Haruskah
Harga BBM Dinaikkan?
Fahmy Radhi ; Pengamat Ekonomi Energi
UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Januari 2018
SEJAK 2017 hingga memasuki awal 2018, harga
minyak dunia cenderung mengalami kenaikan signifikan, yang puncaknya mencapai
US$70,37 per barel, harga tertinggi sejak Desember 2014. Meskipun sempat
turun, tetapi harga minyak dunia masih bertengger cukup tinggi mencapai
US$63,61 per barel pada perdagangan 16 Januari 2018.
Tingginya harga minyak dunia itu memang
berpotensi menambah beban Pertamina dalam mendistribusikan BBM Penugasan.
Pasalnya, pemerintah sudah memutuskan untuk tidak menaikan harga BBM
penugasan hingga Maret 2018.
Sejak dua tahun lalu, pemerintah
sesungguhnya sudah menghapus subsidi premium. Sedangkan subsidi solar masih
diberikan subsidi tetap, berkisar antara Rp500 per liter hingga Rp1.000 per
liter. Kendati subsidi premium sudah dihapuskan, namun keputusan penetapan
harga premium dan solar masih ditetapkan oleh pemerintah.
Pada saat harga minyak dunia sedang rendah
dan pemerintah menetapakan harga BBM di atas harga keekonomian, Pertamina
dapat meraup kentungan besar. Sebaliknya, pada saat harga minyak dunia sedang
melonjak dan Pemerintah menetapkan harga BBM di bawah harga keekonomian,
Pertamina memang menanggung potensi kerugian (opportunity loss)
Direktur Pertamina Elia Massa menglaim
bahwa dengan harga acuan Indonesian Crude Price (ICP) pada kisaran US$59 per
barrel, potensi opportunity loss bisa mencapai sekitar Rp19 triliun. Dengan
kenaikkan harga ICP mencapai US$70 per barrel, maka potensi opportunity loss
Pertamina akan semangkin membengkak, kalau pemerintah berkukuh tidak menaikan
harga BBM.
Pertaanyaannya, di tengah kenaikan harga
minyak dunia saat ini, haruskah Permintah menaikkan harga BBM?
Keputusan Pemerintah untuk tidak menaikan
harga BBM, selain untuk menekan laju inflasi, juga untuk meringankan beban
rakyat sebagai konsumen, yang daya belinya sedang melemah.
Namun, pemerintah sesunguhnya tidak
membiarkan Pertamina begitu saja dalam menanggung potensi opportunity loss
sebagai dampak keputusan pemerintah untuk tidak menaikan harga BBM.
Dalam formula penetapan harga jual BBM,
pemerintah sebenarnya sudah memasukkan komponen biaya penugasan sekitar Rp550
per liter dan memberikan margin kepada Pertamina sekitar Rp250 per liter.
Selain itu, pada saat penetapan harga BBM
di atas harga keekonomian, Pertamina menikmati keuntungan besar sebagai wind
fall. Pada saat harga ICP merosot pada kisaran US$38 per barel pada 2016,
pemerintah memutuskan tidak menurunkan harga jual BBM, sehingga Pertamina
maraih keuntungan sekitar Rp40 triliun.
Kalau potensi kerugian penjualan harga BBM
pada 2017 sebesar Rp19 triliun dikompensasikan dengan keuntungan pada 2016,
Pertamina masih mengantongi selisih keuntungan sekitar Rp21 triliun (Rp40
triliun – Rp19 triliun). Sisa keuntungan itu masih sangat memadai untuk
menutup potensi kerugian Pertamina, akibat kenaikan harga minyak dunia pada
2018.
Di luar wind
fall yang dinikmati Pertamina, pemerintah juga memberikan beberapa
kompensasi kepada Pertamina. Salah satunya ialah pemberian hak pengelolaan
Blok Mahakam terhitung sejak 1 Januari 2018. Dengan pemberian non-cash asset
Blok Mahakam, aset Pertamina bertambah sebesar US$9,43 miliar atau sekitar
Rp122,59 triliun. Adanya tambahan aset sebesar itu, total aset Pertamina kini
naik menjadi US$ 54,95 miliar atau sekitar Rp714,35 triliun.
Dengan keputusan Pemerintah menetapkan
share down 39% saham Blok Mahakam, Pertamina akan memeproleh cash inflow
dalam bentuk fresh money sekitar US$3,68 miliar atau sebesar Rp47,84 triliun.
Berdasarkan data produksi sebelumnya, potensi pendapatan netto, setelah
dikurangi cost recovery, selama tahun 2018 diprediksikan akan mencapai
sebesar US$317 juta atau sekitar Rp4,12 triliun.
Kalau diperhitungkan cash inflow dari wind
fall 2016 sebesar Rp40 triliun, dari share down saham Blok Mahakam pada awal
2018 sebesar Rp47,84 triliun, dan potensi pendapatan bersih pengelolaan Blok
Mahakam pada akhir 2018 sebesar Rp4,12 triliun, maka total cash inflow pada
2016-2018 sebesar Rp91,96 triliun.
Jumlah itu masih sangat mencukupi untuk
menutup potensi opportunity lost akibat tidak dinaikkan harga BBM pada
2017-2018. Bahkan sepanjang 2019 tidak perlu ada penaikan harga BBM, lantaran
total cash inflow itu masih sangat memadai untuk menutup potensi opportunity lost Pertamina hingga
akhir 2019.
Berdasarkan hitungan tersebut, pemerintah
harus istiqomah dengan keputusan yang sudah diputuskan untuk tidak menaikkan harga
BBM hingga Maret 2018. Bahkan pemerintah masih punya cukup ruang untuk tidak
menaikkan harga BBM hingga akhir 2019 lantaran Pertamina masih memiliki
bantalan cash inflow, yang sangat
cukup untuk menutup kerugian Pertamina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar