Rabu, 24 Januari 2018

Klaim Sukses Sebelum "Crash"

Klaim Sukses Sebelum "Crash"
Fuad Bawazier  ;  Mantan Menteri Keuangan
                                                   DETIKNEWS, 22 Januari 2018



                                                           
Praktis semua penguasa di dunia selalu mengklaim ekonomi makro yang tengah terjadi adalah keberhasilan dan policy ekonomi pemerintahannya. Itulah enaknya berargumentasi dalam ekonomi makro, yaitu sang penguasa selalu klaim sukses sebelum terjadi crash atau krisis ekonomi. Bahkan menjelang krisis moneter dahsyat pada 1997, pemerintah masih lantang mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat, dan karenanya menjamin Indonesia tidak akan terkena krisis. Dengan jaminan para ekonom Mafia Berkeley itu, Presiden Soeharto merasa aman dan senang.

Tapi, itulah perilaku penguasa ekonomi di hampir seluruh dunia yang cenderung tidak mau mengakui kegagalan. Selalu klaim dirinya hebat dan sukses sampai benar-benar terjadi krisis ekonomi sehingga tidak bisa lagi berkelit. Ketika sedang berkuasa dan sebenarnya mereka mengetahui ekonomi makro yang menjadi tanggung jawabnya dalam kondisi babak belur dan menuju krisis para penguasa ekonomi itu selalu berharap agar krisis terjadi setelah ganti rezim. Lalu penguasa itu berkicau tentang kesuksesan palsu pada zamannya.

Nampaknya itulah yang sedang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi-JK di mana para pejabat ekonominya suka bersilat lidah demi pencitraan dirinya di mata Presiden maupun publik. Data ekonomi makro dipelintir dan disalahtafsirkan, dibaca sepotong-potong, dibandingkan dengan sesuatu yang tidak relevan, dan sebagainya yang penting agar pejabat ekonomi tetap nampak hebat dan sukses.

Jangankan data yang bersifat kualitatif, data kuantitatif pun dapat mereka tafsirkan dan warnai sesukanya, yang penting klaim sukses. Tax Amnesty 2016 misalnya yang jelas-jelas tidak mencapai target uang tebusan sebesar Rp 165 triliun maupun dana repatriasi Rp 1000 triliun, tetap saja diklaim sebagai tax amnesty yang sukses dan bahkan yang paling sukses di dunia. Atau, APBN yang berturut-turut sejak 2015, 2016, dan 2017 gagal mencapai target resmi menurut undang-undang APBN. Pertumbuhan ekonomi yang selalu di bawah target atau pendapatan negara yang jauh dari targetnya, tapi tetap membusungkan dada dengan mengklaim bahwa realisasinya lebih baik dibandingkan ini dan itu yang sebenarnya bukan data pembanding resminya.

Apalagi dengan data yang bersifat kualitatif seperti janji swasembada beras yang ternyata selama Jokowi berkuasa tiap tahun impor beras. Padahal dalam kenyataannya pelan tapi pasti ada pergeseran dari beras ke gandum sehingga impor gandum terus meningkat. Demikian juga dalam berbagai pernyataan politik ekonomi makro, seperti peningkatan kemandirian ekonomi yang ternyata semakin tidak mandiri. Sedangkan target-target kuantitatif seperti peningkatan tak ratio, perbaikan debt service ratio, dan penurunan debt ratio tidak ada yang tercapai bila kita menggunakan target resmi seperti APBN dan RPJM.

Untuk tidak dikatakan gagal, target-target resmi tadi disingkirkan dan digunakanlah pembanding bebas yang bisa menunjukkan Tim Ekonomi Pemerintah berhasil. Rupanya inilah yang sedang terjadi pada masa Pemerintahan Jokowi–JK di mana para pejabat ekonominya suka berpolitik demi pencitraan di muka Presiden dan di mata publik.

Data ekonomi makro memang mudah dipelintir dan disalahtafsirkan, dibaca sepotong-potong, dibandingkan dengan sesuatu yang tidak relevan dan sebagainya yang penting bisa berargumentasi ekonomi sukses. Sebenarnya, Presiden Jokowi sendiri merasa ada yang salah dengan jalannya ekonomi atau Tim Ekonominya, seperti ketika Jokowi menanyakan bila semuanya oke, kenapa ekonomi tidak berjalan cepat? Atau, ketika Presiden mengatakan bahwa anggaran pemulangan TKI yang sebenarnya cukup Rp 500 juta tapi dianggarkan Rp 3 miliar, yang mencerminkan betapa besarnya pemborosan APBN.

Tim Ekonomi Pemerintah bila perlu menggunakan media dalam dan luar negeri untuk membeli predikat-predikat pujian. Tidak cukup di media, biasanya para pejabat ekonomi Indonesia juga menggunakan jasa-jasa konsultan internasional untuk menjaga citra kesuksesan palsunya. Para konsultan ini diberi proyek-proyek studi berkedok reformasi dan modernisasi seperti tax administration reform, government accounting reform, budget reform dan sebagainya yang hasilnya amat mengecewakan.

Ketika semua upaya manipulasi itu sudah jenuh dan akhirnya terjadi krisis, para ekonom akan berpindah kapal untuk menyelamatkan karirenya seperti yang terjadi saat Soeharto lengser. Pertanyaannya, apa yang patut dicemaskan dalam perkembangan ekonomi makro Indonesia yang berpotensi menimbulkan krisis?

Seperti kejadian Krisis Moneter 1997/1998 maupun krisis di banyak negara lain, utang adalah sumber utama terjadinya krisis. Pada krisis 1997/1998 sumber utamanya adalah utang swasta yang melampaui kekuatan bayarnya dengan menyalahgunakan fasilitas-fasilitas perbankan yang disediakan Bank Sentral (BI). Untungnya pada saat itu utang negara masih sedikit, terkendali, dan sehat. Sehingga negara mampu memberikan pertolongan pada pihak swasta dan perbankan yang nyaris runtuh.

Keadaan sekarang 2018 justru utang negara yang berpotensi jadi sumber krisis karena meningkat tajam sementara pendapatan negara praktis stagnan. Pada 2017 penerimaan pajak hanya mencapai 88,4% atau Rp 1097 triliun dari target Rp 1284 triliun, padahal target 2017 ini adalah Rp 110 triliun --di bawah target 2016 yang Rp 1394 triliun. Pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan 2013–2016 rata-rata hanya 7%, dan nampaknya ke depan pertumbuhan ini sulit untuk ditingkatkan.

Utang valuta asing Indonesia (publik dan swasta) per akhir November 2107 USD 347 miliiar, atau tumbuh 9,1% (yoy) tetapi pertumbuhan utang valas negara tumbuh 14,3%. Rasio utang valas ini adalah 34% dari PDB. Utang-utang valas ini umumnya untuk membiayai proyek-proyek yang kelak akan menghasilkan rupiah sehingga perlu diwaspadai adanya mismatch ini.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang Pemerintah per-September 2017 sebesar Rp 3866 triliun yang terdiri dari pinjaman multilateral/bilateral Rp 738 triliun, SBN valas Rp 849 triliun dan SBN rupiah Rp 2279 triliun.

Jadi, persoalan utamanya bukan pada besarnya utang negara khususnya utang luar negeri negara ataupun rasio utang terhadap PDB tetapi pada kemampuan pendapatan negara khususnya pajak untuk memenuhi kewajiban pembayaran atas utang negara tersebut. Gap antara pertumbuhan penerimaan negara dengan pertumbuhan utang itulah masalah kritis utama keuangan negara dalam tiga tahun ke depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar