Polri
Jangan Berpolitik Praktis
Agus Riewanto ; Pengajar Program
Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
|
KORAN
JAKARTA, 30 Januari 2018
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo,
mengusulkan dua perwira tinggi aktif Polri menjadi Penjabat Gubernur Jawa
Barat dan Sumatera Utara. Mereka adalah Asisten Kapolri bidang Operasi, Irjen
M Iriawan, dan Kadiv Propam Polri, Irjen Martuani Sormin. Alasannya, untuk
menjaga pelaksanaan pilkada aman karena di dua provinsi ini rawan konflik.
Penjabat Gubenur Polri diharapkan dapat menjaga harmoni di daerah.
Sikap Mendagri mendapat perhatian karena
penjabat gubernur dari kalangan Polri aktif justru akan mengaburkan makna
menjaga harmoni, bisa-bisa malah melahirkan masalah. Sebab bertentangan
dengan prinsip demokrasi. Polri aktif tidak boleh terlibat dalam politik
praktis.
Kemudian juga bertentangan dengan UU No10
Tahun 2010 tentang Pilkada di mana pejabat tinggi madya harus berasal dari
Pegawai Negeri Sipil lingkungan pemerintah pusat atau daerah, bukan Polri.
Netralitas Polri dalam Pilkada tahun 2018 tak bisa disepelekan. Maka, perlu
mencegah Polri berpolitik praktis.
Pilkada serentak gelombang ketiga tahun
2018 berlangsung di 171 daerah. Pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan
wakil sudah dilakukan. KPU akan menetapkan pasangan calon pada 12 Februari
2018. Tercatat dari 569 calon kepala daerah, 9 di antaranya dari TNI dan 8
Polri. Mereka berpangkat Jenderal hingga bintara dan tamtama. Status mereka
ada yang mengajukan pensiun dini dan masih aktif.
Magnet Pilkada tahun 2018 sangat tinggi
karena mampu memikat hati anggota Polri dan TNI ikut berkompetisi meraih
jabatan sipil. Kini posisi jabatan kepala daerah bergengsi karena mampu
menjadi jembatan meraih tiket ke puncak kekuasaan nasional. Tidak sedikit
tokoh nasional kini berasal dari daerah. Presiden Jokowi contoh inspiratif
tokoh lokal. Dia dari Solo mampu meraih kekuasaan Gubernur DKI Jakarta dan
Presiden RI.
Karena itu, tidak salah para prajurit
TNI/Polri pun mencoba meraih peruntungan dalam kompetisi Pilkada. Namun
publik khawatir institusi TNI/Polri tidak netral dalam pilkada sebab beberapa
calon masih aktif. Mereka hanya di non-job. Mereka baru akan mengundurkan
diri dari keanggotaan Polri ketika telah ditetapkan menjadi calon KPU pada
tanggal 12 Februari 2018.
Pasal 7 huruf t UU No 10/2016 tentang
Pilkada tertulis, pernyataan tertulis pengunduran diri sebagai anggota Polri
dilakukan setelah ditetapkan sebagai pasangan calon. Namun, jeda waktu ini
tak cukup menjamin Polri untuk netral. Sebab watak komando dalam kedua
institusi ini sangat berpotensi mendorong loyalitas anggota ke atasan.
Jika Perwira aktif Polri diangkat menjadi
penjabat gubernur dan kian hari banyak anggota Polri tergiur dalam kompetisi
pilkada, dikhawatirkan dapat mengganggu soliditas dan penjenjangan karier
yang meritokratis dan profesional di tubuh Polri. Ada sinyalemen kuat
institusi Polri hanya akan menjadi batu loncatan menuju tangga jabatan
politik.
Revisi
UU
Padahal sejak semula Polri didesain sebagai
institusi profesional menjaga kedaulatan negara dan penegakan hukum serta
ketertiban. Itulah sebabnya pola rekrutmen, pendidikan, pelatihan, dan
penjejangan karir di Polri berbeda dari sipil.
Guna mencegah Polri tak hanya menjadi
kendaraan sejumlah anggota yang ambisius politik, sudah seharusnya ada
regulasi tegas larangan selama menjadi anggota Polri tidak boleh terlibat
dalam politik, kendati mendekati usia pensiun. Karena para calon kepala
daerah umumnya mencalonkan diri menjadi beberapa tahun jelang pensiun.
Larangan tegas melalui revisi UU Polri yang
mengatur sejak menjadi anggota Polri hingga pensiun loyal pada negara. Kedua
UU ini mengatur pakta integritas anggota Polri tidak berpolitik praktis
hingga pensiun. Ini untuk mengembalikan kodrat Polri institusi yang didesain
hanya loyal untuk menjaga ideologi negara dari kepentingan pragmatis. Dengan
demikian ketika negara berada dalam situasi genting sekalipun masih ada
institusi yang bersifat netral.
Maka andai anggota Polri yang mencalonkan
diri kepala daerah cukup mundur atau pensiun dini, langsung maupun tidak,
masih terdapat ikatan emosional antara institusi Polri dan anggotanya
terhadap calon. Apalagi budaya politik Indonesia masih paternalistik yang
menempatkan posisi atasan sebagai patron, bawahan klien.
Polri perlu menyusun road map reformasi
penjejangan karir yang meritokratis, professional, dan terjamin
kesejahteraannya. Cara ini akan dapat menghindari para anggota TNI/Polri
lompat pagar menjadi politisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar