Reshuffle
Kabinet dan Kegamangan Jokowi
Arya Fernandes ; Peneliti Departemen
Politik dan Perubahan Sosial CSIS
|
TEMPO.CO,
22 Januari
2018
Presiden Joko Widodo melakukan
reshuffle kabinet untuk ketiga kalinya. Dalam reshuffle kali ini, dia
mengganti Khofifah Indar Parawansa dengan politikus Golkar, Idrus Marham, dan
Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan, dengan mantan Panglima TNI,
Moeldoko. Hal ini menunjukkan beberapa hal.
Pertama, adanya ketidakpercayaan diri
Jokowi dalam menghadapi Pemilihan Umum 2019. Ini sebenarnya aneh karena
hampir semua indikator kinerjanya menunjukkan tren positif. Survei Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan adanya tren positif
publik terhadap kinerja pemerintah, dari 50,6 persen pada 2015 menjadi 66,5
persen (2016) dan 68,3 persen (2017). Survei yang dilakukan oleh Saiful
Mujani Research and Consultant (SMRC) pada Desember 2017 menunjukkan tingkat
kepuasan publik sudah berada di angka 74 persen.
Tingkat kepercayaan publik terhadap
lembaga kepresidenan juga sangat tinggi. Sebanyak 90,8 persen pemilih,
berdasarkan survei CSIS pada Agustus 2017, mengaku percaya kepada presiden.
Selain itu, publik merasa optimistis pemerintah akan bekerja untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dari sisi elektabilitas, tingkat
keterpilihan Jokowi terpaut cukup jauh dengan rival terdekatnya, Prabowo
Subianto. Tingkat elektabilitas Jokowi per Agustus 2017 sudah mencapai angka
50,9 persen. Sedangkan elektabilitas Prabowo Subianto hanya mencapai 25,8
persen (CSIS, 2017).
Kedua, Jokowi tidak mau memiliki
ketergantungan yang kuat kepada PDI Perjuangan, sehingga membangun aliansi
"permanen" dengan Golkar. Caranya dengan memberikan tambahan kursi
menteri bagi Golkar dalam reshuffle kabinet. Bagi Jokowi, posisi Golkar
strategis karena partai itu memiliki 16,2 persen kursi di DPR. Dengan
tambahan kursi NasDem dan Hanura, Jokowi sudah dapat melenggang menjadi calon
presiden. Namun, perlu diingat, membangun hubungan dengan Golkar juga tidak
mudah karena Golkar terbiasa melakukan zig-zag politik.
Aliansi dengan Golkar akan meningkatkan
daya tawar politik Jokowi terhadap PDI Perjuangan, terutama bila PDI
Perjuangan "memaksa" Jokowi menerima nama calon wakil presidennya.
Selain itu, Jokowi tidak mau terkesan berada di bawah bayang-bayang Megawati
dan terus dianggap sebagai petugas partai. Dilihat dari sikapnya, sepertinya
Jokowi tidak nyaman dilabeli sebagai petugas partai oleh Megawati. Bila PDI
Perjuangan bisa merendah sedikit, mungkin hubungan partai itu dengan Jokowi
akan hangat kembali. Apalagi PDI Perjuangan adalah pendukung utama Jokowi.
Ketiga, tantangan politik menjelang
pemilihan presiden yang tidak mudah. Meskipun masih kuat secara elektoral,
perubahan politik dengan cepat bisa saja terjadi. Munculnya sejumlah nama
potensial baru dikhawatirkan akan menggerus suara Jokowi. Kekhawatiran
tersebut, misalnya, tampak pada nama potensial, seperti Anies Baswedan, Agus
Harimurti Yudhoyono, dan Gatot Nurmantyo. Untuk mengimbangi kekuatan di luar,
Jokowi memasang Moeldoko, yang memiliki kapasitas dari sisi kepemimpinan,
jaringan, dan kekuatan intelijen.
Dari indikator kepuasan, kepercayaan,
dan keterpilihan, sebenarnya tidak ada alasan yang kuat bagi Jokowi untuk
merasa gamang menghadapi pemilihan presiden. Lantas, apakah yang membuat
Jokowi gamang?
Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan.
Pertama, perubahan peta dukungan pemilih yang bisa terjadi secara cepat,
terutama dari kelas pemilih perkotaan, menengah, dan pemilih milenial. Potret
generasi pemilih tersebut rentan berubah, terutama karena watak pemilih yang
rasional, independen, dan berpendidikan.
Dari sisi pemilih milenial, yang
berusia 17 sampai 29 tahun, kesenjangan keterpilihan antara Jokowi dan
Prabowo tidak terpaut jauh. Jokowi masih kesulitan mendapatkan dukungan besar
dari pemilih milenial, meski banyak cara sudah dilakoni, seperti pembuatan
vlog, aktif di media sosial, dan membangun komunikasi dengan sejumlah
selebtwit. Namun cara tersebut masih belum efektif. Jokowi seperti kehilangan
narasi politik yang akan dibangun. Sementara itu, dari sisi konten, tidak ada
narasi baru dan bahkan mengalami kejenuhan.
Faktor kegamangan kedua adalah performa
partai koalisi dalam pemilihan kepala daerah serentak 2018. PDIP sebagai
motor dari Koalisi Indonesia Hebat tidak mempunyai desain besar pencalonan
yang matang sehingga kewalahan menghadapi manuver yang dilakukan koalisi
Gerindra, PKS, dan PAN. Hal itu, misalnya, tampak di Jawa Barat dan Sumatera
Utara. Bila eksperimen koalisi Gerindra, PKS, dan PAN berhasil di lima daerah
(Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku
Utara), akan membuat Jokowi serta partai koalisi kelimpungan menghadapi
pemilihan umum mendatang.
Perubahan strategi dan kegamangan
Jokowi ini akhirnya memaksa Jokowi melakukan reshuffle, terutama dengan
mengganti Teten Masduki dan mengakomodasi kepentingan Golkar. Dengan
reshuffle, Jokowi berharap akan memudahkan pekerjaan politik menjelang
pemilihan umum, meskipun harus mengorbankan janjinya membentuk kabinet yang
profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar