Tukang
Becak di Jalan Raya Politik
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai periset
dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
26 Januari
2018
Di
kota kelahiranku, Blora, seorang tukang becak bernama Muhaimin mengadu ke
Dewan Pendidikan. Konon, Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) mensyaratkan
fasilitas komputer pada tiap-tiap sekolah, dan untuk pengadaan itu, orangtua
dikenakan bayaran iuran sebesar tigaratus ribu rupiah. Angka itu tentu saja
membuat Pak Muhaimin keberatan. Di kota yang menjadi setting novel Bukan
Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer itu, masih banyak gaji buruh penjaga
toko yang bekerja dari pagi hingga malam dihargai beberapa ratus ribu saja.
Penghasilan tukang becak lebih buruk dari gaji para buruh itu.
Ketika
umur belasan dan masih bersekolah di SMP Negeri 1 Blora, saya sempat menjadi
seorang ketua OSIS. Setiap bulan Ramadan, dibentuk Panitia Hari Besar Islam
(PHBI). Saat pembagian zakat di penghujung Ramadan, yang menjadi pengantre
hampir semuanya adalah tukang becak. Saya mengenal hampir semua wajah-wajah
pengantre itu.
"Pak
Muri mana, Lik?" tanya saya kepada Lik To ketika ia membubuhkan tanda
tangan sebelum menerima jatah beras.
"Nggak
tahu. Tadi kuajak nggak mau."
Pak
Muri adalah Bapak saya. Dulu ia adalah seorang tukang becak yang mangkal di
depan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
"Malu,
Ndhuk. Mosok anaknya Ketua OSIS tapi bapaknya ikut antri jatah beras,"
begitu jawab Bapak ketika saya tanya sesampainya di rumah.
Zaman
terus berubah. Tukang becak yang berkerumun di terminal atau stasiun kini
semakin tak laku. Kebanyakan orang yang turun dari bus atau kereta telah
dijemput oleh kekasih atau saudara mereka. Satu-satunya yang bisa diandalkan
adalah mencari pelanggan dari anak sekolah atau para penjual di pasar. Zaman
yang tak berpihak pada becak itu membuat Bapak kemudian sudah tidak lagi
menarik becak hingga hari ini. Tetapi, Lik To dan teman-teman lainnya masih
mangkal di RSUD hingga kini, sebab narasi masyarakat bawah kadangkala
berujung kepada fakta bahwa tidak ada tumpuan ekonomi lain yang bisa
diandalkan. Jika gambaran di kota kecil saja seperti itu, bagaimana di kota
besar?
Di
Solo dan Yogya, ada gerakan "Sarapan Untuk Pak Becak". Dari gerakan
tersebut, kawan-kawan mendapat data bahwa tukang becak yang ada di Solo dan
Yogya rupanya adalah pendatang dari kota-kota kecil di sekitarnya seperti
Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Para bapak becak itu
pulang tiap dua minggu atau sebulan sekali, tergantung ada atau tidak
pendapatan yang bisa mereka bawa pulang kepada keluarga di rumah. Setiap
malam mereka tidur lebih awal untuk menahan lapar dan dingin, meringkuk di
dalam becaknya atau menggelar alas kardus di emperan toko-toko di Jalan
Slamet Riyadi atau Jalan Solo-Yogya.
Suatu
ketika saya pernah menyimak sebuah perbincangan antara seorang tukang becak
dan pedagang angkringan di dekat sebuah hotel bintang lima di Jalan Gajah
Mada, Solo. Tukang becak itu membayar utang makan selama beberapa hari. Telah
berhari-hari terlewati dengan sepi penumpang. Ia tak berani pulang sebab tak
cukup uang yang bisa ia bawa untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Percakapan
ironi namun hangat dalam narasi masyarakat kelas bawah yang penuh rasa tepa
salira.
Beberapa
waktu lalu selepas menonton film di bioskop di Yogyakarta, seorang tukang
becak dengan penuh harap menantikan penumpang. Tetapi, tentu saja tak
berhasil menggaet satu pun. Anak-anak muda yang datang bergerombol telah
memesan mobil lewat aplikasi taksi online. Bapak becak itu mengayuh pulang
dengan lesu.
Konon,
janji politik Gubernur DKI Jakarta adalah memperbolehkan becak beroperasi di
jalan-jalan lingkungan kampung atau pemukiman. Belum benar beroperasi, wacana
itu tentu terlebih dahulu menjadi polemik di kalangan mereka yang kita sebut
saja pro-kebijakan dan kontra-kebijakan. Mereka yang pro dengan kebijakan ini
membawa narasi pro rakyat miskin alias keberpihakan, yang seolah tukang becak
yang diizinkan beroperasi akan meningkat taraf hidupnya. Ada janji untuk
memasang listrik pada becak, lalu memberi mereka pelatihan untuk peningkatan
performa pelayanan. Sedangkan pihak kontra-kebijakan beropini bahwa jalanan
kota Jakarta telah sangat semrawut tanpa becak, dan pasti akan lebih kacau
jika becak beroperasi di jalan raya. Apalagi, ada bayangan suram soal migrasi
tukang becak dari daerah seperti Indramayu, yang tentu akan makin merepotkan.
Pada
akhirnya, tukang becak hanya menjadi subjek narasi dalam pusaran kekuasaan
dan perbincangan elitis kelas menengah. Nasib mereka mungkin tidak berubah.
Tetapi mereka keburu dianggap sebagai biang kerok dari semua riuh perdebatan
di linimasa. Tak hanya tukang becak, ada isu-isu murahan lain seperti isu
keturunan komunis, isu LGBT, atau isu anti-Cina, yang seringkali hanya muncul
pada masa-masa jelang pilkada dan pilpres.
Para
pemain politik itu seperti tak punya takut untuk bermain-main. Ketika di
dunia nyata masyarakat bertetangga dengan rukun dan tenang-tenang saja, lalu
tiba-tiba harus terkoyak dengan isu-isu musiman yang diembuskan hanya untuk
mengetes gelombang ketegangan politik. Minoritas dan masyarakat kelas bawah
sesungguhnya tidak pernah eksis, mereka selamanya adalah janji-janji kampanye
yang tak pernah wujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar