diskriminasi bagi kelompok
LGBT. Dokumen itu dicetuskan di Yogyakarta pada 2007 oleh 29 ahli hukum
internasional dan HAM dari 25 negara. Salah satunya adalah Marry Robinson,
bekas Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam perspektif HAM, LGBT juga disebut
sebagai SOGIE (sexual orientation gender identity and expression atau
orientasi seksual dan identitas gender). Menurut Prinsip Yogyakarta,
orientasi seksual dijelaskan sebagai kapasitas masing-masing orang untuk
memunculkan ketertarikan emosional, rasa sayang dan ketertarikan seksual,
serta hubungan intim dan seksual dengan individu dari gender yang berbeda
atau sama atau lebih dari satu gender.
Adapun identitas gender adalah perasaan dan
pengalaman internal setiap individu terhadap gender yang mungkin saja tidak
sesuai dengan jenis kelaminnya pada saat dia dilahirkan. Hal itu termasuk
perasaannya pada bagian tubuhnya, yang mungkin mencakup, jika dapat dipilih
secara bebas, pengubahan bentuk tubuhnya dengan cara medis, pembedahan atau
cara lainnya, dan cara lain dalam mengekspresikan gender, termasuk cara
berpakaian, berbicara, dan bertingkah laku.
Kelompok LGBT melakukan aktivitas seksual
konsensual, yakni tindakan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa atas
pilihan pribadi, tanpa paksaan dan dengan kesadaran penuh. Orientasi seksual
dan identitas gender merupakan bagian integral dari martabat dan kemanusiaan,
sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar melakukan diskriminasi,
kekerasan, apalagi pemidanaan.
Prinsip Yogyakarta disusun dari berbagai
standar HAM dan implementasinya terhadap isu-isu orientasi seksual dan
identitas gender dengan berbasis pada nilai universal bahwa setiap manusia
dilahirkan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak. Dengan demikian,
setiap orang berhak menikmati HAM tanpa adanya perbedaan atas dasar apa pun,
seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, dan agama.
Sebagai salah satu kelompok rentan, karena sebagian besar dari mereka belum
dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara, dan hidup dalam ketakutan
dan diskriminasi secara masif, LGBT wajib dilindungi oleh negara sebagaimana
layaknya manusia lain.
Pemahaman yang keliru atas LGBT, baik di
kalangan masyarakat, pemuka agama, maupun pemerintah, mengakibatkan kaum
tersebut terus mengalami tindak diskriminasi dan pelanggaran HAM. LGBT
dianggap sebagai aktivitas amoral, menyimpang, dan merusak sendi-sendi
kehidupan bangsa. Menurut Komisi HAM PBB, kekhawatiran yang didasari
homofobia ini seringkali mendatangkan kekerasan, tindakan sewenang-wenang,
dan pengucilan terhadap kelompok tersebut.
Sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum
mengambil langkah-langkah efektif untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip
dalam Prinsip Yogyakarta. Padahal, kekerasan terhadap kelompok LGBT sudah
banyak terjadi, seperti pelecehan, pengucilan, penganiayaan, penahanan
sewenang-wenang, perundungan, khususnya di sekolah, dan yang kini mengancam
adalah pemidanaan.
UUD 1945 menggariskan bahwa setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif
itu. Deklarasi Universal HAM juga menegaskan bahwa semua manusia terlahir
dengan martabat dan hak yang setara. Maka, setiap orang dari semua orientasi
seksual dan identitas gender berhak menikmati HAM sepenuhnya. Untuk itu,
negara wajib mengubah segala perundang-undangan, termasuk yang berkaitan
dengan pidana, untuk memastikan bahwa mereka sejalan dengan perlindungan HAM
secara universal.
Namun, yang saat ini terjadi, khususnya di
DPR, adalah tindakan yang sebaliknya. Alih-alih melindungi LGBT dari tindak
kekerasan dan diskriminasi, DPR justru berupaya mempidanakan mereka.
Legislator seyogianya melihat dan memahami LGBT secara utuh sesuai dengan
Prinsip Yogyakarta dalam membahas Rancangan KUHP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar