Kelas
Menengah Muslim dan Politik Kesalehan
Muhammad Said ; Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta
|
KOMPAS,
27 Januari
2018
Orang
Indonesia telah bergerak dari sistem tradisional menuju sistem yang berpusat
kepada informasi. Kondisi ini tentu berpengaruh pada pembentukan sistem
pengetahuan, keagamaan, tradisi, dan kebudayaan.
Kita
dewasa ini memiliki dua realitas sekaligus dalam keseharian: realitas aktual
dan realitas virtual. Realitas kedua (virtual) dicitrakan melalui media
sosial (medsos). Dalam konteks demokratisasi di Indonesia, medsos sebetulnya
memiliki efek ideologis yang kontradiktif.
Di
satu sisi, medsos mampu memediasi aspirasi dan kritik warga
terhadap pemerintah secara terbuka. Namun, di sisi lain, medsos tak
jarang jadi keranjang sampah: segala ujaran kebencian, sikap sektarianistis,
hoaks, dan fitnah ditumpahkan sebebas-bebasnya, dan tentu ini tak sehat bagi
demokrasi itu sendiri.
Kecenderungan
baru umat Islam Indonesia adalah menjadi konsumen isu-isu keagamaan di
medsos, terutama melalui fans page dakwah yang belakangan ini sedang mengalami kebangkitan. Kehadiran
dakwah virtual ini, bagi sebagian orang, telah jadi salah satu sumber
pengetahuan baru.
Lebih
jauh, ceramah virtual ini sering jadi rujukan utama untuk memahami sang
liyan. Misalnya, memahami komunitas agama dan kebudayaan komunitas lain.
Tentu pengetahuan yang lahir dari aksi monolog semacam ini tak holistis dan
cenderung bias sebab tak ada semacam pertukaran informasi secara berimbang
dan adil. Akhirnya remah-remah ideologis dan fanatisme justru lebih dominan
membentuk sistem pengetahuan.
Di
era pascatradisional ini, pesan-pesan kitab suci diwacanakan lewat informasi
daring, salah satunya dakwah virtual.
Dari sini kemudian muncul apa yang disebut Bryan S Turner sebagai
”diskursif dan otoritas populer”. Dalam artian, dalam masyarakat jaringan
(network society), otoritas dibentuk melalui data yang mengalirkan informasi
secara luas. Maka, kuasa, otoritas, dan karisma dalam masyarakat jaringan ditentukan oleh
seberapa viral wacana keagamaan, politik, dan kebangsaan itu berhasil
diviralkan dan memiliki efek memengaruhi massa (warganet).
Sejak
Pilpres 2014, grafik keterlibatan kelas menengah Muslim melalui medsos cukup
dominan dalam membingkai isu sosial keagamaan dan politik. Aktivisme mereka dalam memainkan peran agensinya berdampak signifikan dalam memengaruhi
massa, baik pada tataran teologis maupun politis. Kebudayaan medsos telah
melahirkan satu habitus baru umat Islam Indonesia, yakni kecenderungan go
beyond boundaries.
Dalam
arti, umat Islam selaku warganet merasa telah memiliki otoritas otonom dalam
menentukan selera keagamaan dan pilihan politisnya. Tak bisa dimungkiri, habitus
baru ini menjangkiti banyak kalangan di dua ormas Islam terbesar di
Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Dalam batas tertentu, massa dua ormas ini
berani menyeberang dan keluar dari identitas kultural-politis keormasannya.
Faktor
penyatu
Tren
kebangkitan para dai virtual dalam merespons isu keislaman, keindonesiaan,
dan kekuasaan tentu sangat beragam. Sebab, mereka lahir dari latar belakang
dan corak ideologis yang berbeda. Dalam realitas online, secara teologis
mereka sering terlihat berselisih paham.
Namun , dalam realitas offline, belakangan para dai ini terlihat begitu solid dan melampaui sekat-sekat perbedaan
(khilafiyah).
Hal
ini misalnya bisa dilihat dari sebuah video yang viral beberapa waktu lalu
ketika para dai lintas ideologi
bertemu dalam semangat persatuan. Di sana berkumpul dai seleb, dai
ormas radikal, dai virtual abal-abal, dan artis yang sudah hijrah.
Pertanyaannya, faktor apakah yang dapat menyatukan para
kelas menengah Muslim itu? Mungkin terlalu prematur jika kita menjawab pertemuan
itu semata-mata bernuansa politis meski harus diakui sesungguhnya aroma
politis tetap ada. Namun, sepertinya faktor
dominan yang mempersatukan
mereka adalah soal nilai, yakni
kehendak bersama untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam melawan nilai-nilai
yang dianggap sekuler, liberal, dan komunis yang dirasa kian mengancam
Indonesia.
Penting
dicatat, peristiwa pertemuan para dai di Mekkah beberapa waktu lalu tidak
bisa dilepaskan dari bayang-bayang spirit 212. Selain itu, pertemuan ini
juga menghadirkan efek kuasa simbolis
cukup besar bagi mereka. Sebab, Mekkah bagi umat Islam adalah representasi
kesalehan. Lebih lanjut, pertemuan dengan sosok karismatik di Mekkah, yakni
putra Syaikh Sayyid Alawi Al-Maliki yang merupakan jejaring sanad keilmuan para
kiai Nusantara, cukup mengukuhkan persepsi warganet tentang otoritas dan
kesalehan para dai itu.
Sebagaimana
kita ketahui, salah satu habitus dominan kelas menengah Muslim Indonesia
adalah umrah, sebuah perjalanan ibadah yang tak semua orang dapat menunaikan.
Jadi, dapat dipastikan pertemuan ini representasi habitus kelas menengah
Muslim ketimbang dilihat sebagai agenda politis. Sebab, pada kenyataannya
para dai ini bukanlah para pengurus struktural di partai-partai politik.
Sungguh
pun demikian , pertemuan yang kemudian diunggah secara live lewat
Facebook memperlihatkan percakapan singkat tentang isu-isu moral, jalan dakwah, politik, dan
kebangsaan. Tampaknya perjuangan moral
dalam wujud NKRI bersyariah masih jadi poin utama. Lantas apa agenda
perjuangan moral ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan spirit
”Islamic-Nationalism”, di mana kesadaran keislaman dan kebangsaan diletakkan
dalam satu paket(?). Tentu hal ini masih terlalu spekulatif dan sangat
terbuka untuk diperdebatkan.
”Politics
of piety”
Beberapa
waktu terakhir ini, kuasa dan otoritas para penceramah virtual sepertinya tak
bisa dipandang sebelah mata. Otoritas dan karisma yang telah dibentuk secara
virtual mulai mewujud dalam realitas aktual. Hal ini dapat dilihat dari
betapa gegap gempitanya resepsi masyarakat di berbagai daerah dalam menyambut
para penceramah virtual.
Melalui
mimbar-mimbar masjid, para penceramah virtual ini melantangkan khotbah moral
sebagai sebuah perlawanan terhadap nilai-nilai yang dianggap menyimpang. Tak
jarang, seruan moral itu berujung pada
suatu klaim kebenaran yang melahirkan
resistensi dan kebencian terhadap kebijakan negara. Misalnya soal isu
miras dan LGBT.
Tren
ini sebetulnya perwujudan dari apa yang disebut Saba Mahmood sebagai politics of piety. Tren ini lahir
akibat kesadaran tentang kian sekulernya tata nilai kehidupan yang mengancam
nilai-nilai Islam. Namun, di sisi lain, perjuangan berbasis moral ini lantas
dikooptasi para elite partai. Kita bisa melihat bagaimana beberapa elite
partai sangat lantang menunjukkan keberpihakan dan pembelaan terhadap para
penceramah virtual ini.
Pada
titik ini, kesalehan dan politik praktis seperti menemukan titik simpulnya.
Sayangnya, tren politik kesalehan ini kerap mengglorifikasi politik
identitas, yang kemudian memunculkan kebencian dan sikap sektarian.
Sungguhpun demikian, situasi ini tetaplah menguntungkan elite politik yang
sedang dalam oposisi terhadap pemerintah dan sedang siap-siap bertarung di Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
Yang
patut ditunggu adalah apakah para dai yang sedang naik daun ini akan dipasang
sebagai juru kampanye di pilkada-pilkada daerah mendatang? Jika iya, selama
tren kebangkitan para dai ini masih bertahan, pengaruhnya diprediksi akan
cukup signifikan untuk menarik massa Islam. Namun, jika tidak, sepertinya
para dai akan tetap dipasang menjadi mesin politik di luar partai yang
bergerak melalui jalur kultural, lewat gerakan-gerakan subuh berjamaah, zikir
nasional, tablig akbar, aksi doa bersama, dan sejenisnya. Strategi tersebut
dianggap akan cukup efektif jika berkaca pada Pilkada Jakarta tahun lalu.
Selain
menggunakan politics of piety, isu-isu ketimpangan ekonomi juga akan terus
dimainkan menjelang tahun politik 2019. Terbentuknya koperasi syariah 212 dan
mart212 di beberapa daerah akan menjadi modal mengampanyekan kebangkitan
ekonomi umat dan perlawanan terhadap kapitalisme global.
Jika
tren kebangkitan dai virtual ini terus bertahan, dapat diprediksi pertarungan
Pilpres 2019 tak akan kalah banalnya
dari Pilpres 2014. Oleh sebab itu, peran kelas menengah Muslim, partisipasi
medsos, elite-elite politik, dan keterlibatan tokoh-tokoh ormas Islam
diharapkan mampu menciptakan keadaban politik. Sebab, di tangan merekalah
jalannya proses demokratisasi Indonesia dipertaruhkan. Selamat menjelang
tahun-tahun politik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar