Tahun
Politik
Yudi Latif ; Kepala Unit Kerja
Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila
|
KOMPAS,
25 Januari
2018
Wacana umum menamai tahun 2018 sebagai
”tahun politik”. Momen-momen padat politik dalam pengertian yang tidak selalu
memancarkan konotasi positif; malahan lebih sering diliputi bayangan
kerisauan, seperti konflik identitas, perpecahan partai, mahar politik,
pemborosan dana, perluasan korupsi, mediokritas pemimpin, dan ingkar janji.
Pengertian politik dalam konotasi negatif
itu seperti layang-layang putus dari pangkal tali pegangan. Pangkal
pengertian politik itu bermula dari istilah ”polis” (kota) dalam tradisi
Athena, yakni tempat segala sesuatu diputuskan dengan jalan nalar-permusyawaratan
(bukan lewat jalan irasionalitas dan kekerasan). Berkat keberadaan dan
keterlibatan warga kota yang berbudaya dan rasional, Aristoteles
menggambarkan politik sebagai seni mulia mengelola republik demi kebajikan
kolektif.
Pengertian politik yang tergelincir ke
dalam kata-kata kotor ber- kembang dalam suasana kehidupan kota-republik yang
disesaki artifisialitas tampilan permukaan, tanpa kedalaman substansi. Warga
kota (republik) di Indonesia saat ini seakan hidup di zaman buih keterapungan.
Ucapan dan janji bergelembung tanpa isi yang bisa ditangkap. Makna menguap
dalam keriuhan viral maya. Tindakan tersandera di belantara media sosial;
nalar kritis teringkus sebatas caci maki tanpa solusi.
Untuk membuat tahun politik sebagai tahun
harapan, kita harus mengembalikan pengertian politik dan kota pada khitahnya.
Dasar mengada dari politik adalah budaya kewargaan (budaya kota). Warga
kota-negara menunjukkan rasa memiliki dan mencintai kota dan republiknya;
bukan sekadar penduduk yang menumpang tidur demi mencari makan. Aktif
terlibat, bergerak, dan berbaur dengan keragaman di ruang publik—tidak
”mager” (malas gerak) dan terisolasi di bungker identitas masing-masing.
Pergerakan dan perjumpaan di ruang publik
itulah yang menjadi pengungkit pertukaran gagasan, penyerbukan silang-budaya
dan kreativitas warga. Dalam studi terkini, psikolog Marily Oppezzo dan
Daniel Schwartz dari Universitas Stanford berusaha menginvestigasi hubungan
antara kebiasaan bergerak-berjalan dengan kreativitas. Dari eksperimen
terhadap dua kelompok, ”pejalan” (walkers) dan ”penduduk” (sitters),
terungkap bahwa perbedaan level kreativitas kelompok pejalan yang secara
signifikan dan konsisten jauh di atas kelompok penduduk (malas gerak).
Demi keterlibatan positif dan produktif di
ruang publik, warga dituntut memiliki kecerdasan. Bukan sekadar kecerdasan
personal, melainkan terutama dalam ”kecerdasan kewargaan” (civic
intelligence): kompeten mengemban tugas kewargaan, memahami kewajiban dan hak
warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni-kemajuan bersama,
bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan
dalam urusan publik secara sukacita. Orang-orang Athena menyebut mereka yang
tidak memiliki komitmen dan kecerdasan untuk terlibat dalam urusan publik
sebagai idiotes. Dari sanalah asal kata ”idiot” untuk menyebut
keterbelakangan mental.
Demi mengembangkan kecerdasan kewargaan
perlu diciptakan iklim kebebasan berbicara, berkumpul, dan mengembangkan
diri. Kebebasan juga memberi ruang toleransi yang memungkinkan berkembangnya
kesediaan mengapresiasi pendapat dan karya orang lain.
Corak politik sangat menentukan. Demokrasi
prosedural yang berhenti sebatas ritual-ritual pemilihan padat modal dengan
gonta-ganti peraturan dan desain kelembagaan politik tidak memiliki
signifikansi bagi kecerdasan dan kreativitas kewargaan.
Eric Weiner (2016) menengarai, tidak ada
korelasi antara era keemasan kenegaraan dan demokrasi. Substansi yang perlu
dihadirkan adalah kebebasan kreatif, bukan demokrasi semata. China tidak
memiliki demokrasi, tetapi memiliki autokrat tercerahkan yang memberi ruang
kreatif bagi warga untuk mengembangkan potensi diri dan memenuhi tugas
kewargaan. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dipilih secara
demokratis, tetapi kepemimpinannya memberikan ruang kebebasan kreatif,
termasuk memberi kemudahan bagi warga untuk mengakses pemimpin dan
kebijakannya. Dengan itu, Yogyakarta tumbuh sebagai salah satu kota paling
kreatif dan paling bahagia di Indonesia.
Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim
kebebasan lebih luas dan sehat. Dalam demokrasi sungguhan, kota-kota kreatif
bersitumbuh menjadi magnet berkumpulnya orang-orang kreatif, jenius,
eksentrik, dan visioner dengan semangat menghormati nalar dan moral publik.
Di kota-kota seperti itu, budaya literasi
kuat. Semangat mencintai tanah air menjadi kebajikan kewargaan. Pemimpin
menjadi penuntun. Warga menjadi garda republik.
Kota-kota menjelma menjadi pusat
teladan-keadaban, mewarisi tradisi besar umat manusia yang selalu memaknai
kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif; keberadaban (civility),
kemuliaan (nobility), dan keteraturan (order). Menjadi warga kota berarti
menjadi manusia beradab. ”Menjadi manusia beradab,” ujar Fernand Braudel,
”Berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih tertib-taat hukum (civil) dan
ramah (sociable).” Max Weber mendefinisikan kota sebagai ”suatu tempat yang
direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional”.
Dengan menguatkan basis budaya kewargaan
dalam kehidupan kota-kota dengan tatanan keadaban publik yang luhur, kita
songsong tahun politik sebagai momen kebangkitan politik harapan, bukan
politik ketakutan. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus