Pekerjaan
Rumah Tangga Tak Berjenis Kelamin
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS,
22 Januari
2018
Di rumah, saya mendidik anak-anak dengan
satu prinsip dasar yaitu mandiri. Salah satu cirinya adalah sanggup melakukan
hal-hal dasar yang diperlukan untuk hidup. Salah satunya adalah terampil
melakukan berbagai jenis pekerjaan rumah tangga.
Saat saya tumbuh menjadi remaja, saya
menyaksikan pola pembagian kerja yang tipikal di rumah tangga sejumlah teman
saya. Ayah mereka bekerja, ibu tinggal di rumah melakukan pekerjaan rumah
tangga. Ada yang dibantu oleh pembantu, ada yang tidak. Teman-teman saya itu
biasa dilayani oleh ibu mereka. Makan disediakan di meja. Selesai makan, ibu
membereskan meja dan mencuci piring. Pakaian mereka juga dicucikan, dan
disetrika.
Mungkin hingga kini masih banyak yang
menerapkan pola itu. Terlebih di keluarga menengah atas yang memiliki
pembantu. Semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan pembantu, dan anak-anak tak
perlu lagi terlibat.
Saya lahir di kampung, di mana perempuan
biasa ikut bekerja di ladang dan kebun. Lebih khusus lagi, emak saya seorang
pekerja keras. Ia mengerjakan hal-hal yang tidak dilakukan oleh perempuan
pada umumnya, seperti menebang pohon dan menggali selokan. Karena dia sendiri
tidak membagi kerja berdasar jenis kelamin, maka kami anak-anaknya juga
dididik begitu.
Emak tidak mencucikan baju kami, juga tidak
menyuruh anak-anak perempuan melakukan itu. Setiap anak harus bisa mencuci
baju, juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, dan mencuci
piring. Tidak mungkin terjadi di rumah kami, di saat emak membersihkan rumah,
anak laki-laki duduk santai. Emak juga mengajari anak laki-lakinya memasak.
Kebiasaan itu terbawa sampai saat saya dewasa.
Apa yang membuat masak, mencuci piring, dan
membersihkan rumah itu menjadi pekerjaan perempuan, sebagaimana persepsi yang
dianut oleh sebagian orang? Tidak ada alasan khusus. Pembagian semacam itu
hanya dibuat sekelompok orang. Artinya, tidak ada hukum sosial yang dilanggar
kalau pembagian itu kita ubah. Dalam hal keluarga kami, sejak 50 tahun yang
lalu pembagian seperti itu kami tiadakan.
Karena alasan itulah maka saya tidak
membagi pekerjaan di rumah kami berdasar jenis kelamin. Anak laki-laki saya
ajari masak. Sedangkan anak perempuan juga saya ajari membersihkan filter AC,
atau mengganti bola lampu. Prinsipnya, semua orang harus bisa melakukan pekerjaan
yang diperlukan di rumah.
Dunia sebenarnya sudah lama bergeser dari
pembagian kerja berdasar gender, menjadi tanpa pembatasan. Sudah sejak 40
tahun yang lalu kehadiran perempuan di dunia kerja dipromosikan. Perempuan
kini bisa jadi apa saja, termasuk jadi tentara, polisi, pilot, atau sopir
truk.
Tapi hal itu tidak serta merta disertai
dengan perubahan pola pembagian kerja di rumah tangga. Masih banyak laki-laki
yang menganggap perempuan tetap berkewajiban melakukan semua jenis pekerjaan
rumah tangga, meski perempuan itu juga ikut bekerja mencari nafkah.
Konyolnya, tak sedikit perempuan yang juga menganut pandangan itu.
Masih banyak orang mendefinisikan pekerjaan
rumah tangga sebagai kodrat perempuan. Jadi, meski sudah sekolah atau
berkarier tinggi, ia harus kembali ke kodratnya, yaitu di dapur. Padahal
hanya ada 3 hal yang merupakan kodrat perempuan yaitu hamil, melahirkan, dan
menyusui. Di luar itu bukan kodrat.
Maka kita sering menyaksikan sepasang suami
istri yang sama-sama pulang kerja, tiba di rumah, suami langsung istirahat
menunggu layanan dari istri. Istri akan menyiapkan makanan. Setelah itu ia
masih harus pula membersihkan peralatan makan. Lalu ia masih pula harus
mengurusi segala keperluan anak.
Ada perempuan yang mengeluh soal situasi itu.
Tapi tidak sedikit yang menerimanya. Yang mengeluh pun tak bisa menyatakannya
dengan keras, karena takut dituduh tidak hormat kepada suami.
Pilihan untuk tidak membedakan jenis
kelamin dalam berbagi pekerjaan rumah tangga dalam pendidikan kepada anak-anak
saya didasari oleh pertimbangan yang sangat sederhana, yaitu bahwa semua
pekerjaan rumah tangga itu adalah keterampilan dasar yang mereka butuhkan
untuk hidup secara mandiri. Saya sebenarnya tidak sedang melakukan perlawanan
terhadap budaya patriarki. Semata sekadar mendidik anak-anak saya untuk
mandiri.
Saya merasakan begitu banyak manfaat dari
pola pendidikan yang diterapkan oleh orangtua saya. Karena itu saya juga
terapkan pada anak-anak. Saya ajarkan pada mereka bahwa pekerjaan rumah
tangga itu adalah pekerjaan yang harus bisa dilakukan oleh semua orang. Itu
bukan pekerjaan hina yang hanya dilakukan oleh pembantu.
Lebih dari separuh masa sekolah dan masa
lajang saya lewatkan dengan hidup sendiri sebagai anak kos. Saya bisa
melewatinya tanpa masalah, karena saya sudah biasa menyelesaikan segala
keperluan saya secara mandiri. Anak-anak saya tentu akan melewati fase yang
sama pula. Maka saya siapkan mereka untuk bisa melewatinya, seperti yang dulu
saya lakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar