Sabtu, 27 Januari 2018

Tukang Becak di Jalan Raya Politik

Tukang Becak di Jalan Raya Politik
Kalis Mardiasih ;  Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
                                                   DETIKNEWS, 26 Januari 2018



                                                           
Di kota kelahiranku, Blora, seorang tukang becak bernama Muhaimin mengadu ke Dewan Pendidikan. Konon, Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) mensyaratkan fasilitas komputer pada tiap-tiap sekolah, dan untuk pengadaan itu, orangtua dikenakan bayaran iuran sebesar tigaratus ribu rupiah. Angka itu tentu saja membuat Pak Muhaimin keberatan. Di kota yang menjadi setting novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer itu, masih banyak gaji buruh penjaga toko yang bekerja dari pagi hingga malam dihargai beberapa ratus ribu saja. Penghasilan tukang becak lebih buruk dari gaji para buruh itu.

Ketika umur belasan dan masih bersekolah di SMP Negeri 1 Blora, saya sempat menjadi seorang ketua OSIS. Setiap bulan Ramadan, dibentuk Panitia Hari Besar Islam (PHBI). Saat pembagian zakat di penghujung Ramadan, yang menjadi pengantre hampir semuanya adalah tukang becak. Saya mengenal hampir semua wajah-wajah pengantre itu.

"Pak Muri mana, Lik?" tanya saya kepada Lik To ketika ia membubuhkan tanda tangan sebelum menerima jatah beras.

"Nggak tahu. Tadi kuajak nggak mau."

Pak Muri adalah Bapak saya. Dulu ia adalah seorang tukang becak yang mangkal di depan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).

"Malu, Ndhuk. Mosok anaknya Ketua OSIS tapi bapaknya ikut antri jatah beras," begitu jawab Bapak ketika saya tanya sesampainya di rumah.

Zaman terus berubah. Tukang becak yang berkerumun di terminal atau stasiun kini semakin tak laku. Kebanyakan orang yang turun dari bus atau kereta telah dijemput oleh kekasih atau saudara mereka. Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah mencari pelanggan dari anak sekolah atau para penjual di pasar. Zaman yang tak berpihak pada becak itu membuat Bapak kemudian sudah tidak lagi menarik becak hingga hari ini. Tetapi, Lik To dan teman-teman lainnya masih mangkal di RSUD hingga kini, sebab narasi masyarakat bawah kadangkala berujung kepada fakta bahwa tidak ada tumpuan ekonomi lain yang bisa diandalkan. Jika gambaran di kota kecil saja seperti itu, bagaimana di kota besar?

Di Solo dan Yogya, ada gerakan "Sarapan Untuk Pak Becak". Dari gerakan tersebut, kawan-kawan mendapat data bahwa tukang becak yang ada di Solo dan Yogya rupanya adalah pendatang dari kota-kota kecil di sekitarnya seperti Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Para bapak becak itu pulang tiap dua minggu atau sebulan sekali, tergantung ada atau tidak pendapatan yang bisa mereka bawa pulang kepada keluarga di rumah. Setiap malam mereka tidur lebih awal untuk menahan lapar dan dingin, meringkuk di dalam becaknya atau menggelar alas kardus di emperan toko-toko di Jalan Slamet Riyadi atau Jalan Solo-Yogya.

Suatu ketika saya pernah menyimak sebuah perbincangan antara seorang tukang becak dan pedagang angkringan di dekat sebuah hotel bintang lima di Jalan Gajah Mada, Solo. Tukang becak itu membayar utang makan selama beberapa hari. Telah berhari-hari terlewati dengan sepi penumpang. Ia tak berani pulang sebab tak cukup uang yang bisa ia bawa untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Percakapan ironi namun hangat dalam narasi masyarakat kelas bawah yang penuh rasa tepa salira.

Beberapa waktu lalu selepas menonton film di bioskop di Yogyakarta, seorang tukang becak dengan penuh harap menantikan penumpang. Tetapi, tentu saja tak berhasil menggaet satu pun. Anak-anak muda yang datang bergerombol telah memesan mobil lewat aplikasi taksi online. Bapak becak itu mengayuh pulang dengan lesu.

Konon, janji politik Gubernur DKI Jakarta adalah memperbolehkan becak beroperasi di jalan-jalan lingkungan kampung atau pemukiman. Belum benar beroperasi, wacana itu tentu terlebih dahulu menjadi polemik di kalangan mereka yang kita sebut saja pro-kebijakan dan kontra-kebijakan. Mereka yang pro dengan kebijakan ini membawa narasi pro rakyat miskin alias keberpihakan, yang seolah tukang becak yang diizinkan beroperasi akan meningkat taraf hidupnya. Ada janji untuk memasang listrik pada becak, lalu memberi mereka pelatihan untuk peningkatan performa pelayanan. Sedangkan pihak kontra-kebijakan beropini bahwa jalanan kota Jakarta telah sangat semrawut tanpa becak, dan pasti akan lebih kacau jika becak beroperasi di jalan raya. Apalagi, ada bayangan suram soal migrasi tukang becak dari daerah seperti Indramayu, yang tentu akan makin merepotkan.

Pada akhirnya, tukang becak hanya menjadi subjek narasi dalam pusaran kekuasaan dan perbincangan elitis kelas menengah. Nasib mereka mungkin tidak berubah. Tetapi mereka keburu dianggap sebagai biang kerok dari semua riuh perdebatan di linimasa. Tak hanya tukang becak, ada isu-isu murahan lain seperti isu keturunan komunis, isu LGBT, atau isu anti-Cina, yang seringkali hanya muncul pada masa-masa jelang pilkada dan pilpres.

Para pemain politik itu seperti tak punya takut untuk bermain-main. Ketika di dunia nyata masyarakat bertetangga dengan rukun dan tenang-tenang saja, lalu tiba-tiba harus terkoyak dengan isu-isu musiman yang diembuskan hanya untuk mengetes gelombang ketegangan politik. Minoritas dan masyarakat kelas bawah sesungguhnya tidak pernah eksis, mereka selamanya adalah janji-janji kampanye yang tak pernah wujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar