Selasa, 30 Januari 2018

”IndoAid”

”IndoAid”
Dedi Haryadi  ;  Ketua Beyond Anti Corruption
                                                      KOMPAS, 30 Januari 2018



                                                           
Indonesia naik kelas. Semula penerima hibah, kini menjadi pemberi hibah. Mengecilnya aliran dana hibah dari Uni Eropa dan AS yang masuk ke Indonesia direspons dengan elegan. Mulai tahun fiskal 2018, Pemerintah Indonesia—melalui Kementerian Luar Negeri—akan mengalokasikan dana hibah setriliun rupiah (sekitar 70 juta dollar AS) untuk membiayai kerja sama pembangunan internasional.

Peta dan konstelasi lembaga donor akan segera berubah. Selain USAID (Amerika), Ausaid (Australia), Danida (Denmark), dan lain-lain, kita juga akan segera mengenal IndoAid.

IndoAid itu sebutan dari saya. Pemerintah belum memberi nama. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berjanji dalam tiga bulan ke depan kerangka kelembagaan pengelolaan dana hibah untuk kerja sama pembangunan internasional tersebut selesai dan dirilis ke publik. Dengan kerangka kelembagaan pengelolaan hibah yang jelas dan ajek, kebiasaan dan altruisme kita memberikan bantuan akan lebih sistematik, terencana, dan terarah.

Distingtif

Ada beberapa pertanyaan pokok yang mengemuka dalam merancang bangun IndoAid, yaitu, pertama, nilai-nilai keutamaan apa (social virtues) yang jadi dasar pengembangan dana hibah ini? Kedua, nilai-nilai dan kelembagaan apa yang mau kita promosikan melalui dana hibah ini? Ketiga, kepentingan nasional (politik, ekonomi, kebudayaan, hankam) apa yang kita perjuangkan melalui pemberian dana hibah ini? Dan, keempat, bagaimana mengembangkan IndoAid yang distingtif dengan lembaga donor/kerja sama pembangunan internasional yang sudah ada? 

Politik luar negeri kita bebas aktif, bukan bebas reaktif. Selama ini, kesan reaktifnya yang lebih menonjol. Lihat, misalnya, cara kita merespons dan menangani kasus pengungsi Rohingya. Kelembagaan IndoAid bisa jadi kaki tangan pemerintah untuk mengimplementasikan politik luar negeri kita jadi lebih responsif, cerdas, dan otentik.

Kelak kantor perwakilan IndoAid di Yangoon, misalnya, bisa proaktif membantu aktivis, LSM, jurnalis, dan politisi di sana untuk mengadvokasikan status kewargaan Rohingya sehingga mereka nanti jadi bagian integral dari masyarakat dan politik Myanmar. Nilai yang melandasi perjuangan kita mewargakan Rohingya bukan karena alasan agama, melainkan karena kemanusiaan (humanisme). Nilai ini yang akan kita pakai juga kalau ada orang Hindu, Buddha, atau Nasrani di negara lain yang mempunyai problem kewargaan yang mirip dengan orang Rohingya. Lalu, apa bedanya humanisme yang dikembangkan IndoAid dengan Ausaid atau USAID? Maukah kita menyebut ini sebagai humanisme Pancasila?

Ini tantangan intelektual yang tidak gampang bagi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) untuk merumuskan humanisme Pancasila. Supaya IndoAid distingtif, memang kita harus produktif mendekonstruksi dan merekonstruksi kelembagaan dan nilai-nilai yang selama ini dipromosikan oleh lembaga donor/kerja sama pembangunan yang sudah ada.

Selama ini, terutama lembaga donor dari Amerika, Eropa, dan Australia, mempromosikan nilai-nilai dan kelembagaan, seperti pasar bebas, demokrasi, penghormatan-perlindungan-pemenuhan HAM, tata kelola pemerintahan yang baik, kemandirian dan kebebasan media, penguatan partisipasi warga dan kontrol publik, keadilan, perdamaian, dan pluralisme. Apakah kita akan mencomot begitu saja dan kemudian mempromosikan hal yang sama?

Tampaknya kita harus mencari kelembagaan dan nilai yang unik dan istimewa yang digali dari kekayaan bangsa kita sendiri atau hasil akulturasi agar bisa dikemas dan dipromosikan ke masyarakat lain di luar batas. Kompatibilitas Islam dan demokrasi mungkin salah satu kelembagaan yang berpotensi kita promosikan ke mancanegara.

Menghibah karena cinta

Nilai keutamaan kita mengembangkan IndoAid akan menentukan posisi mental kita, apakah sebagai budak, pedagang, atau pencinta. Menghibah karena menghindari dosa dan menolak bala berarti kita budak.

Mengharapkan balasan kebaikan (dari yang dibantu) berarti kita pedagang. Dalam kedudukan sebagai pedagang ini, boleh dan valid kita menitipkan atau mengintegrasikan kepentingan  nasional dalam berbagai hibah yang kita berikan. Tak mengharapkan apa pun dari hibah yang diberikan berarti kita pencinta. Ini maqom paling tinggi.

Jadilah Indonesia sebagai pencinta. Kita memberikan bantuan dan hibah kepada masyarakat/negara lain itu karena nyaah (cinta). Entah karena cinta kemanusiaan, perdamaian, kebebasan, atau keadilan.

Masa, sih, IndoAid dibangun hanya karena dan demi cinta? Tidak juga. In ahsantum ahsantum li anfusikum. Kebaikan yang kamu lakukan itu, ya, buat kamu juga. Dengan adanya IndoAid, mudah-mudahan negara ini akan lebih full berkah. ●

1 komentar: