Rabu, 31 Januari 2018

Demokrasi Terancam

Demokrasi Terancam
R William Liddle  ;  Profesor Emeritus Ilmu Politik,
Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2018



                                                           
Setelah satu tahun berkuasa, niat Presiden AS Donald Trump untuk melumpuhkan demokrasi demi kekuasaan pribadinya tak diragukan. Tandanya ada di mana-mana, misalnya dalam serangan tak terhenti terhadap pers yang dijuluki ”musuh rakyat” yang memberitakan ”berita palsu”.

Hampir semua koran dan jaringan TV nasional, baik penyiar maupun kabel, kena tudingan yang mencemaskan itu.  Tak terkecuali The Wall Street Journal, koran terkemuka yang konservatif di halaman editorialnya tetapi jujur dalam pemberitaannya.  Yang lolos dari kemarahan Trump hanya jaringan kabel Fox News, yang bersedia menjadi penyambung lidah Trump sendiri.         

Di dalam pemerintahannya, Trump tidak menghormati asas pokok Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, separation of powers, pemisahan kekuasaan, yang menjamin hak lembaga- lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Aturan-aturan lama dicap kedaluwarsa dan dicemooh, seperti kebiasaan super-mayoritas di Senat, tempat 60 suara dari seluruh 100 anggota Senat dibutuhkan untuk meloloskan suatu rencana UU.

Sebagian besar anggota Senat, Republik ataupun Demokrat, membanggakan lembaga mereka selaku the greatest deliberative body in the world, badan legislatif yang paling mengutamakan perundingan di seluruh dunia. Komitmen mereka kepada supermayoritas perlu dimengerti dalam konteks itu.  Namun, demi kepentingannya sendiri, Trump tak segan menyeru agar kepemimpinan fraksi Republik di Senat menggantikan aturan itu dengan mayoritas biasa, 51 suara.

Sasaran Trump yang paling berbahaya bagi pelestarian demokrasi adalah Departemen Keadilan dan salah satu biro tersohor di departemen itu, yaitu Biro Investigasi Federal (FBI). Hampir dari awal, Trump menyesali pengangkatan oleh dirinya sendiri atas kepala departemen itu, yaitu Jeff Sessions, selaku jaksa agung.   Sessions, waktu itu masih senator dari Alabama, termasuk politisi nasional yang paling awal mendukung pencalonan Trump dan sempat menjadi anggota tim suksesnya.

Trump lalu mengangkatnya sebagai jaksa agung karena Sessions terkenal keras melawan kebijakan imigrasi pemerintahan sebelumnya, yang konon membuka lebar pintu masuk bagi orang miskin dan penjahat.  Namun, beberapa minggu kemudian, Sessions memisahkan diri secara hukum (recuse) dari pengusutan Departemen Keadilan perihal hubungan kampanye Trump dengan pemerintahan Rusia. Menurut berbagai laporan pers, Sessions sendiri mungkin terlibat dalam hubungan itu.

Trump langsung meledak. Kepada The New York Times, ia berkeluh kalau dia tahu sebelumnya Sessions akan menarik diri dari pengusutan itu, ia pasti tidak akan mengangkatnya. Lalu, ia bersitegas bahwa syarat utama untuk seorang jaksa agung adalah kesetiaan pribadi kepada presiden, ”seperti baru dilakukan oleh Jaksa Agung Eric Holder terhadap Presiden Obama,” suatu kebohongan besar. Sejak masa jabatan jaksa agung pertama diadakan lebih dari 200 tahun silam, syarat utama menjadi jaksa agung adalah kesetiaan kepada UU dan konstitusi, bukan kepada satu orang, termasuk presiden yang mengangkatnya.

Meremehkan aturan demokrasi

Sasaran utama Trump sebenarnya bukan Sessions, melainkan kepemimpinan FBI dan setelah Direktur FBI Jim Comey dipecat Trump awal Mei 2017, special counsel jaksa khusus, Robert Mueller, diangkat satu minggu kemudian oleh Deputi Jaksa Agung Rod Rosenstein.

Tugas Mueller, yang pernah menjabat lama sebagai Direktur FBI, adalah untuk ”mengawasi investigasi FBI yang telah terkonfirmasi perihal usaha-usaha Pemerintah Rusia untuk memengaruhi Pemilihan Presiden 2016 dan hal-hal terkait.”

Mueller ternyata sedang bekerja keras. Michael Flynn, penasihat keamanan nasional pertama Presiden Trump, mengaku berbohong kepada FBI dan sedang bekerja sama dengan Mueller. George Papadopoulos, bekas penasihat kampanye Trump tentang kebijakan luar negeri, khususnya Rusia, juga mengaku berbohong dan sedang bekerja sama. Paul Manafort, bekas ketua kampanye Trump, dan asistennya, Rick Gates, dituduh mencuci uang dan akan diadili tahun ini.

Siapa akan menyusul?  Apakah Trump sendiri atau anggota-anggota keluarganya akan didakwa? Tak ada orang yang punya bola kristal.   Namun, ada dua hal yang terang benderang. Pertama, serangan terus-menerus terhadap FBI, yang dicaci maki Trump selaku ”lembaga yang berkecai- kecai.”  Kedua, semakin nyaring koor anti-FBI, terdiri atas banyak anggota Republik di Kongres.

Yang paling memprihatinkan justru kombinasi antara presiden yang meremehkan aturan-aturan demokrasi dan Kongres yang hanya mementingkan kepentingan partisannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar