Kontribusi
Islam
terhadap
Eropa pada Abad Pertengahan
Faisal Ismail ; Guru Besar Pascasarjana
FIAI
Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 26 Januari 2018
ABDURRAHMAN III
(912-961) adalah Khalifah Daulah Umayyah di Andalusia (Spanyol) yang
paling lama memerintah. Pada masanya, peradaban Islam semakin maju. Umat
yahudi dan kristiani sangat menikmati kebebasan dan toleransi yang diberikan
oleh khalifah dan umat Islam. William L Langer melukiskan pemerintahan Abdurrahman
III sebagai berikut: “Masa pemerintahan
Abdurrahman ditandai oleh pengamanan ke dalam, penyempurnaan
organisasi pemerintahan/sentralisasi, kegiatan armada, perkembangan pertanian,
dan kemajuan industri. Cordova (berpenduduk ± 500.000 jiwa) merupakan pusat
intelektual terbesar di Eropa, dengan perdagangan kertas yang sangat
besar, perpustakaan terbesar, dan perguruan-perguruan yang amat
terkenal (kedokteran, matematika, filsafat, kesusastraan, musik); dan
penyalinan naskah-naskah Yunani dan naskah-naskah Latin secara luas.
Puncak intelektual Muslim dicapai oleh Ibn Rusyd (1126-1198), filosof, tabib,
dan komentator tentang ide-ide Plato dan Aristoteles... Umat Kristiani
dan Yahudi terus menikmati toleransi yang luas dan merata.”
Masa pemerintahan Abdurrahman III (selama 50 tahun) sangat fenomenal. Kemakmuran dan kesejahteraan dirasakan secara merata oleh rakyatnya. Ia adalah seorang khalifah besar, disegani baik oleh kawan maupun lawan. Pada masa pemerintahannya, sektor pertanian, perdagangan, industri dan keuangan berkembang pesat sehingga pendapatan negara berada dalam neraca surplus. Ia meninggalkan jejak besar tidak saja di Semenanjung Iberia, tetapi juga bagi seluruh Eropa. Prestasi gemilang dan karya-karya besar yang telah diukir oleh Khalifah Abdurrahman III direkam sebagai berikut: “Ia menciptakan kemakmuran dan ketenteraman di dalam negerinya dan memperoleh penghargaan dari pihak-pihak pemerintah luar. Pada mulanya, ia mewarisi keuangan negara dalam keadaan carut-marut, tetapi kemudian ia mewariskan keuangan negara dalam keadaan tertata rapi. Sepertiga dari penghasilan tahunannya (yang berjumlah 6.245.000 keping emas) sudah cukup untuk menutup anggaran reguler; sepertiga lagi disiapkan untuk cadangan; dan sisanya untuk keperluan biaya-biaya pembangunan. Seluruh negeri menikmati kemakmuran yang merata. Pertanian, industri, perdagangan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan berkembang secara bersama-sama. Orang-orang asing merasa takjub menyaksikan sistem irigasi yang dikelola berdasarkan sistem yang ilmiah, yang memberikan kesuburan bagi tanah-tanah yang sebelumnya tampak tidak memberikan harapan sama sekali. Mereka tercengang menyaksikan ketertiban yang sempurna, disebabkan oleh sistem kepolisian yang selalu mawas diri, meluas sampai ke distrik-distrik yang jauh terpencil. Menurut laporan syahbandar urusan bea cukai, perdagangan berkembang sampai pada suatu taraf di mana penerimaan bea menempati peringkat terbesar di antara pendapatan negara setiap tahunnya.” Pengganti Abdurrahman III adalah Al-Hakam II (961-976). Di bawah pemerintahannya, seluruh wilayah Andalusia benar-benar aman, tenteram dan sejahtera. Seluruh penduduk tidak hanya menikmati kemakmuran yang melimpah ruah, akan tetapi juga merasakan keadilan. Sebagai khalifah pencinta ilmu pengetahuan, Al-Hakam II memperluas perpustakaan Cordova sehingga menjadi perpustakaan terbesar di seluruh Eropa. Ia sadar bahwa perpustakaan adalah jantung ilmu pengetahuan dan pusat peradaban. Ia memberikan perhatian yang sangat besar pada proyek perluasan fisik dan penambahan koleksi buku perpustakaan Cordova yang semakin kaya dan beragam. Visi kenegarawanan dan visi keilmuan terpadu dalam diri Al-Hakam. Al-Hakam berhasil mengumpulkan berbagai naskah penting sehingga perpustakaannya memiliki tidak kurang dari 400.000 buku. Ini merupakan prestasi luar biasa, apalagi jika diingat percetakan pada masa itu masih belum dikenal seperti pada masa modern. Dengan penuh minat yang sangat besar, Al-Hakam sendiri yang mengawasi pembuatan katalognya. Stanley Lane-Pole mencatat: “By such means he gathered together no fewer than four hundred thousand books and this at a time when printing was unknown. (Dengan cara demikian, dia mengumpulkan tidak kurang dari empat ratus ribu buku dan ini terjadi pada saat percetakan belum dikenal). Pada masa itu, dari Basra ke Cordova sudah berdiri universitas-universitas besar sebelum studium generale paling awal dilaksanakan di Dunia Kristen. Menjelang tahun 1000 M, Kota Cordova merupakan pusat kemajuan ilmiah yang mempunyai perpustakaan berkatalog 600.000 buku. Derry dan Trevor L. Williams mencatat: “From Basra to Cordova great universities arose centuries before the earliest studium generale in Christendom: by A. D. 1000 Cordova had a catalogued library of 600.000 books.” (Dari Basra ke Cordova universitas-universitas besar telah bermunculan berabad-abad sebelum studium generale paling awal terjadi di dunia Kristen: menjelang tahun 1000 M, Cordova telah memiliki sebuah perpustakaan berkatalog yang memuat 600.000 buku). Tepat sekali pengakuan jujur Robert Stephen Briffault (1876-1948) dalam bukunya Making of Humanity : “Ilmu pengetahuan adalah sumbangan peradaban Islam yang maha penting kepada dunia modern... Utang ilmu pengetahuan kita kepada ilmu pengetahuan bangsa Arab tidak tergantung kepada penemuan-penemuan teori yang revolusioner: ilmu pengetahuan berutang besar sekali kepada kebudayaan Islam.” Fakta ini menunjukkan bahwa ilmuwan muslim telah “berjasa” mengantarkan Eropa ke Era Renaisans. Renaisans barati rebirth (kelahiran kembali) atau revival (kebangkitan kembali), yaitu masa transisi dari Abad Pertengahan ke Abad Modern (dari abad ke-14 M sampai abad ke-17 M) yang terjadi di Eropa dan ditandai oleh tingginya apresiasi dan besarnya perhatian orang-orang Eropa terhadap kesusastraan, ilmu pengetahuan dan filsafat klasik (Yunani klasik), berkembangnya kesenian dan kesusastraan baru, dan tumbuhnya ilmu pengetahuan modern. Setelah memasuki Era Renaisans, Eropa memasuki Era Reformasi yang kemudian melahirkan Era Aufklarung (Enlightenment, Pencerahan). Era Enlightenment adalah gerakan filsafat di Eropa pada abad ke-18 M yang ditandai oleh kepercayaan kepada kekuatan akal manusia dan ditandai pula oleh inovasi di bidang politik, agama, dan doktrin pendidikan. Alam pikiran orang-orang Eropa tercerahkan kembali dan pencerahan kembali alam pikiran ini menjadi modal besar bagi mereka untuk terus bangkit mengembangkan sains dan teknologi sehingga Eropa memasuki era yang serba modern dan canggih seperti sekarang ini. Demikianlah fakta pengaruh ilmuwan Muslim terhadap kebangkitan kebudayaan Eropa. Tapi tidak sedikit sarjana Barat, terutama generasi awal, yang cenderung bersikap tidak fair, mencoba menutupi luasnya kontribusi para pakar muslim terhadap Barat pada Abad Pertengahan. Montgomery Watt mengkritik sikap mereka yang menutup-nutupi pengaruh Islam terhadap kebangkitan kebudayaan Barat itu sebagai kebanggaan yang semu. Menurut Watt, sarjana Barat harus mengubah cara pandang mereka demi menjaga hubungan baik dengan bangsa Arab dan Muslim: “For our cultural indebtedness to Islam, ... we Europeans have a blind spot. We sometimes belittle the extent and importance of Islamic influence in our heritage, and sometimes overlook it altogether. For the sake of good relation with Arabs and Muslims we must acknowledge our indebtedness to the full. To try to cover it over and deny it is a mark of false pride.” (Terkait hutang budi kebudayaan kita kepada Islam, ... kita orang-orang Eropa mempunyai cara pandang yang buta. Kadang-kadang kita meremehkan arti penting luasnya pengaruh Islam dalam warisan budaya kita, dan kadang-kadang pula kita tidak mengacuhkannya. Demi kepentingan hubungan baik kita dengan bangsa-bangsa Arab dan umat Islam, kita harus mengakui sepenuhnya hutang budi kita kepada mereka. Mencoba menutupi dan menyangkal pengaruh ini adalah pertanda kebanggaan yang palsu saja). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar