Klaim
Sukses Sebelum "Crash"
Fuad Bawazier ; Mantan Menteri Keuangan
|
DETIKNEWS,
22 Januari
2018
Praktis semua penguasa di dunia selalu
mengklaim ekonomi makro yang tengah terjadi adalah keberhasilan dan policy
ekonomi pemerintahannya. Itulah enaknya berargumentasi dalam ekonomi makro,
yaitu sang penguasa selalu klaim sukses sebelum terjadi crash atau krisis
ekonomi. Bahkan menjelang krisis moneter dahsyat pada 1997, pemerintah masih
lantang mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat, dan karenanya
menjamin Indonesia tidak akan terkena krisis. Dengan jaminan para ekonom
Mafia Berkeley itu, Presiden Soeharto merasa aman dan senang.
Tapi, itulah perilaku penguasa ekonomi di
hampir seluruh dunia yang cenderung tidak mau mengakui kegagalan. Selalu
klaim dirinya hebat dan sukses sampai benar-benar terjadi krisis ekonomi
sehingga tidak bisa lagi berkelit. Ketika sedang berkuasa dan sebenarnya
mereka mengetahui ekonomi makro yang menjadi tanggung jawabnya dalam kondisi
babak belur dan menuju krisis para penguasa ekonomi itu selalu berharap agar
krisis terjadi setelah ganti rezim. Lalu penguasa itu berkicau tentang
kesuksesan palsu pada zamannya.
Nampaknya itulah yang sedang terjadi pada
masa pemerintahan Jokowi-JK di mana para pejabat ekonominya suka bersilat
lidah demi pencitraan dirinya di mata Presiden maupun publik. Data ekonomi
makro dipelintir dan disalahtafsirkan, dibaca sepotong-potong, dibandingkan
dengan sesuatu yang tidak relevan, dan sebagainya yang penting agar pejabat
ekonomi tetap nampak hebat dan sukses.
Jangankan data yang bersifat kualitatif,
data kuantitatif pun dapat mereka tafsirkan dan warnai sesukanya, yang
penting klaim sukses. Tax Amnesty 2016 misalnya yang jelas-jelas tidak
mencapai target uang tebusan sebesar Rp 165 triliun maupun dana repatriasi Rp
1000 triliun, tetap saja diklaim sebagai tax amnesty yang sukses dan bahkan
yang paling sukses di dunia. Atau, APBN yang berturut-turut sejak 2015, 2016,
dan 2017 gagal mencapai target resmi menurut undang-undang APBN. Pertumbuhan
ekonomi yang selalu di bawah target atau pendapatan negara yang jauh dari
targetnya, tapi tetap membusungkan dada dengan mengklaim bahwa realisasinya
lebih baik dibandingkan ini dan itu yang sebenarnya bukan data pembanding
resminya.
Apalagi dengan data yang bersifat
kualitatif seperti janji swasembada beras yang ternyata selama Jokowi
berkuasa tiap tahun impor beras. Padahal dalam kenyataannya pelan tapi pasti
ada pergeseran dari beras ke gandum sehingga impor gandum terus meningkat.
Demikian juga dalam berbagai pernyataan politik ekonomi makro, seperti
peningkatan kemandirian ekonomi yang ternyata semakin tidak mandiri.
Sedangkan target-target kuantitatif seperti peningkatan tak ratio, perbaikan
debt service ratio, dan penurunan debt ratio tidak ada yang tercapai bila
kita menggunakan target resmi seperti APBN dan RPJM.
Untuk tidak dikatakan gagal, target-target
resmi tadi disingkirkan dan digunakanlah pembanding bebas yang bisa
menunjukkan Tim Ekonomi Pemerintah berhasil. Rupanya inilah yang sedang
terjadi pada masa Pemerintahan Jokowi–JK di mana para pejabat ekonominya suka
berpolitik demi pencitraan di muka Presiden dan di mata publik.
Data ekonomi makro memang mudah dipelintir
dan disalahtafsirkan, dibaca sepotong-potong, dibandingkan dengan sesuatu
yang tidak relevan dan sebagainya yang penting bisa berargumentasi ekonomi
sukses. Sebenarnya, Presiden Jokowi sendiri merasa ada yang salah dengan
jalannya ekonomi atau Tim Ekonominya, seperti ketika Jokowi menanyakan bila
semuanya oke, kenapa ekonomi tidak berjalan cepat? Atau, ketika Presiden
mengatakan bahwa anggaran pemulangan TKI yang sebenarnya cukup Rp 500 juta
tapi dianggarkan Rp 3 miliar, yang mencerminkan betapa besarnya pemborosan
APBN.
Tim Ekonomi Pemerintah bila perlu
menggunakan media dalam dan luar negeri untuk membeli predikat-predikat
pujian. Tidak cukup di media, biasanya para pejabat ekonomi Indonesia juga
menggunakan jasa-jasa konsultan internasional untuk menjaga citra kesuksesan
palsunya. Para konsultan ini diberi proyek-proyek studi berkedok reformasi
dan modernisasi seperti tax administration reform, government accounting reform,
budget reform dan sebagainya yang hasilnya amat mengecewakan.
Ketika semua upaya manipulasi itu sudah
jenuh dan akhirnya terjadi krisis, para ekonom akan berpindah kapal untuk
menyelamatkan karirenya seperti yang terjadi saat Soeharto lengser.
Pertanyaannya, apa yang patut dicemaskan dalam perkembangan ekonomi makro Indonesia
yang berpotensi menimbulkan krisis?
Seperti kejadian Krisis Moneter 1997/1998
maupun krisis di banyak negara lain, utang adalah sumber utama terjadinya
krisis. Pada krisis 1997/1998 sumber utamanya adalah utang swasta yang
melampaui kekuatan bayarnya dengan menyalahgunakan fasilitas-fasilitas
perbankan yang disediakan Bank Sentral (BI). Untungnya pada saat itu utang
negara masih sedikit, terkendali, dan sehat. Sehingga negara mampu memberikan
pertolongan pada pihak swasta dan perbankan yang nyaris runtuh.
Keadaan sekarang 2018 justru utang negara
yang berpotensi jadi sumber krisis karena meningkat tajam sementara
pendapatan negara praktis stagnan. Pada 2017 penerimaan pajak hanya mencapai
88,4% atau Rp 1097 triliun dari target Rp 1284 triliun, padahal target 2017
ini adalah Rp 110 triliun --di bawah target 2016 yang Rp 1394 triliun.
Pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan 2013–2016 rata-rata hanya 7%, dan
nampaknya ke depan pertumbuhan ini sulit untuk ditingkatkan.
Utang valuta asing Indonesia (publik dan
swasta) per akhir November 2107 USD 347 miliiar, atau tumbuh 9,1% (yoy)
tetapi pertumbuhan utang valas negara tumbuh 14,3%. Rasio utang valas ini
adalah 34% dari PDB. Utang-utang valas ini umumnya untuk membiayai
proyek-proyek yang kelak akan menghasilkan rupiah sehingga perlu diwaspadai
adanya mismatch ini.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan,
utang Pemerintah per-September 2017 sebesar Rp 3866 triliun yang terdiri dari
pinjaman multilateral/bilateral Rp 738 triliun, SBN valas Rp 849 triliun dan
SBN rupiah Rp 2279 triliun.
Jadi, persoalan utamanya bukan pada
besarnya utang negara khususnya utang luar negeri negara ataupun rasio utang
terhadap PDB tetapi pada kemampuan pendapatan negara khususnya pajak untuk
memenuhi kewajiban pembayaran atas utang negara tersebut. Gap antara
pertumbuhan penerimaan negara dengan pertumbuhan utang itulah masalah kritis
utama keuangan negara dalam tiga tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar