Revolusi
Tongsis Sebagai Penyelamat Sejarah
Iqbal Aji Daryono ; Esais, Pencinta Masa
Lalu, Tinggal di Bantul
|
DETIKNEWS,
30 Januari
2018
Minggu lalu, saya sekeluarga berjalan-jalan
gaul kekinian. Naik ke Bukit Imogiri, sebelah makam raja-raja Mataram. Jika
terus berjalan kami akan sampai di hutan cemara yang tiba-tiba termasyhur
belakangan ini. Tapi kami belok masuk di balik papan nama Watu Goyang.
Ternyata, tempatnya oke juga. Ada bukit-bukit batu yang ditata dengan
tangga-tangga, disambungkan dengan jembatan bambu, dan di titik-titik
tertentu disediakan fitur turisme terpenting di abad ini: spot buat foto
chibi-chibi!
Model lokasi wisata baru sejenis itu
sekarang merebak di mana-mana, bukan cuma di Jogja dan sekitarnya.
Tempat-tempat baru itu jadi pada nge-hits setelah foto-fotonya tersebar di
media-media sosial, wabilkhusus Instagram.
Ini fenomena menarik. Betapa dengan
kekuatan tongsis dan medsos, juga kekuatan ponsel-ponsel produk Cina yang
mengutamakan kualitas kamera, satu sektor industri bisa menggeliat hebat di
desa-desa.
Memang masyarakat desa setempatlah yang
menangguk keuntungan utama dari tren ini. Saya melihat karcis parkir dan
karcis masuk di Watu Goyang atas nama pemerintah desa. Para petugasnya pun
pemuda-pemuda desa setempat, bahkan beberapa warga desa bisa membuka
warung-warung kopi dan jajanan di kompleks tersebut. Dua tahun lalu, ketika
tren beginian bermula, saya mengunjungi Kalibiru di Kulonprogo, dan menemukan
geliat ekonomi yang kurang lebih sama. Harap diperhatikan, ini beda dengan
beberapa tempat wisata lain pra-Revolusi Tongsis yang seringkali merupakan
lahan di desa yang dibeli orang kaya dari kota, lalu dibuka untuk umum.
Dengan efek seketika ke masyarakat sekitar,
mereka tampak secara langsung berkepentingan dengan perawatan tempat-tempat
itu. Taman-taman dijaga, tempat-tempat sampah disediakan. Dengan lingkup
stakeholder yang lebih sempit (desa), distribusi rasa memiliki dan rasa
bergantung secara ekonomi kepada tempat-tempat tersebut bisa lebih
dioptimalkan. Silakan saja bandingkan kondisinya dengan lokasi-lokasi lain
yang pengelolaannya dipegang oleh jenjang yang lebih tinggi semisal
kabupaten. Hasilnya tampak beda.
Tapi saya tidak sedang ingin bicara tentang
manajemen pariwisata. Biarlah warga kampung yang berbahagia itu saja yang
terus mengelolanya, terus bersinergi dengan para pengunjung sebagai agen
Revolusi Tongsis, dan efek marketing yang ajaib dari tren selfie di
tempat-tempat indah terus memberikan dampak positif baik bagi ekonomi desa
maupun bagi lestarinya tempat-tempat itu sendiri.
Nah, pertanyaan saya, bisakah model
Revolusi Tongsis yang meriuhkan dunia wisata alam itu ditularkan untuk
konservasi objek-objek lain?
***
Tiap kali melintas di lampu merah itu, saya
selalu merasa gondok dan kecewa. Gapura megah mengangkang di atas kepala,
dengan tulisan besar-besar: "Desa Wisata Kasongan". Di sampingnya
ada pos polisi, juga tembok pendek papan penanda bertuliskan Bantul
Projotamansari.
Bagi tamu yang tidak kenal tempat itu
sebelumnya, tentu tak akan merasa gimana-gimana. Tapi saya tahu. Sebelum
gapura raksasa itu ditegakkan, ada satu bangunan kecil di sudut. Sebuah gardu
jaga. Gardu kuno dengan arsitektur masa kolonial itu diambrukkan begitu saja,
menjelang pendirian gapura pada tahun 1990-an. Kira-kira, tujuannya agar si
gardu tidak mengganggu kesempurnaan penampilan gapura.
Saya tak henti meratapinya. Itu gardu
mungil yang jadi bagian dari kenangan masa lalu banyak orang. Ia saksi lalu
lintas kereta pengangkut tebu milik Pabrik Gula Madukismo. Ia saksi atas
berseliwerannya "sepur kluthuk" alias kereta berbahan bakar batu
bara yang melayani trayek Jogja-Bantul pada masanya. Ia juga saksi atas
revolusi fisik 1945-1949 di sekitaran Bantul dan selatan Jogja, ketika
tentara Belanda bermarkas di pabrik gula. Bahkan Pak Munthul, pahlawan
kampung kami, pun ditembak tentara Belanda dari arah gardu itu.
Warga asli di sekitar tempat itu, termasuk
di kampung kami, menyebut lampu merah itu dengan "Prapatan Kerdu",
perempatan gardu. Tak peduli sudah hampir dua dekade si gardu lenyap tiada
sisa, sebutan Kerdu masih saja bertahan. Entah bagaimana perasaan mereka saat
mengucapkan "Kerdu", padahal kerdu alias gardu yang tersisa di situ
tinggal gardu polisi yang tak ada romantis-romantisnya sama sekali.
Malangnya, masyarakat kita memang bukan
masyarakat yang romantis. Dan saya yakin gardu malang itu tak sendiri. Di
tempat-tempat lain ada banyak korban lainnya, korban dari sebuah masyarakat
yang persetan dengan masa lalu. Bukankah di kota Anda juga begitu?
***
Apa yang menyebabkan kita begitu abai pada
masa lalu, dan begitu kejam kepada jejak-jejak nyata masa lalu? Apakah jargon
"lekas move on" telanjur kita terapkan semena-mena, sehingga masa
silam sejarah peradaban pun kita posisikan setara dengan kelamnya kisah
asmara?
Ada banyak sudut pandang yang mencoba
mencerna minimnya penghargaan kita atas benda-benda bersejarah. Yang paling
sering disebut oleh orang-orang pintar dan telah menjadi klise adalah karena
dunia pendidikan kita gagal membangun kesadaran akan pentingnya pemahaman
atas masa lalu.
Nah, saya tidak tertarik membahas itu.
Sudah lelah rasanya berkutat pada pemetaan masalah yang bersifat mendasar,
tapi tak kunjung membuat kita beranjak dari level dasar. Saya sih sepakat
saja bahwa problem keterdidikan dan kesadaran kesejarahan masyarakat begitu
rendah. Tapi lalu apa? Mau menunggu sampai orang-orang sadar akan betapa
pentingnya memahami perjalanan historis kita, betapa pentingnya merawat jejak
sejarah kita, serta betapa mengerikannya sebuah masyarakat yang lupa akan
lembar-lembar masa silamnya?
Semua itu memang layak ditunggu. Tapi
sampai kapan? Jika reformasi besar-besaran pada kurikulum pendidikan sejarah
di sekolah-sekolah dijalankan pun, hasil yang akan kita dapatkan baru akan
mulai tampak pada, barangkali, dua dasawarsa ke depan. Sembari menanti masa
itu, bangunan-bangunan peninggalan masa lalu akan terus runtuh satu demi
satu.
***
Mungkinkah Revolusi Tongsis yang berimbas
konkret kepada geliat ekonomi turisme alam turut dimainkan ke wisata sejarah?
Kadang saya membayangkan, alangkah
cantiknya jika gardu di dekat rumah saya itu dibiarkan tetap di situ. Dirawat
baik-baik, ditambal beberapa bagian yang keropos, dicat ulang untuk menambal
lumut-lumut yang tumbuh di dindingnya. Ia akan tegak sendirian di ruang sesak
di bawah bayang-bayang gapura, di balik semrawutnya baliho-baliho iklan yang
nir-penataan, di samping bangunan mewah show room barang-barang kerajinan.
Namun setidaknya ia bisa hidup sebagai sepotong potret buram yang terus
menjadi pengingat tentang dari mana semua ini bermula.
Lalu di depan gardu dipasang papan permanen
bikinan warga desa. Di situ ditulis latar sejarah kolonial,
peristiwa-peristiwa penting pada masa kolonial yang terjadi di sekitar tempat
itu, berikut keterangan fungsi gardu-gardu pada masa kolonial. Para mahasiswa
Kuliah Kerja Nyata dari Jurusan Ilmu Sejarah entah dari kampus mana di Jogja
sangat bisa digerakkan untuk menyediakan data-data historisnya.
Dengan keterangan latar historis yang
lengkap, muncullah "makna". Ini yang akan bisa dijual. Coba, Anda
pamer foto bersebelahan dengan seorang lelaki kurus berambut belah pinggir.
Teman Anda yang tak tahu siapa lelaki di samping Anda mungkin melirik pun
tidak. Tapi begitu paham bahwa orang itu Presiden Indonesia, ceritanya akan
lain. Teman Anda bisa iri, bisa benci, tergantung pada faksi mana dia berdiri
hihihi. Itulah makna. Nah, demikian pula yang terjadi jika Anda selfie di
depan tempat-tempat bersejarah.
Saya melihat, salah satu kendala dalam
pelestarian cagar-cagar budaya di Indonesia adalah minimnya informasi yang
tersedia di TKP. Kalau toh ada, paling cuma empat-lima kalimat yang terbatas
pada keterangan tentang "bangunan apakah itu".
Saya bandingkan dengan di Australia (maaf,
agak genit, tapi ini penting), di mana tempat-tempat remeh pun diberi
keterangan lengkap. Dengan cara begitu, setidaknya muncul dua efek. Pertama,
edukasi publik demi membangun kesadaran sejarah terus-menerus dijalankan.
Kedua, orang akan mendapatkan makna dari sebuah tempat, sebuah benda, atau
sebuah bangunan. Apa yang tampak sekadar sebagai bangunan jelek, akan terasa
berbeda begitu kita memahami sejarahnya, posisinya dalam peristiwa-peristiwa,
tokoh siapa saja yang pernah menggunakan gedung itu, dan sebagainya.
Kalau Australia kejauhan, lihat saja Malaysia.
Saya pernah berkunjung ke Malaka, dan menemukan bahwa sebenarnya peninggalan
sejarah di kota itu sedikit saja, kecil-kecil, tapi dirawat baik-baik dan
dimunculkan terus menerus dalam brosur-brosur wisata. Turis pun akan bangga
berfoto di tempat-tempat itu, merasa menemukan ikon Malaka, dan efek
lanjutannya tempat-tempat itu terus terjaga.
Bagaimana di tempat kita? Tidak usah
menunggu hasil pendidikan sejarah. Tidak perlu juga menunggu kerja
pemerintah, yang paling-paling cuma akan terbentur pada isu dana. Warga bisa
bergerak sendiri, menggunakan sumber daya yang ada, menjadikan tempat-tempat
bersejarah sebagai objek turisme yang lebih menjual makna alih-alih keindahan
alam, merangkul para selebritas medsos untuk menjalankan kerja sosial dengan
selfie-selfie di tempat itu, dan pada akhirnya memunculkan geliat ekonomi
baru.
Mumpung Revolusi Tongsis masih berjalan,
ini jadi momen yang sayang dilewatkan. Jika tidak, jejak-jejak sejarah masa
lalu di kota Anda akan segera bernasib sama dengan gardu kereta di dekat
rumah saya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar