Politik
LGBT
Freddy Nababan ; Alumnus CULS (Ceko);
Pengamat Sosial Kemasyarakatan, Pengajar, dan Aktivis Toba Writers Forum
(TWF)
|
DETIKNEWS,
29 Januari
2018
Tidak hanya SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan), barangkali isu seputar LGBT (lesbian, gay, bisexual, dan
transgender) bakal menjadi "kecap" jualan laris-manis para politisi
di panggung politik lokal dan nasional. Kenapa begitu? Karena kedua isu ini
masih "seksi" dan layak jual.
Perihal LGBT, adalah Zulkifli Hasan, Ketua
MPR merangkap Ketua Umum PAN yang punya cerita polemik ini. Dalam paparan
sosialisasi pilar kebangsaan di kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya,
Sabtu (20/1), ia mengatakan ada lima (5) fraksi di DPR yang "diam"
saja alias tidak mengatakan penolakan terhadap isu ini, yang katanya ramai
dibicarakan berbarengan dengan pembahasan Undang-undang Pornografi di DPR.
Sontak banyak pihak, terutama fraksi-fraksi
di parlemen yang diasosiasikan mendukung LGBT, termasuk Ketua DPR Bambang
Soesatyo yang mempertanyakannya sebab materi tersebut tidak ada dibahas
secara spesifik.
Dari sudut pandang ini dapat dipersepsikan
bahwa Ketua MPR seolah-olah sedang berkampanye memposisikan fraksinya berada
di baris depan penolak LGBT, dan fraksi lainnya itu --yang hanya diketahui
oleh dirinya sendiri-- penyokongnya.
Karena ia tidak secara langsung menyebutkan
identitas atau ciri-ciri fraksi (baca: partai) yang dimaksud, maka bola liar
pun menggelinding ke mana-mana. Ada yang bilang ini adalah kampanye
terselubung, test the water, lanjutan politik identitas, curi start, dan lain
sebagainya.
Bahkan, asumsi saya, pidato yang dibumbui
isu LGBT itu adalah ajang "pemanasan" Pilkada 2018, Pileg, dan
Pilpres 2019 versi PAN, dan mungkin juga partai-partai lain yang beriringan
dengannya di Pilkada DKI 2017 lalu, terlepas di beberapa daerah mereka
bergandengan tangan dalam perhelatan Pilkada 2018 ini. Begitulah politik. Dia
memang "abu-abu" dalam kepentingan, tidak bisa diharapkan "hitam-putih"
dalam realisasinya.
Abu-abu
Karena politik itu abu-abu alias praktis
dan pragmatis dalam kepentingannya, maka boleh jadi banyak pihak yang
memanfaatkan situasi ini. Tak terkecuali kaum pendukung LGBT dimaksud. Karena
merasa punya kepentingan untuk meloloskan hasrat kepentingan pribadi dan
komunitasnya, tentu saja mereka akan mendalilkan banyak argumen untuk meraih
tujuan mereka berupa legalisasi keberadaan mereka secara hukum.
Untuk masuk, mereka akan mendekati
fraksi-fraksi sekuler alias tidak berbasis agama, dan biasanya menggunakan
basis hak asasi manusia dalam pendekatannya. Dan, bisa jadi, mereka juga akan
melakukan penetrasi melalui agama.
Melalui ide hak asasi manusia tentu mereka
umumnya selalu bilang bahwa orientasi seks itu adalah hak dasar/bawaan lahir
dan masalah pribadi. Ada yang merasa sedari lahir ada dualisme diri dalam
hidupnya: fisik laki-laki tetapi hati dan perasaan perempuan, dan sebaliknya.
Mereka mungkin akan bilang, "Kalau politik saja abu-abu, kenapa kami tidak
boleh 'jelas'?"
Dari sudut pandang rohani dan spiritual,
tentu jelas bahwa semua agama melarang praktik-praktik hubungan sejenis. Tapi
akan lain ceritanya apabila mereka merujuk apa yang disampaikan oleh Mun'im
Sirry dalam artikelnya Ulama-ulama Homoseksual, di mana ada cukup banyak
"ulama" zaman dulu yang "mengidap" disorientasi seksual
ini.
Apa kira-kira yang akan dijawab oleh
anggota dewan yang terhormat jika mereka mengajukan bukti-bukti tempo dulu
itu, sembari berkata, "Kok ulama-ulama bisa homo, ya?" Tentu tidak
mudah untuk menjawab pertanyaan seputar "ulama" homoseksual itu,
bukan?
Akan tetapi karena mayoritas bangsa
Indonesia masih dianggap pemeluk agama yang konservatif, yang patuh terhadap
ulama-ulama heteroseksual zaman sekarang, tentu argumen-argumen mereka akan
dengan mudah dipatahkan dengan jalan aksi massa. Ya, aksi massa. Bukan dengan
pendekatan hati ke hati. Karena memang masih begitulah pendekatan efektif di
negeri ini.
Pertarungan
Tapi, biarlah itu menjadi ranah para
pemimpin agama. Apapun agamanya. Mari kita kembali ke fokus bahasan politik
LGBT.
Sebagaimana saya ungkapkan di awal, karena
politik itu abu-abu, kadang dihaluskan dengan istilah dinamis, maka apapun
bisa terjadi. Dan sulit untuk diprediksi. Karena isu ini sudah telanjur dihembuskan,
maka saya berpikir ianya akan "digoreng" kembali dan bisa berubah
menjadi "bom waktu" yang setiap saat bisa meledak.
Alasannya sederhana, tak mungkin ada asap
kalau tidak ada api. Karena usulan audiensi pembahasan masalah LGBT sudah
sempat disampaikan oleh LSM asing ke DPR, walaupun ditolak, maka hal ini akan
dimanfaatkan oleh politisi-politisi lain yang menangkap peluang baik di balik
usulan tersebut.
Buktinya jelas, walaupun dibantah politisi
PAN yang lain, Ketum PAN sudah melempar isu hangat ke publik. Dia sudah
sempat berputar-putar dan direspons di ruang-ruang khalayak ramai, tidak
hanya di dunia nyata, juga di dunia maya.
Pertanyaannya, siapakah yang akan berhasil
memenangkan pertarungan isu politik LGBT ini, lima fraksi yang
"diam", atau lima fraksi yang "berisik"? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar