Warisan
Kritisisme Daoed Joesoef
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi FISIP
Universitas Malikussaleh Lhokseumawe; Dewan Pakar NU Aceh
|
KOMPAS.COM,
30 Januari
2018
SEJAK bulan Juli 2017 Profesor Daoed
Joesoef (DJ), begitu saya memanggilnya, sudah meminta saya untuk menjadi
pengulas buku memoarnya yang rencananya diluncurkan pada 8 Agustus 2017.
Namun rencana itu meleset, karena proses koreksi terus-menerus dilakukannya.
Sebagai sosok yang merasakan tiga zaman
babak bangsa, ia perlu memberikan sentuhan hati-hati karena apa yang
disampaikannya telah menjadi sejarah bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia.
Mencapai umur 90 tahun adalah kemewahan
bagi banyak orang. Ia tentu masih bisa menjadikan pengalaman puluhan tahun
lalu itu sebagai pelajaran generasi muda.
Memoarnya ini sendiri tidak cukup tepat
dikatakan catatan biografis karena ada gagasan intelektual, catatan
etnografis tentang Medan sebagai kota pertama kehidupannya yang dikenal
sebagai Parijs van Soematra, wacana politik, persuasi moral, dan pesan
pedagogik yang menjadi pakaian seumur hidup pengabdiannya.
Berkali-kali Prof DJ menelpon saya agar
saya tetap menjadi pembicara meskipun jadwal terus berubah.
Akhirnya, ia ingin menjadikan momentum 28
Oktober 2017 sebagai puncak peluncuran buku itu di Centre for Strategic and
International Studies (CSIS). Itu lembaga think tank yang ikut didirikan dan
dibesarkannya.
Untuk keperluan saya ke Jakarta, hotel dan
tiket penerbangan telah diurus oleh sang menantu, Dr. Bambang Pharmasetiawan,
jauh-jauh hari.
“Saya tak ingin Kemal terlunta-lunta di
Jakarta,” sebuah ungkapan yang membuat saya geli.
Namun lagi-lagi, acara peluncuran buku itu
terpaksa dimajukan pada 26 Oktober 2017. Alasannya 28 Oktober jatuh pada hari
Sabtu dan dikenal “hari mati” untuk diskusi.
Rata-rata peserta yang diundang hadir
adalah para intelektual dan mantan birokrat gaek yang enggan mengisi akhir
pekan dengan acara diskusi.
Warisan
Bangsa
25 Oktober petang saya tiba di rumahnya di
daerah Kemang, Jakarta Selatan dari bandara. Setelah salat magrib di rumah
yang sangat ikonik dosen era 70-an, dengan pintu berkasa dan halaman luas
dengan tanaman bunga dan buah, ia memegang lutut saya, sambil sedikit terisak,
bahwa buku “Rekam Jejak Anak Tiga Zaman” adalah bagian dari warisannya kepada
bangsa ini. Ia tak tahu apakah masih ada waktu untuk menerbitkan buku setelah
ini.
Ia memberikan satu dokumen tentang lembaga
penelitian dan dokumentasi di Aceh pada tahun 70-an. Ia mengharapkan saya
melakukan pelacakan dan pemetaan gerakan penerbitan dan kepustakaan di Aceh
dari dokumen itu.
Ia masih ingat cerita saya beberapa tahun
lalu, bahwa Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) yang diresmikan oleh
menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarief Thayeb telah terlunta-lunta karena
pemerintah di Aceh tak menganggapnya penting.
Nasib PDIA mirip lembaga dokumentasi
Belanda yang menyimpan manuskrip dan historiografi Aceh, Koninklijk Instituut
voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV), yang kini juga kekurangan dana.
Pesan implisitnya jelas, di tengah gerakan
populisme agama yang membuat citra Aceh tidak semakin baik saat ini, ada
genealogi pengetahuan yang tumbuh di tanah Serambi Mekkah.
Gerakan intelektual itu sebenarnya tetap
bermagma, meskipun wajah Aceh saat ini lebih lekat dengan purdah politik dan
agama yang primordial dan sektarian.
Malam itu saya beranikan bertanya, kenapa
Daoed Joesoef muda yang terkenal “sekuler dan rasional”, pada masa tuanya
malah memproduksi tulisan religius, termasuk tafsir Al Quran.
Itu dia mulai dalam buku “Dia dan Aku”
(2006) dan “Emak” (2009), dan “Daoed Joesoef Bukan Teroris”. Dia mengatakan
itu karena Sorbonne.
Tradisi liberalistis universitas Paris itu
telah membuatnya menembus banyak hal, sehingga tak ragu menghidupkan semangat
pencarian pengetahuan secara kritis termasuk di bidang agama.
Metode ekletik dan interdisciplinary telah
memenuhi nalar dan sanubarinya, sehingga ia juga sah memahami Al Quran dan
Islam sebagai keyakinan dan pengetahuan.
Tradisi kajian keislaman DJ ini bisa
disebut sebagai tradisi tafsir bi-ra’yi – tradisi hermeunetik pascaskolastika
yang progresif dan proaktif menangkap tanda-tanda perubahan zaman dan
pemikiran manusia modern dengan kekuatan nalar murni.
Kaum
terdidik muda
Kiranya menjadi jelas ketika akhirnya saya
menjadi “pembicara satu-satunya” saat peluncuran buku “Rekam Jejak Anak Tiga
Zaman”. Ia begitu percaya bahwa warisan sosial dan intelektual bangsa ini
terletak pada anak muda. Mereka harus diberi kesempatan untuk didengarkan
oleh orang-orang tua yang terlalu banyak bicara.
Pada acara itu ada seorang anak muda lain
yang diberi panggung, yaitu direktur CSIS, Phillip G. Vermont. Padahal di
depan kami hadir “para pembesar” Orde Baru dan Reformasi seperti Akbar
Tanjung, Adrianus Mooy, Malik Fajar, Mutia Hatta, Marie Pagestu, H.S. Dillon,
dan lainnya.
Menurutnya, letakan paling mulia penguatan
kaum terdidik itu tak lain melalui jalur pendidikan. Pendidikanlah yang bisa
membentuk manusia berkarakter, tangguh, dan penuh tanggung-jawab terhadap
perjalanan bangsa.
Pendidikan telah membentuk watak para
pendiri bangsa menjadi “manusia pertama di antara yang setara” – de eerste
onder de zijnen. Itu hanya mudah terbentuk dalam jiwa anak muda dan bukan
politikus gaek.
Bekerja di dunia pendidikan berarti
melakukan peperangan semesta melawan kebodohan, ketidaktahuan, dan rendahnya
budi pekerti. Sejak awal menjadi menteri, ia telah menegaskan bahwa
pendidikan harus menjadi instrumen utama memajukan kebudayaan. Pendidikan
adalah bagian dari pembentukan kebudayaan, dan bukan sebaliknya (h. 201).
NKK/BKK
Di antara sejarah persahabatan kami, saya
sempatkan tanyakan tentang kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Mahasiswa (NKK/BKK). Ketika cerita ini disebutkan, selalu nama
Daoed Joesoef menjadi “tersangka” sebagai pendesain pertama.
Saya tanyakan itu karena terkesan
kontradiktif dengan pemikiran kritis DJ sebagaimana tertuang pada
tulisan-tulisannya di Kompas dan Suara Pembaruan. Tulisan-tulisan itu diproduksinya
dengan “mesin tik Nietzsche”, karena ia memang tak menguasai komputer dan
internet.
Dengan tenang DJ merefleksikan kebijakannya
ketika menjadi menteri itu tanpa gelegak kemarahan dan kecewa. Menurutnya,
apa yang terjadi pada gerakan mahasiswa awal Orde Baru itu tidak bisa
disamakan dengan gerakan “kiri baru” Eropa Barat atau Perancis era 60-an.
“Mahasiswa saat itu diagungkan oleh rakyat
karena statusnya, dan bukan karena ketajaman intelektualitas dan kualitas
akademisnya,” kata dia.
Seperti diketahui, sejak aksi Malapetaka 15
Januari 1974 (Malari) demonstrasi terus-menerus menampar wajah rezim Orde
Baru. Seorang perwira polisi mengadu kepada DJ bahwa sejak menjadi Menteri,
kerjanya semakin padat untuk menghalau gerakan mahasiswa yang menyerbu ruang
publik, mengemboskan ban-ban mobil, dan memacetkan jalan-jalan.
Kampus tidak bisa mengontrol Dewan Mahasiwa
(Dema) yang bahkan lebih besar dari institusi kampus. DJ sesungguhnya tidak
melarang aktivisme politik mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan seperti
HMI, PMII, GMKI, PMKRI. Sebaliknya ia ingin gerakan intra mahasiswa
memperkuat pada aksi-aksi ilmiah.
Menurut DJ organisasi kemahasiswaan
eksternal dibentuk bukan untuk urusan “perpeloncoan, piknik, dan dansa-dansi”
semata, tapi sangat efektif digunakan untuk berpolitik seperti Mohammad Hatta
yang membentuk Perhimpunan Indonesia ketika di Belanda (h. 233).
Arus pemikiran DJ sebenarnya jernih, agar
mahasiswa memperkuat daya kritisnya dengan nalar intelektual selain
keterampilan ritual aksi jalanan.
Ketika akhirnya saya mendengar kabar
meninggalnya Prof. Daoed Joesoef (DJ) dari sebuah grup whatsapp Selasa, 23
Januari 2017 pukul 23.55 WIB perasaan saya terguncang-guncang.
Malam itu saya gelisah sehingga tak bisa
memejamkan mata. Kedukaan itu menjadi untaian ingatan tentang apa yang belum
saya tuntaskan, yaitu melanjutkan pendidikan doktoral seperti yang terus
disarankannya.
Pernah suatu malam dan sudah mulai larut ia
menelpon saya hanya untuk memberikan usulan judul disertasi tentang foklore
dan peribahasa seluruh Nusantara. Ia menganggap tema antropologi budaya itu
penting untuk menyelamatkan local genius bangsa ini.
Kenasionalan kita sebenarnya ditentukan
oleh lokalitas daerah di seluruh Nusantara, bukan ditera oleh Jakarta dan
Senayan saja.
Selamat jalan Pak Daoed Joesoef! Kehidupan
di alam sana jelas lebih membahagiakan dan jauh dari kepura-puraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar