Fenomena
Hijrah di Kalangan Anak Muda
Abdul Hair ; Peneliti Kajian Budaya
Pop, Media, dan Komunikasi
|
DETIKNEWS,
30 Januari
2018
Belakangan ini marak kita temui kampanye
gerakan hijrah di media sosial. Di Instagram misalnya, sampai dengan tulisan
ini dibuat, akun @pemudahijrah sudah diikuti hampir satu juta orang. Jika
kita menuliskan tagar #hijrah di kolom pencarian, akan kita temukan lebih
dari 1,7 juta kiriman tentang topik ini. Di Facebook, akun Hijrah sudah
diikuti lebih dari 300 ribu orang. Dari beberapa contoh tersebut bisa kita
lihat bahwa gerakan hijrah sejatinya merupakan gerakan yang dilakukan secara
masif.
Hijrah, yang secara bahasa berarti
berpindah, digunakan sebagai sebutan untuk menamai sebuah gerakan yang
mengajak kaum muslim, khususnya anak muda, untuk "berpindah"
menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara meningkatkan ketaatan dalam
menjalankan syariat agama.
Tidak jelas siapa yang memulai gerakan ini.
Sebagai sebuah fenomena, hijrah sebenarnya sudah muncul sejak lama, dimulai
dari kalangan musisi seperti Gito Rollies atau Sakti 'Sheila On 7'. Meskipun
perubahan yang mereka lakukan secara substansial adalah hijrah, tapi
masyarakat dan media kala itu tidak pernah menyebutnya demikian. Penyebutan
hijrah untuk perubahan seperti yang dilakukan para musisi di atas baru
terjadi belakangan ini.
Jika diamati lebih dalam, gerakan hijrah
amat populer di kalangan anak muda kelas menengah perkotaan. Hal ini terjadi
karena memang kampanye hijrah paling masif dilakukan di media sosial, di mana
pengguna terbesarnya adalah anak muda kelas menengah perkotaan. Penyebab
lainnya, berhijrah itu butuh biaya besar. Perubahan penampilan (khususnya
bagi perempuan) misalnya, butuh biaya yang tidak sedikit. Alasan-alasan
itulah yang membuat hijrah tidak populer di kalangan bawah.
Gerakan apapun, ketika skalanya menasional
dan berdampak besar, dapat dipastikan bisa terjadi karena gerakan tersebut
terorganisasi dengan baik dan terpusat. Aksi bela Islam pada 2016 silam
adalah contoh gerakan seperti ini.
Sebaliknya, dan ini yang menarik, gerakan
hijrah sama sekali tidak terorganisasi dan terpusat. Gerakan ini tidak
memiliki ketua, koordinator, atau penanggung jawab utama yang bertugas
memastikan gerakan ini berjalan dengan baik. Gerakan hijrah dilakukan dalam
skala lokal di hampir semua kota di Indonesia. Dan, di setiap kota pun
gerakan ini tidak terpusat pada satu komunitas saja. Bisa ada puluhan, atau
mungkin ratusan, komunitas hijrah di tiap kota, yang antara komunitas satu
dengan yang lain boleh jadi tidak saling mengenal.
Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah,
mengapa gerakan yang tidak terorganisasi seperti ini bisa berlangsung dalam
skala yang begitu luas dan memiliki dampak yang begitu besar? Ada dua faktor
yang akan saya tawarkan sebagai jawaban di sini.
Pertama, fenomena ini adalah salah satu
dampak turunan dari kebijakan pemerintah di masa lalu. Jika melihat sedikit
ke belakang, fenomena ini sebenarnya tidak mengagetkan. Ariel Heryanto,
melalui buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015)
menyatakan bahwa telah terjadi kebangkitan Islamisasi menjelang berakhirnya
kekuasaan Orde Baru. Kelompok Islam yang sebelumnya dianggap sebagai ekstrem
kanan, kemudian dirangkul dan dijadikan sekutu baru pemerintahan Soeharto
untuk memperkuat posisi politiknya yang saat itu tengah melemah.
Itulah masa ketika penggunaan jilbab tidak
lagi dilarang, dan kelompok-kelompok Islam mulai menyatakan aspirasi
politiknya secara terbuka tanpa perlu takut ditindas oleh rezim penguasa.
Hijrah, dalam konteks ini, adalah dampak turunan dari kebijakan tersebut.
Kedua, gerakan hijrah adalah gerakan yang
disponsori oleh industri. Sudah bukan rahasia lagi kalau industri
mengkomodifikasikan apapun yang bisa diperjualbelikan, tidak terkecuali dalam
hal ketaatan beragama. Sebelum kampanye hijrah dilakukan secara masif,
industri sudah lebih dulu mengkooptasi ketaatan beragama masyarakat untuk
kepentingan komersil. Hal ini bisa kita lihat dari diproduksinya pakaian dan
beragam produk kecantikan seperti sabun, shampo, serta rias wajah khusus
untuk muslimah. Produk-produk kecantikan ini bahkan sampai mengadakan beragam
kontes kecantikan khusus untuk perempuan muslim berjilbab.
Maraknya gerakan hijrah pun tidak lepas
dari dukungan industri. Aktivitas kampanye beberapa komunitas hijrah, seperti
mengadakan seminar yang mengundang ustad kondang, juga disokong penuh oleh
industri. Tapi, bukan berarti industri mendominasi keadaan dan pelaku hijrah
patuh begitu saja pada apapun yang menjadi kehendak industri. Bukan juga
pelaku hijrah yang mendominasi situasi, dan industri yang justru didikte
untuk menyediakan apapun yang menjadi kebutuhan pelaku hijrah.
Relasi antara pelaku hijrah dan industri
lebih tepat dilihat sebagai hubungan yang dialektis dan saling menguntungkan:
ketaatan menjalankan syariat Islam menemukan perwujudannya dalam sistem
perekonomian yang berorientasi pada industri, dan industri memberikan respons
terhadap fenomena ini sebagai salah satu sumber pendapatan yang akan
menyokong keberlangsungan hidupnya.
Salah satu contoh hubungan yang dialektis
ini bisa kita saksikan dalam tayangan televisi dengan ditampilkannya
selebriti muda yang telah menjalani hijrah. Selebriti ini, melalui industri
penyiaran, menyampaikan pesan-pesan hijrah agar masyarakat semakin
meningkatkan kualitas ketakwaannya. Sedangkan industri penyiaran mendapatkan
pemasukan dari ceruk pasar baru yang sedang bertumbuh ini. Dan, ceruk pasar
ini akan terus bertumbuh, entah sampai kapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar