Netralitas
Perguruan Tinggi
Fauzan ; Rektor Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM); Anggota Wantim FRI
|
KORAN
SINDO, 30 Januari 2018
Pengurus Dewan Pertimbangan Forum Rektor
Indonesia (Wantim FRI) bersama dengan pimpinan Forum Rektor Indonesia (FRI)
baru saja mengadakan pertemuan pada 25 Januari 2018 di Universitas Hasanudin
Makassar.
Pertemuan tersebut lebih banyak
membicarakan persiapan konvensi FRI yang rencananya diselenggarakan
pertengahan bulan Februari ini dan akan dibuka Presiden Republik Indonesia,
Jokowi. Ada hal menarik yang perlu dicermati di tengahtengah pembicaraan itu,
yakni ada kegelisahan kolektif yang berkaitan dengan persoalan bagaimana
menjaga netralitas posisi perguruan tinggi (PT) di tengah-tengah hiruk-pikuk
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018.
Persoalan itu mencuat karena dua hal
penting yang menjadi dasar pertimbangannya. Pertama , secara normatif ada
komitmen yang tinggi dari para pengurus FRI untuk menjaga fungsi PT. Fungsi
PT adalah sebagai pusat pengembangan dan pergumulan ilmu pengetahuan dan
teknologi. PT harus mengambil peran sebagai problem solver atas dinamika
persoalan kehidupan yang terjadi saat ini dan mendatang. Dalam konteks ini
secara institusional PT memiliki tanggung jawab sosial yang tidak ringan.
Kedua , secara pragmatis banyak pihak internal ataupun eksternal yang menaruh
kepentingan atas eksistensi PT di mana pun berada.
Artinya dalam situasi politik tertentu
sangat mungkin PT akan dijadikan bargaining untuk memuluskan salah satu
calon. Pada tataran inilah kadang-kadang syahwat politik pimpinan PT juga
muncul dengan berbagai macam argumentasinya. Kalau yang demikian itu muncul, tidak
menutup kemungkinan akan terjadi persoalan baru dalam perjalanan PT-nya.
Dunia PT memang tidak dapat melepaskan diri dari dinamika sosial dan politik.
PT yang pada hakikatnya merupakan kumpulan masyarakat intelek diharapkan
lebih banyak mengambil peran-peran konstruktif dalam membangun iklim
demokrasi di Indonesia.
PT sudah seharusnya berperan sebagai mesin
penjernih dan pencerah atas terjadinya kekotoran praktik-praktik politik yang
semakin jauh dari norma-norma sosial keagamaan masyarakat. Namun pada
kenyataannya makin jauh panggang dari api. Masih banyak PT yang malah
terlibat dalam hegemoni politik praktis baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dalam banyak kasus PT dengan sengaja dikonstruksi menjadi bagian
dari instrumen atau bahkan konstituen partai atau golongan tertentu. Bahkan
sudah banyak diketahui bahwa untuk menjadi calon pimpinan PT tidak hanya
cukup memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, tetapi yang menarik dan
unik adalah juga adu kuat adanya rekomendasi dari pihak-pihak lain (partai
atau golongan) yang mestinya tidak menjadi parameter esensial dalam demokrasi
kampus).
Karena itu tidak aneh jika proses pemilihan
rektor pun mirip (kalau tidak dapat dikatakan sama persis) dengan praktik
pilkada. Oleh karena itu harap maklum jika dalam pemilihan rektor ditengarai
ada politik sebagaimana yang diberitakan media beberapa bulan belakangan ini.
Problem besar lain yang selalu muncul adalah terjadinya ketegangan sosial
yang tak kunjung lerai dan bahkan cenderung menggumpal yang pada gilirannya
dapat mengganggu iklim akademik.
Pada akhirnya PT sibuk dan banyak energi
internalnya habis terbuang untuk mengurus urusan-urusan nonakademis. Anehnya
hingga saat ini tampaknya belum ada upaya sadar dari pemerintah maupun
pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk merehabilitasi peran kampus yang
kurang merdeka dalam menjalankan proses demokrasinya. Perdebatan di seputar
aturan menteri terkait pemilihan rektor (untuk PTN) tak pernah berujung
menyejukkan.
Suara menteri 35% dalam pemilihan rektor
sering menjadi pemicu munculnya polarisasi warga kampus, khususnya para
anggota senat. Ditambah lagi adanya turut campur pihak eksternal (golongan
organisasi masyarakat dan partai politik) yang tidak memiliki hubungan
langsung dengan PT yang bersangkutan. Hal senada juga terjadi pula dalam
lingkungan PTN berbasis keagamaan. Merujuk pada Peraturan Menteri Agama RI No
68 Tahun 2015, meskipun menteri tidak memiliki otoritas suara secara
persentase, tahapan pengangkatan rektor/ketua sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 4 dan 5 memiliki potensi besar untuk dicurigai derajat keobjektifannya.
Pada kenyataannya melalui tahapan yang
telah ditetapkan itulah penumpang gelap turut terlibat dengan membawa
kepentingan baik personal maupun organisasional sehingga tidak mengherankan
bila dalam kasus tertentu para calon rektor sama-sama perang rekomendasi dari
organisasi/partai/pihak lain. Kita patut prihatin atas kondisi yang demikian
dan itu salah satu fenomena yang hingga saat ini masih tercium bahu amisnya.
Oleh karena itu, dalam menyongsong Pilkada Serentak 2018 ini PT seharusnya
memerankan diri sebagai lokus terjadinya perubahan iklim politik yang lebih
kondusif dan tidak bermain politik murahan sendiri.
Riilnya PT lebih memainkan peran sebagai
fasilitator untuk mendorong terjadinya tatanan dan praktik-praktik politik
yang menggembirakan. Atas dasar itu, pilihan-pilihan cerdas terhadap strategi
yang akan dimainkan dalam rangka memberi warna politik (praktis) sekalipun
harus dibingkai sebagai proses edukasi politik masyarakat. Hal itu lebih
merupakan tanggung jawab moral yang menjadi tuntutan masyarakat kepada PT.
Pilkada serentak yang rencananya akan digelar pada 27 Juni 2018 perlu
direspons oleh PT secara proporsional dengan tetap menggunakan paradigma
akademik dalam kapasitasnya sebagai lembaga pendidikan tinggi.
PT tidak boleh alergi dengan politik.
Dinamika politik yang belum kunjung membaik seharusnya menjadi salah satu
tugas dan tanggung jawab PT. PT harus mencari jalan tengah untuk turut
mengurai keruwetan yang terjadi di seputar pelaksanaan pilkada serentak ini.
Itu semua diniatkan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem kepemimpinan dalam
pemerintahan yang pada gilirannya akan melahirkan pemimpin yang mampu membawa
perubahan hidup ke arah yang lebih baik dan kompetitif. Keterlibatan PT dalam
pilkada serentak tentu bukan pada wilayah teknis, tetapi harus dijadikan
sebagai bagian dari variabel dalam mengatur rencana strategi makro yang ingin
dicapai.
PT diharapkan memiliki proyeksi masa depan
dalam turut serta bertanggung jawab atas persoalan-persoalan kenegaraan.
Persoalan menghadapi bonus demografi misalnya, yang sebentar lagi akan tiba,
harus menjadi tanggung jawab bersama. Para calon pemimpin daerah hasil
Pilkada Serentak 2018 berada dalam masa kepemimpinan yang sangat strategis
dan menentukan kualitas angkatan tenaga produktif. Untuk mewujudkan itu
diperlukan kesamaan visi antara PT dan pemerintah dalam seluruh levelnya.
Tentu masih banyak masalah lain yang
memerlukan penyelesaian bersama. Artinya banyak cara yang lebih terhormat
yang bisa dimainkan oleh PT dalam menyikapi adanya pilkada serentak yang akan
berlangsung tahun ini. Hal ini dimaksudkan agar Pilkada Serentak 2018 dapat
melahirkan sosok pemimpin daerah yang lebih berkualitas daripada sebelumnya.
Menurut catatan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, mulai 2004 hingga 2017
terdapat 392 kepala daerah yang tersangkut hukum. Sebagian besar dari itu
(313) adalah kasus korupsi (Jawa Pos.com , 11 Desember 2017).
Menilik data itu, rasanya menjadi sangat
perlu kehadiran PT dengan gayanya sendiri yang berperan menjadi bagian dari
partner kritis terhadap perjalanan pilkada serentak maupun jalannya
pemerintahan nantinya. Sudah waktunya PT mengambil peran netral aktif dalam
rangka meluruskan jalannya pilkada serentak agar lahir pemimpin yang
mencerahkan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar