Rabu, 31 Januari 2018

Revolusi Tongsis Sebagai Penyelamat Sejarah

Revolusi Tongsis Sebagai Penyelamat Sejarah
Iqbal Aji Daryono  ;  Esais, Pencinta Masa Lalu, Tinggal di Bantul
                                                   DETIKNEWS, 30 Januari 2018



                                                           
Minggu lalu, saya sekeluarga berjalan-jalan gaul kekinian. Naik ke Bukit Imogiri, sebelah makam raja-raja Mataram. Jika terus berjalan kami akan sampai di hutan cemara yang tiba-tiba termasyhur belakangan ini. Tapi kami belok masuk di balik papan nama Watu Goyang. Ternyata, tempatnya oke juga. Ada bukit-bukit batu yang ditata dengan tangga-tangga, disambungkan dengan jembatan bambu, dan di titik-titik tertentu disediakan fitur turisme terpenting di abad ini: spot buat foto chibi-chibi!

Model lokasi wisata baru sejenis itu sekarang merebak di mana-mana, bukan cuma di Jogja dan sekitarnya. Tempat-tempat baru itu jadi pada nge-hits setelah foto-fotonya tersebar di media-media sosial, wabilkhusus Instagram.

Ini fenomena menarik. Betapa dengan kekuatan tongsis dan medsos, juga kekuatan ponsel-ponsel produk Cina yang mengutamakan kualitas kamera, satu sektor industri bisa menggeliat hebat di desa-desa.

Memang masyarakat desa setempatlah yang menangguk keuntungan utama dari tren ini. Saya melihat karcis parkir dan karcis masuk di Watu Goyang atas nama pemerintah desa. Para petugasnya pun pemuda-pemuda desa setempat, bahkan beberapa warga desa bisa membuka warung-warung kopi dan jajanan di kompleks tersebut. Dua tahun lalu, ketika tren beginian bermula, saya mengunjungi Kalibiru di Kulonprogo, dan menemukan geliat ekonomi yang kurang lebih sama. Harap diperhatikan, ini beda dengan beberapa tempat wisata lain pra-Revolusi Tongsis yang seringkali merupakan lahan di desa yang dibeli orang kaya dari kota, lalu dibuka untuk umum.

Dengan efek seketika ke masyarakat sekitar, mereka tampak secara langsung berkepentingan dengan perawatan tempat-tempat itu. Taman-taman dijaga, tempat-tempat sampah disediakan. Dengan lingkup stakeholder yang lebih sempit (desa), distribusi rasa memiliki dan rasa bergantung secara ekonomi kepada tempat-tempat tersebut bisa lebih dioptimalkan. Silakan saja bandingkan kondisinya dengan lokasi-lokasi lain yang pengelolaannya dipegang oleh jenjang yang lebih tinggi semisal kabupaten. Hasilnya tampak beda.

Tapi saya tidak sedang ingin bicara tentang manajemen pariwisata. Biarlah warga kampung yang berbahagia itu saja yang terus mengelolanya, terus bersinergi dengan para pengunjung sebagai agen Revolusi Tongsis, dan efek marketing yang ajaib dari tren selfie di tempat-tempat indah terus memberikan dampak positif baik bagi ekonomi desa maupun bagi lestarinya tempat-tempat itu sendiri.

Nah, pertanyaan saya, bisakah model Revolusi Tongsis yang meriuhkan dunia wisata alam itu ditularkan untuk konservasi objek-objek lain?

                                                       ***

Tiap kali melintas di lampu merah itu, saya selalu merasa gondok dan kecewa. Gapura megah mengangkang di atas kepala, dengan tulisan besar-besar: "Desa Wisata Kasongan". Di sampingnya ada pos polisi, juga tembok pendek papan penanda bertuliskan Bantul Projotamansari.

Bagi tamu yang tidak kenal tempat itu sebelumnya, tentu tak akan merasa gimana-gimana. Tapi saya tahu. Sebelum gapura raksasa itu ditegakkan, ada satu bangunan kecil di sudut. Sebuah gardu jaga. Gardu kuno dengan arsitektur masa kolonial itu diambrukkan begitu saja, menjelang pendirian gapura pada tahun 1990-an. Kira-kira, tujuannya agar si gardu tidak mengganggu kesempurnaan penampilan gapura.

Saya tak henti meratapinya. Itu gardu mungil yang jadi bagian dari kenangan masa lalu banyak orang. Ia saksi lalu lintas kereta pengangkut tebu milik Pabrik Gula Madukismo. Ia saksi atas berseliwerannya "sepur kluthuk" alias kereta berbahan bakar batu bara yang melayani trayek Jogja-Bantul pada masanya. Ia juga saksi atas revolusi fisik 1945-1949 di sekitaran Bantul dan selatan Jogja, ketika tentara Belanda bermarkas di pabrik gula. Bahkan Pak Munthul, pahlawan kampung kami, pun ditembak tentara Belanda dari arah gardu itu.

Warga asli di sekitar tempat itu, termasuk di kampung kami, menyebut lampu merah itu dengan "Prapatan Kerdu", perempatan gardu. Tak peduli sudah hampir dua dekade si gardu lenyap tiada sisa, sebutan Kerdu masih saja bertahan. Entah bagaimana perasaan mereka saat mengucapkan "Kerdu", padahal kerdu alias gardu yang tersisa di situ tinggal gardu polisi yang tak ada romantis-romantisnya sama sekali.

Malangnya, masyarakat kita memang bukan masyarakat yang romantis. Dan saya yakin gardu malang itu tak sendiri. Di tempat-tempat lain ada banyak korban lainnya, korban dari sebuah masyarakat yang persetan dengan masa lalu. Bukankah di kota Anda juga begitu?

                                                    ***

Apa yang menyebabkan kita begitu abai pada masa lalu, dan begitu kejam kepada jejak-jejak nyata masa lalu? Apakah jargon "lekas move on" telanjur kita terapkan semena-mena, sehingga masa silam sejarah peradaban pun kita posisikan setara dengan kelamnya kisah asmara?

Ada banyak sudut pandang yang mencoba mencerna minimnya penghargaan kita atas benda-benda bersejarah. Yang paling sering disebut oleh orang-orang pintar dan telah menjadi klise adalah karena dunia pendidikan kita gagal membangun kesadaran akan pentingnya pemahaman atas masa lalu.

Nah, saya tidak tertarik membahas itu. Sudah lelah rasanya berkutat pada pemetaan masalah yang bersifat mendasar, tapi tak kunjung membuat kita beranjak dari level dasar. Saya sih sepakat saja bahwa problem keterdidikan dan kesadaran kesejarahan masyarakat begitu rendah. Tapi lalu apa? Mau menunggu sampai orang-orang sadar akan betapa pentingnya memahami perjalanan historis kita, betapa pentingnya merawat jejak sejarah kita, serta betapa mengerikannya sebuah masyarakat yang lupa akan lembar-lembar masa silamnya?

Semua itu memang layak ditunggu. Tapi sampai kapan? Jika reformasi besar-besaran pada kurikulum pendidikan sejarah di sekolah-sekolah dijalankan pun, hasil yang akan kita dapatkan baru akan mulai tampak pada, barangkali, dua dasawarsa ke depan. Sembari menanti masa itu, bangunan-bangunan peninggalan masa lalu akan terus runtuh satu demi satu.

                                                        ***

Mungkinkah Revolusi Tongsis yang berimbas konkret kepada geliat ekonomi turisme alam turut dimainkan ke wisata sejarah?

Kadang saya membayangkan, alangkah cantiknya jika gardu di dekat rumah saya itu dibiarkan tetap di situ. Dirawat baik-baik, ditambal beberapa bagian yang keropos, dicat ulang untuk menambal lumut-lumut yang tumbuh di dindingnya. Ia akan tegak sendirian di ruang sesak di bawah bayang-bayang gapura, di balik semrawutnya baliho-baliho iklan yang nir-penataan, di samping bangunan mewah show room barang-barang kerajinan. Namun setidaknya ia bisa hidup sebagai sepotong potret buram yang terus menjadi pengingat tentang dari mana semua ini bermula.

Lalu di depan gardu dipasang papan permanen bikinan warga desa. Di situ ditulis latar sejarah kolonial, peristiwa-peristiwa penting pada masa kolonial yang terjadi di sekitar tempat itu, berikut keterangan fungsi gardu-gardu pada masa kolonial. Para mahasiswa Kuliah Kerja Nyata dari Jurusan Ilmu Sejarah entah dari kampus mana di Jogja sangat bisa digerakkan untuk menyediakan data-data historisnya.

Dengan keterangan latar historis yang lengkap, muncullah "makna". Ini yang akan bisa dijual. Coba, Anda pamer foto bersebelahan dengan seorang lelaki kurus berambut belah pinggir. Teman Anda yang tak tahu siapa lelaki di samping Anda mungkin melirik pun tidak. Tapi begitu paham bahwa orang itu Presiden Indonesia, ceritanya akan lain. Teman Anda bisa iri, bisa benci, tergantung pada faksi mana dia berdiri hihihi. Itulah makna. Nah, demikian pula yang terjadi jika Anda selfie di depan tempat-tempat bersejarah.

Saya melihat, salah satu kendala dalam pelestarian cagar-cagar budaya di Indonesia adalah minimnya informasi yang tersedia di TKP. Kalau toh ada, paling cuma empat-lima kalimat yang terbatas pada keterangan tentang "bangunan apakah itu".

Saya bandingkan dengan di Australia (maaf, agak genit, tapi ini penting), di mana tempat-tempat remeh pun diberi keterangan lengkap. Dengan cara begitu, setidaknya muncul dua efek. Pertama, edukasi publik demi membangun kesadaran sejarah terus-menerus dijalankan. Kedua, orang akan mendapatkan makna dari sebuah tempat, sebuah benda, atau sebuah bangunan. Apa yang tampak sekadar sebagai bangunan jelek, akan terasa berbeda begitu kita memahami sejarahnya, posisinya dalam peristiwa-peristiwa, tokoh siapa saja yang pernah menggunakan gedung itu, dan sebagainya.

Kalau Australia kejauhan, lihat saja Malaysia. Saya pernah berkunjung ke Malaka, dan menemukan bahwa sebenarnya peninggalan sejarah di kota itu sedikit saja, kecil-kecil, tapi dirawat baik-baik dan dimunculkan terus menerus dalam brosur-brosur wisata. Turis pun akan bangga berfoto di tempat-tempat itu, merasa menemukan ikon Malaka, dan efek lanjutannya tempat-tempat itu terus terjaga.

Bagaimana di tempat kita? Tidak usah menunggu hasil pendidikan sejarah. Tidak perlu juga menunggu kerja pemerintah, yang paling-paling cuma akan terbentur pada isu dana. Warga bisa bergerak sendiri, menggunakan sumber daya yang ada, menjadikan tempat-tempat bersejarah sebagai objek turisme yang lebih menjual makna alih-alih keindahan alam, merangkul para selebritas medsos untuk menjalankan kerja sosial dengan selfie-selfie di tempat itu, dan pada akhirnya memunculkan geliat ekonomi baru.

Mumpung Revolusi Tongsis masih berjalan, ini jadi momen yang sayang dilewatkan. Jika tidak, jejak-jejak sejarah masa lalu di kota Anda akan segera bernasib sama dengan gardu kereta di dekat rumah saya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar