Rabu, 31 Januari 2018

Warisan Kritisisme Daoed Joesoef

Warisan Kritisisme Daoed Joesoef
Teuku Kemal Fasya  ;  Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh Lhokseumawe; Dewan Pakar NU Aceh
                                                 KOMPAS.COM, 30 Januari 2018



                                                           
SEJAK bulan Juli 2017 Profesor Daoed Joesoef (DJ), begitu saya memanggilnya, sudah meminta saya untuk menjadi pengulas buku memoarnya yang rencananya diluncurkan pada 8 Agustus 2017. Namun rencana itu meleset, karena proses koreksi terus-menerus dilakukannya.

Sebagai sosok yang merasakan tiga zaman babak bangsa, ia perlu memberikan sentuhan hati-hati karena apa yang disampaikannya telah menjadi sejarah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Mencapai umur 90 tahun adalah kemewahan bagi banyak orang. Ia tentu masih bisa menjadikan pengalaman puluhan tahun lalu itu sebagai pelajaran generasi muda.

Memoarnya ini sendiri tidak cukup tepat dikatakan catatan biografis karena ada gagasan intelektual, catatan etnografis tentang Medan sebagai kota pertama kehidupannya yang dikenal sebagai Parijs van Soematra, wacana politik, persuasi moral, dan pesan pedagogik yang menjadi pakaian seumur hidup pengabdiannya.

Berkali-kali Prof DJ menelpon saya agar saya tetap menjadi pembicara meskipun jadwal terus berubah.

Akhirnya, ia ingin menjadikan momentum 28 Oktober 2017 sebagai puncak peluncuran buku itu di Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Itu lembaga think tank yang ikut didirikan dan dibesarkannya.

Untuk keperluan saya ke Jakarta, hotel dan tiket penerbangan telah diurus oleh sang menantu, Dr. Bambang Pharmasetiawan, jauh-jauh hari.

“Saya tak ingin Kemal terlunta-lunta di Jakarta,” sebuah ungkapan yang membuat saya geli.

Namun lagi-lagi, acara peluncuran buku itu terpaksa dimajukan pada 26 Oktober 2017. Alasannya 28 Oktober jatuh pada hari Sabtu dan dikenal “hari mati” untuk diskusi.

Rata-rata peserta yang diundang hadir adalah para intelektual dan mantan birokrat gaek yang enggan mengisi akhir pekan dengan acara diskusi.

Warisan Bangsa

25 Oktober petang saya tiba di rumahnya di daerah Kemang, Jakarta Selatan dari bandara. Setelah salat magrib di rumah yang sangat ikonik dosen era 70-an, dengan pintu berkasa dan halaman luas dengan tanaman bunga dan buah, ia memegang lutut saya, sambil sedikit terisak, bahwa buku “Rekam Jejak Anak Tiga Zaman” adalah bagian dari warisannya kepada bangsa ini. Ia tak tahu apakah masih ada waktu untuk menerbitkan buku setelah ini.

Ia memberikan satu dokumen tentang lembaga penelitian dan dokumentasi di Aceh pada tahun 70-an. Ia mengharapkan saya melakukan pelacakan dan pemetaan gerakan penerbitan dan kepustakaan di Aceh dari dokumen itu.

Ia masih ingat cerita saya beberapa tahun lalu, bahwa Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) yang diresmikan oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarief Thayeb telah terlunta-lunta karena pemerintah di Aceh tak menganggapnya penting.

Nasib PDIA mirip lembaga dokumentasi Belanda yang menyimpan manuskrip dan historiografi Aceh, Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV), yang kini juga kekurangan dana.

Pesan implisitnya jelas, di tengah gerakan populisme agama yang membuat citra Aceh tidak semakin baik saat ini, ada genealogi pengetahuan yang tumbuh di tanah Serambi Mekkah.

Gerakan intelektual itu sebenarnya tetap bermagma, meskipun wajah Aceh saat ini lebih lekat dengan purdah politik dan agama yang primordial dan sektarian.

Malam itu saya beranikan bertanya, kenapa Daoed Joesoef muda yang terkenal “sekuler dan rasional”, pada masa tuanya malah memproduksi tulisan religius, termasuk tafsir Al Quran.

Itu dia mulai dalam buku “Dia dan Aku” (2006) dan “Emak” (2009), dan “Daoed Joesoef Bukan Teroris”. Dia mengatakan itu karena Sorbonne.

Tradisi liberalistis universitas Paris itu telah membuatnya menembus banyak hal, sehingga tak ragu menghidupkan semangat pencarian pengetahuan secara kritis termasuk di bidang agama.

Metode ekletik dan interdisciplinary telah memenuhi nalar dan sanubarinya, sehingga ia juga sah memahami Al Quran dan Islam sebagai keyakinan dan pengetahuan.

Tradisi kajian keislaman DJ ini bisa disebut sebagai tradisi tafsir bi-ra’yi – tradisi hermeunetik pascaskolastika yang progresif dan proaktif menangkap tanda-tanda perubahan zaman dan pemikiran manusia modern dengan kekuatan nalar murni.

Kaum terdidik muda

Kiranya menjadi jelas ketika akhirnya saya menjadi “pembicara satu-satunya” saat peluncuran buku “Rekam Jejak Anak Tiga Zaman”. Ia begitu percaya bahwa warisan sosial dan intelektual bangsa ini terletak pada anak muda. Mereka harus diberi kesempatan untuk didengarkan oleh orang-orang tua yang terlalu banyak bicara.

Pada acara itu ada seorang anak muda lain yang diberi panggung, yaitu direktur CSIS, Phillip G. Vermont. Padahal di depan kami hadir “para pembesar” Orde Baru dan Reformasi seperti Akbar Tanjung, Adrianus Mooy, Malik Fajar, Mutia Hatta, Marie Pagestu, H.S. Dillon, dan lainnya.

Menurutnya, letakan paling mulia penguatan kaum terdidik itu tak lain melalui jalur pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membentuk manusia berkarakter, tangguh, dan penuh tanggung-jawab terhadap perjalanan bangsa.

Pendidikan telah membentuk watak para pendiri bangsa menjadi “manusia pertama di antara yang setara” – de eerste onder de zijnen. Itu hanya mudah terbentuk dalam jiwa anak muda dan bukan politikus gaek.

Bekerja di dunia pendidikan berarti melakukan peperangan semesta melawan kebodohan, ketidaktahuan, dan rendahnya budi pekerti. Sejak awal menjadi menteri, ia telah menegaskan bahwa pendidikan harus menjadi instrumen utama memajukan kebudayaan. Pendidikan adalah bagian dari pembentukan kebudayaan, dan bukan sebaliknya (h. 201).

NKK/BKK

Di antara sejarah persahabatan kami, saya sempatkan tanyakan tentang kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Mahasiswa (NKK/BKK). Ketika cerita ini disebutkan, selalu nama Daoed Joesoef menjadi “tersangka” sebagai pendesain pertama.

Saya tanyakan itu karena terkesan kontradiktif dengan pemikiran kritis DJ sebagaimana tertuang pada tulisan-tulisannya di Kompas dan Suara Pembaruan. Tulisan-tulisan itu diproduksinya dengan “mesin tik Nietzsche”, karena ia memang tak menguasai komputer dan internet.

Dengan tenang DJ merefleksikan kebijakannya ketika menjadi menteri itu tanpa gelegak kemarahan dan kecewa. Menurutnya, apa yang terjadi pada gerakan mahasiswa awal Orde Baru itu tidak bisa disamakan dengan gerakan “kiri baru” Eropa Barat atau Perancis era 60-an.

“Mahasiswa saat itu diagungkan oleh rakyat karena statusnya, dan bukan karena ketajaman intelektualitas dan kualitas akademisnya,” kata dia.

Seperti diketahui, sejak aksi Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) demonstrasi terus-menerus menampar wajah rezim Orde Baru. Seorang perwira polisi mengadu kepada DJ bahwa sejak menjadi Menteri, kerjanya semakin padat untuk menghalau gerakan mahasiswa yang menyerbu ruang publik, mengemboskan ban-ban mobil, dan memacetkan jalan-jalan.

Kampus tidak bisa mengontrol Dewan Mahasiwa (Dema) yang bahkan lebih besar dari institusi kampus. DJ sesungguhnya tidak melarang aktivisme politik mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan seperti HMI, PMII, GMKI, PMKRI. Sebaliknya ia ingin gerakan intra mahasiswa memperkuat pada aksi-aksi ilmiah.

Menurut DJ organisasi kemahasiswaan eksternal dibentuk bukan untuk urusan “perpeloncoan, piknik, dan dansa-dansi” semata, tapi sangat efektif digunakan untuk berpolitik seperti Mohammad Hatta yang membentuk Perhimpunan Indonesia ketika di Belanda (h. 233).

Arus pemikiran DJ sebenarnya jernih, agar mahasiswa memperkuat daya kritisnya dengan nalar intelektual selain keterampilan ritual aksi jalanan.

Ketika akhirnya saya mendengar kabar meninggalnya Prof. Daoed Joesoef (DJ) dari sebuah grup whatsapp Selasa, 23 Januari 2017 pukul 23.55 WIB perasaan saya terguncang-guncang.

Malam itu saya gelisah sehingga tak bisa memejamkan mata. Kedukaan itu menjadi untaian ingatan tentang apa yang belum saya tuntaskan, yaitu melanjutkan pendidikan doktoral seperti yang terus disarankannya.

Pernah suatu malam dan sudah mulai larut ia menelpon saya hanya untuk memberikan usulan judul disertasi tentang foklore dan peribahasa seluruh Nusantara. Ia menganggap tema antropologi budaya itu penting untuk menyelamatkan local genius bangsa ini.

Kenasionalan kita sebenarnya ditentukan oleh lokalitas daerah di seluruh Nusantara, bukan ditera oleh Jakarta dan Senayan saja.

Selamat jalan Pak Daoed Joesoef! Kehidupan di alam sana jelas lebih membahagiakan dan jauh dari kepura-puraan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar