”IndoAid”
Dedi Haryadi ; Ketua Beyond Anti
Corruption
|
KOMPAS,
30 Januari
2018
Indonesia naik kelas. Semula penerima
hibah, kini menjadi pemberi hibah. Mengecilnya aliran dana hibah dari Uni
Eropa dan AS yang masuk ke Indonesia direspons dengan elegan. Mulai tahun
fiskal 2018, Pemerintah Indonesia—melalui Kementerian Luar Negeri—akan
mengalokasikan dana hibah setriliun rupiah (sekitar 70 juta dollar AS) untuk
membiayai kerja sama pembangunan internasional.
Peta dan konstelasi lembaga donor akan
segera berubah. Selain USAID (Amerika), Ausaid (Australia), Danida (Denmark),
dan lain-lain, kita juga akan segera mengenal IndoAid.
IndoAid itu sebutan dari saya. Pemerintah
belum memberi nama. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berjanji dalam tiga
bulan ke depan kerangka kelembagaan pengelolaan dana hibah untuk kerja sama
pembangunan internasional tersebut selesai dan dirilis ke publik. Dengan
kerangka kelembagaan pengelolaan hibah yang jelas dan ajek, kebiasaan dan
altruisme kita memberikan bantuan akan lebih sistematik, terencana, dan
terarah.
Distingtif
Ada beberapa pertanyaan pokok yang
mengemuka dalam merancang bangun IndoAid, yaitu, pertama, nilai-nilai
keutamaan apa (social virtues) yang jadi dasar pengembangan dana hibah ini?
Kedua, nilai-nilai dan kelembagaan apa yang mau kita promosikan melalui dana
hibah ini? Ketiga, kepentingan nasional (politik, ekonomi, kebudayaan,
hankam) apa yang kita perjuangkan melalui pemberian dana hibah ini? Dan,
keempat, bagaimana mengembangkan IndoAid yang distingtif dengan lembaga
donor/kerja sama pembangunan internasional yang sudah ada?
Politik luar negeri kita bebas aktif, bukan
bebas reaktif. Selama ini, kesan reaktifnya yang lebih menonjol. Lihat,
misalnya, cara kita merespons dan menangani kasus pengungsi Rohingya.
Kelembagaan IndoAid bisa jadi kaki tangan pemerintah untuk
mengimplementasikan politik luar negeri kita jadi lebih responsif, cerdas,
dan otentik.
Kelak kantor perwakilan IndoAid di Yangoon,
misalnya, bisa proaktif membantu aktivis, LSM, jurnalis, dan politisi di sana
untuk mengadvokasikan status kewargaan Rohingya sehingga mereka nanti jadi
bagian integral dari masyarakat dan politik Myanmar. Nilai yang melandasi
perjuangan kita mewargakan Rohingya bukan karena alasan agama, melainkan
karena kemanusiaan (humanisme). Nilai ini yang akan kita pakai juga kalau ada
orang Hindu, Buddha, atau Nasrani di negara lain yang mempunyai problem
kewargaan yang mirip dengan orang Rohingya. Lalu, apa bedanya humanisme yang
dikembangkan IndoAid dengan Ausaid atau USAID? Maukah kita menyebut ini
sebagai humanisme Pancasila?
Ini tantangan intelektual yang tidak
gampang bagi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) untuk
merumuskan humanisme Pancasila. Supaya IndoAid distingtif, memang kita harus
produktif mendekonstruksi dan merekonstruksi kelembagaan dan nilai-nilai yang
selama ini dipromosikan oleh lembaga donor/kerja sama pembangunan yang sudah
ada.
Selama ini, terutama lembaga donor dari
Amerika, Eropa, dan Australia, mempromosikan nilai-nilai dan kelembagaan,
seperti pasar bebas, demokrasi, penghormatan-perlindungan-pemenuhan HAM, tata
kelola pemerintahan yang baik, kemandirian dan kebebasan media, penguatan
partisipasi warga dan kontrol publik, keadilan, perdamaian, dan pluralisme.
Apakah kita akan mencomot begitu saja dan kemudian mempromosikan hal yang
sama?
Tampaknya kita harus mencari kelembagaan
dan nilai yang unik dan istimewa yang digali dari kekayaan bangsa kita
sendiri atau hasil akulturasi agar bisa dikemas dan dipromosikan ke
masyarakat lain di luar batas. Kompatibilitas Islam dan demokrasi mungkin
salah satu kelembagaan yang berpotensi kita promosikan ke mancanegara.
Menghibah
karena cinta
Nilai keutamaan kita mengembangkan IndoAid
akan menentukan posisi mental kita, apakah sebagai budak, pedagang, atau
pencinta. Menghibah karena menghindari dosa dan menolak bala berarti kita
budak.
Mengharapkan balasan kebaikan (dari yang
dibantu) berarti kita pedagang. Dalam kedudukan sebagai pedagang ini, boleh
dan valid kita menitipkan atau mengintegrasikan kepentingan nasional dalam berbagai hibah yang kita
berikan. Tak mengharapkan apa pun dari hibah yang diberikan berarti kita
pencinta. Ini maqom paling tinggi.
Jadilah Indonesia sebagai pencinta. Kita
memberikan bantuan dan hibah kepada masyarakat/negara lain itu karena nyaah
(cinta). Entah karena cinta kemanusiaan, perdamaian, kebebasan, atau
keadilan.
Masa, sih, IndoAid dibangun hanya karena
dan demi cinta? Tidak juga. In ahsantum ahsantum li anfusikum. Kebaikan yang
kamu lakukan itu, ya, buat kamu juga. Dengan adanya IndoAid, mudah-mudahan
negara ini akan lebih full berkah. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus