Kamis, 11 Januari 2018

Sejarah Indonesia Tahun 2018

Sejarah Indonesia Tahun 2018
Asvi Warman Adam  ;  Sejarawan LIPI
                                                      KOMPAS, 10 Januari 2018



                                                           
Sejarah adalah sesuatu yang terjadi di masa lalu. Namun, apa yang menimpa pada masa lampau bisa menjadi pelajaran untuk sekarang dan masa mendatang.

Sejarah merupakan persambungan antara kemarin, hari ini, dan esok. Bulan Januari baru dimulai, tetapi kita bisa menulis sejarah tahun 2018 dengan mencatat apa yang akan terjadi pada masa depan dengan bekal peristiwa terdahulu.

Dua peristiwa yang akan terjadi di tahun ini. Pertama adalah Asian Games XVIII  yang akan berlangsung pada 18 Agustus-2 September. Kedua, peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober yang kini mencapai 90 tahun.

Untuk kedua kalinya Asian Games berlangsung di Indonesia. Tahun 1962, kita tampil sebagai juara kedua, mengapa tahun ini untuk menduduki peringkat ke-10 saja tidak yakin?

 Dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 diikrarkan untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, kenapa belakangan ini bahkan menjelang pemilihan kepala daerah serempak, tanggal 27 Juni 2018, bahasa Indonesia cenderung menjadi bahasa perpecahan?

Presiden Soekarno sangat peduli dengan kejuaraan olahraga tingkat Asia. Ia mempersiapkan Stadion Utama Senayan dengan pinjaman dana, yang kemudian dibayar lunas, kepada Uni Soviet. Sebanyak 50.000 warga Senayan direlokasikan, antara lain, ke daerah Tebet.

Bung Karno juga mempersiapkan segala fasilitas untuk olahragawan yang datang dari luar negeri. Dengan bantuan pampasan perang dari Jepang, dibangunlah Hotel Indonesia, Sarinah, hotel untuk atlet dan wartawan.

Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia merupakan patung yang disiapkan untuk menyambut para atlet yang tiba di Bandara Kemayoran. Bung Karno sempat mengecek proses pembuatan patung perunggu itu di studio Edhi Sunarso di Jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Hasil dari kerja keras itu, Indonesia menjadi juara kedua dalam pesta olahraga Asia yang diikuti oleh 12 negara.

Ketika event ini tidak diakui oleh Komite Olimpiade karena Indonesia tak memberikan visa kepada atlet Israel dan Taiwan, Soekarno membuat semacam olimpiada tandingan, yaitu Ganefo (Games of the New Emerging Forces) tahun 1963, hanya dengan persiapan 200 hari. Dalam pesta olahraga internasional yang diikuti oleh 51 negara itu, kita jadi juara ketiga.

Dalam peringatan setahun Ganefo, tahun 1964, Bung Karno berpidato, ”Hai rakyat Indonesia, tua-muda, terutama sekali yang muda-muda, latih kau punya diri sehebat-hebatnya agar di dalam waktu sepuluh tahun paling banyak, sepuluh tahun, Indonesia, rakyat Indonesia menduduki tempat yang paling tinggi di lapangan olahraga”.

Apakah bangsa Indonesia mampu menunaikan pesan Bung Karno setengah abad silam? Rasanya masih jauh panggang dari api. Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan oleh korupsi sekian miliar rupiah dana sosialisasi Asian Games. Namun, waktu yang tinggal setengah tahun ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan melibatkan masyarakat seluas-luasnya (termasuk relawan dari mahasiswa-pelajar).

Para atlet harus terus berlatih di dalam dan luar negeri. Berita persiapan (dan penyelenggaraan) Asian Games seyogianya mendapat prioritas liputan  oleh media massa.

Bahasa pemecah-belah

Sumpah Pemuda 1928 merupakan salah satu tonggak terpenting dalam sejarah Indonesia ketika para pemuda/i dari berbagai etnis dan agama menyatakan tekad satu bangsa dan satu Tanah Air. Mereka juga menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Pada sidang Kongres Pemuda II itu, pada pagi/siang harinya dilangsungkan seminar yang mewajibkan pembicara berbahasa Indonesia. Kalangan terpelajar Indonesia yang fasih dan terbiasa berbahasa Belanda saat itu dengan susah payah menyampaikan pemikirannya dalam bahasa Indonesia.

Namun, mereka mencoba dan berusaha, dan akhirnya bisa. Mereka menyadari bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, bahasa yang mempersatukan kita meski berbeda suku bangsa dan agama.

Kita bersyukur punya bahasa pemersatu, bahasa Indonesia. India, negara berpenduduk lebih banyak dari kita, sesungguhnya tak punya satu bahasa yang mempersatukan mereka, kecuali secara pragmatis bahasa penjajah: bahasa Inggris.

Fungsi bahasa itu tentu terkait substansi dan gaya bahasa. Sejak pemilihan kepala daerah tahun lalu, terasa sekali bahwa bahasa Indonesia mulai digunakan untuk melontarkan isu SARA; mengenai etnis dan agama. Terasa sekali bahwa luka politik akibat terbelahnya masyarakat berdasarkan etnis dan agama, lama sembuhnya.

Tentu tidak kita inginkan hal yang sama terulang lagi pada pemilihan kepala daerah 2018. Diharapkan terpilih pemimpin yang berkualitas dan berkinerja baik, bukan tokoh yang menang karena lawannya dipecundangi dengan isu SARA atau  foto-foto masa lalu yang direkayasa. Kita menginginkan bahasa Indonesia tetap sebagai bahasa persatuan, bukan bahasa yang memecah belah bangsa.

Kita semua yang akan melengkapi sejarah Indonesia tahun 2018 ini: apakah secara eksternal kita mampu menyelenggarakan pesta olahraga Asia dengan lancar dan semarak serta memperlihatkan prestasi olahraga yang tidak memalukan dalam berhadapan dengan negara lain?

Kita juga yang akan melaksanakan apakah secara internal, dalam pilkada bulan Juni 2018, kita akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa perpecahan?  Praktik kebahasaan ini akan tercatat dalam Kongres Bahasa Indonesia pada Oktober 2018 mendatang, yang sekaligus merupakan peringatan 90 tahun Sumpah Pemuda. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar