Memidanakan
LGBT
M Nasir Djamil ; Anggota Panitia Kerja
(Panja) RKUHP Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 23 Januari 2018
Isu mengenai legalitas lesbian, gay,
biseksual, dan transgender (LGBT) kembali mendapat perhatian publik setelah
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menyebut ada lima fraksi di DPR yang mendukung
penyimpangan orientasi seksual LGBT.
Sayangnya pernyataan itu dinilai hanya
mencari sensasi semata karena tidak menyebut fraksi mana saja. Juga karena
ketidakcermatan menyebut soal rancangan undang-undang (RUU) yang sedang
dibahas. Sejatinya tidak ada pembahasan RUU yang secara khusus membahas
larangan LGBT karena persoalan boleh tidaknya LGBT berkaitan erat dengan
legalitas pernikahan.
Di beberapa negara seperti Australia dan
Amerika, perkawinan sejenis memang telah dilegalkan. Karena itu, jika hendak
berbicara mengenai larangan LGBT secara khusus seharusnya berbicara mengenai
perubahan UU Perkawinan atau pembentukan RUU tentang larangan LGBT itu
sendiri.
Dalam Prolegnas tahun 2017 maupun 2018, dua
UU tersebut tidak masuk. Berkaitan dengan perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan memberikan aturan main yang tegas bahwa pernikahan itu
dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya (pasal
2 ayat (1)).
Artinya, tidak dapat negara memberikan
pengakuan terhadap pernikahan yang melanggar agama. Ini jelas sejalan dengan
prinsip negara Indonesia sebagai negara berketuhanan yang ada dalam Pancasila
dan UUD 1945. Dalam konteks ini pula, tidak ada satu pun agama di Indonesia
yang membolehkan pernikahan sejenis.
Dengan demikian, dariaspek UU Perkawinan
keberadaan pernikahan sejenis ini jelas tidak diakui. Namun demikian, UU
Perkawinan pun tidak memberikan ancaman hukuman, khususnya hukum pidana, jika
ternyata ada yang melakukan pernikahan sejenis. Ini menjadi persoalan
tersendiri.
RKUHP
dan LGBT
“Ribut-ribut” tentang LGBT yang ada di DPR
saat ini tidak lain karena sedang dibahasnya Rancangan Kitab Undang- Undang
Hukum Pidana (RKUHP) sebagai upaya untuk mengganti KUHP Warisan Belanda.
Persoalan LGBT sendiri muncul dalam bagian
mengenai “Percabulan” Pasal 495 yang menyebutkan: (1) “Setiap orang yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang
diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun” dan (2) “Dipidana
dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks
anal atau semua bentuk pertemuan organ nonkelamin dengan alat kelamin yang
dilakukan secara homoseksual.
” Sekilas tidak ada yang salah dengan pasal
tersebut, namun menjadi pertanyaan, mengapa hanya diancamkan bagi perbuatan
yang korbannya belum berumur 18 tahun? Apakah yang dilakukan terhadap orang
dewasa (di atas 18 tahun) menjadi boleh? Pertanyaan inilah yang sedari awal
pembahasan RKUHP di DPR saya tanyakan kepada pemerintah sebagai penyusun
RKUHP.
Prof Muladi selaku tim perumus menyebutkan
alasan orang dewasa tidak dipidanakan adalah karena kejahatan cabul terhadap
sesama jenis di dunia internasional hanya diancamkan untuk yang di-lakukan
terhadap anak atau child abuse , sementara untuk orang dewasa tidak.
Karena itu, draf Pasal 495 itu sama persis
dengan Pasal 292 KUHP Warisan Belanda. Hal inilah sepertinya salah satu titik
krusial persoalan LGBT. Dengan hanya memberikan ancaman pidana terhadap
tindakan LGBT sesuai kategori child abuse tersebut, maka secara esensial
orang dewasa diperbolehkan melakukan LGBT.
Dalam pembahasan di Tim Perumus RKUHP
Komisi III DPR pada 15 Januari 2018, telah terjadi perkembangan signifikan di
mana fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah merumuskan agar pasal pemidanaan
bagi LGBT tersebut tidak hanya berlaku dalam kategori child abuse saja,
tetapi juga tanpa batas usia.
Selain itu, muncul juga upaya pemberatan
khususnya jika apabila menyebabkan luka terhadap anak atau menggunakan
kekerasan, dilakukan di muka umum, memublikasikan, dan mengandung unsur
pornografi. Ketentuan ini rencananya akan difinalisasi dalam rapat kerja
Komisi III bersama pemerintah.
Sebenarnya masih ada yang kurang, khususnya
pemidanaan bagi tindakan pernikahan sejenis baik pelakunya maupun pihakpihak
yang mendukungnya. Ketentuan tersebut seharusnya perlu dimasukkan juga
sebagai penegas bahwa UU Perkawinan kita menolak pernikahan sejenis dan bagi
yang melanggarnya diancamkan pidana dalam KUHP.
Upaya pemidanaan perbuatan LGBT tersebut
adalah langkah maju bagi bangsa Indonesia, sekaligus penegasan ke dunia
internasional bahwa kita memiliki kedaulatan hukum di mana kita tidak tunduk,
apalagi mau diatur-atur oleh asing. Bagi Indonesia, mengkriminalisasi LGBT
untuk seluruh usia adalah bentuk nyata penerapan nilai-nilai Pancasila yang
berketuhanan.
Jika ini diabaikan dan LGBT tidak
dikriminalisasi, bukankah sebuah pelanggaranterhadapPancasila? Bukankah pula
Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016, walaupun menolak mengkriminalisasi LGBT
melalui putusan pengadilan, namun dalam pertimbangan hakimnya menyebutkan
bukan berarti mereka setuju terhadap LGBT, melainkan seharusnya DPR-lah yang
memiliki kewenangan apakah akan memidanakan LGBT atau tidak.
Dengan demikian, ini adalah tindakan
konstitusional. Apalagi dalam Naskah Akademik RKUHP disebutkan pendapat Prof
Oemar Senoadji bahwa sekitar kejahatan ter-hadap kesusilaan seharusnyalah
unsur-unsur agama memegang peranannya.
Solusi
lainnya
Lalu, apakah dengan adanya kriminalisasi
terhadap LGBT terhadap semua usia akan menyelesaikan masalah? Tentunya tidak,
karena KUHP hanyalah satu undang-undang yang mengatur soal ancaman pidana
terhadap berbagai macam perbuatan yang dilarang.
Karena itu, di sinilah urgensi pembentukan
UU Larangan LGBT yang mengatur secara komprehensif penanganan LGBT. Walau
bagaimanapun, LGBT adalah sebuah penyakit menular yang oleh sebagian orang
dinilai menjijikkan.
Karena itu, penyelesaian melalui jalur
penjara tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Justru tesis
orangorang yang menolak memidanakan LGBT dengan alasan overkriminalisasi dan
kemungkinan semakin sesaknya lembaga pemasyarakatan (LP) akan menjadi
kenyataan.
Karena itu, gagasan membentuk UU Larangan
LGBT menemui urgensinya dengan menitiktekankan upaya penyembuhan melalui
media medis dan psikologis terhadap pelaku LGBT. Ancaman pidana hanyalah
jalan terakhir (ultimum remedium ), khususnya bagi pelaku yang melakukan
tindakan dengan kekerasan, apalagi untuk kepentingan bisnis (perdagangan),
pornografi dan penyebarluasan (penularan).
Sementara itu, kelompok orang yang
terindikasi LGBT namun tidak melakukan tindakan cabul, seharusnya diobati. Di
sinilah perlunya UU Larangan LGBT tersebut, sehingga pemerintah pun diberikan
kewajiban untuk menyediakan sarana prasarana untuk menanggulangi dan lebih
khusus mencegah serta mengobatinya.
Dengan demikian, over kapasitas LP akan
terhindari dan kita juga memberikan jalan terbaik bagi yang terjangkit
penyakit tersebut agar dapat disembuhkan. Semoga ikhtiar ini mendapatkan
dukungan dan dapat direalisasikan segera! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar