Ekstensi
Kepemimpinan Toleransi
Hendardi ; Ketua Badan Pengurus
Setara Institute, Jakarta
|
KOMPAS,
31 Januari
2018
Promosi toleransi merupakan kewajiban bagi
siapa pun yang memiliki kesadaran bahwa toleransi merupakan satu-satunya
nilai utama, sikap dasar, dan cara pokok dalam memperlakukan yang lain di
tengah aneka perbedaan, alamiah, ataupun artifisial.
Oleh karena itu, setiap elemen bangsa harus
mengambil prakarsa untuk memimpin promosi toleransi sesuai dengan level
otoritas dan cakupan pengaruh masing-masing.
Kepemimpinan toleransi merujuk pada
pemaknaan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) pada 2017, yang
dirilis oleh Setara Institute, (15/1). Saat ini, promosi toleransi dan
kepemimpinan yang mengatalisasinya jadi isu yang sangat relevan di tengah
menguatnya politik identitas, radikalisme keagamaan, dan ekstremisme dengan
kekerasan (violent extremism),serta revivalitas gerakan anti-Pancasila dan
antinegara demokrasi.
Menelisik data pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan sepanjang 2017, penulis secara pribadi melihat bahwa
kita memiliki momentum untuk mendorong kepemimpinan politik negara dan
inisiatif masyarakat yang lebih intensif dan berani. Ada beberapa situasi
yang menggambarkan terbentuknya momentum untuk menggencarkan dan memperluas
promosi toleransi.
Momentum
promosi
Pertama, terdapat kemajuan atau perbaikan
konteks yang ditandai dengan membaiknya beberapa variabel kebebasan
beragama/berkeyakinan di Indonesia. Berdasarkan hasil riset terbaru Setara
Institute, terjadi penurunan signifikan angka peristiwa dan tindakan
pelanggaran KBB. Tahun 2017, ”hanya” terjadi 155 peristiwa (turun 53 jumlah
peristiwa dibandingkan 2016) dengan 201 tindakan (berbanding 270 tindakan
pada 2016).
Turunnya angka peristiwa dan tindakan itu
berkorelasi dengan penurunan angka pada beberapa variabel lain, yaitu (1)
tingkat pelanggaran terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan, seperti
umat Kristiani, jemaat Ahmadiyah, dan Syiah, yang selama ini mendominasi
angka korban di hampir setiap periode riset dan pemantauan, dan (2) angka
gangguan terhadap rumah ibadah juga jauh lebih rendah dari rata-rata gangguan
yang terjadi pada periode-periode riset sebelumnya.
Kedua, perbaikan kuantitatif pada aspek
keterlibatan aktor negara dalam pelanggaran KBB, yang dapat dibaca sebagai
peluang bagi pemajuan perspektif, kompetensi, dan bahkan keberpihakan
aparatur negara bagi tata kelola pemerintahan yang lebih kondusif bagi
pemajuan toleransi. Data Setara Institute 2017 menunjukkan, tindakan
pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara sepanjang 2017 jauh lebih rendah
dibandingkan pada 2016.
Kepolisian RI yang pada 2016, menurut
catatan Setara Institute, menjadi kontributor tertinggi pelanggaran oleh
aktor negara dengan 37 tindakan pelanggaran, tahun ini ”hanya” melakukan 17
tindakan. Selain itu, meskipun masih menjadi yang tertinggi dalam kelompok
aktor negara, pemerintah daerah ”cuma” melakukan 25 tindakan (turun 10
tindakan) dari tahun sebelumnya.
Ketiga,terjadi kebangkitan gerakan
masyarakat sipil toleran yang selama ini diam (silent majority) dan dianggap terlalu mengalahuntuk mengambil prakarsa
dan peran melawan intoleransi, diskriminasi, dan paham-paham yang mengarah
pada penguatan ideologi ekstremisme dengan kekerasan (violent extremism) sekaligus penghancuran nilai dan sendi hidup
damai bersama dalam perbedaan (peaceful
co-existence) di alam kebinekaan berdasarkan Pancasila.
Dua
agenda
Dengan momentum yang baik itu, pemerintah,
di bawah kendali Presiden Joko Widodo (Jokowi), harus mengambil peran besar
dalam meletakkan warisan bagi pemajuan toleransi di ujung kepemimpinannya.
Jokowi memiliki modal sosial, politik,
hukum, serta jaringan dan cakupan kekuasaan yang jauh lebih besar daripada
presiden keempat, Abdurrahman Wahid, yang secara berani memberikan jaminan
kesetaraan bagi minoritas Tionghoa dan penganut Khonghucu.
Promosi toleransi harus menjadi prioritas
Presiden untuk mewujudkan Indonesia yang memberikan jaminan inklusi sosial
politik sekaligus jaminan hak sipil untuk beragama secara merdeka sesuai
amanat Pasal 28E Ayat (1) dan (2) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945.
Ada dua agenda utama untuk itu, yaitu (1) penyelesaian masalah- masalah
existing yang sudah berlarut-larut mengenai kelompok- kelompok minoritas yang
terlanggar hak-hak mereka, dan (2) reformasi regulasi dan kebijakan yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945 yang selama ini menjadi
alas yuridis bagi intoleransi dan diskriminasi atas minoritas.
Beberapa persoalan besar dan pelanggaran
terus-menerus yang terjadi dalam satu dekade ini tak kalah mendesak untuk
diatasi, dibandingkan sejumlah proyek infrastruktur yang mangkrak dan
terbukti Presiden mampu mengatasi dan menyelesaikan.
Beberapa yang bisa disebut, antara lain;
(a) pengusiran minoritas keagamaan dari kampung halaman mereka, terutama
jemaat Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, dan warga Syiah Sampang di
Sidoarjo, Jawa Timur, (b) pembangunan dua gereja di Kota Bogor dan Kabupaten
Bekasi, yaitu GKI Yasmin dan HKBP Philadelphia yang secara hukum memenangi
perkara pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, tetapi hingga saat ini tidak
kunjung dapat menikmati hak dasar mereka untuk membangun rumah ibadah, dan
(c) kriminalisasi keyakinan sehingga beberapa narapidana hati nurani
(prisoners of conscience) masih mendekam di penjara.
Selain itu, Presiden juga harus segera
memimpin reformasi regulasi yang bertentangan dengan ketentuan konstitusi,
sepanjang berada dalam jangkauan otoritasnya sebagai kepala negara dan
pemerintahan. Beberapa agenda yang harus dapat perhatian serius, antara lain,
sebagai berikut.
Pertama, penghapusan pasal- pasal penodaan
agama, melalui perubahan UU Nomor 1/PNPS/ 1965 dan Pasal 156a KUHP, yang
belakangan ini sering digunakan kelompok vigilante untuk melakukan persekusi
terhadap kelompok kritis dan progresif dengan dalih penodaan agama.
Kedua, peninjauan ulang, revisi, dan
penghapusan regulasi ministerial.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No 9 dan No 8 Tahun 2006
(PBM Pendirian Rumah Ibadah) dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Mendagri No 3 Tahun 2008, No KEP-033/ A/JA/6/2008, No 199 Tahun
2008 (SKB Ahmadiyah) adalah dua regulasi ministerial yang mendesak menjadi
obyek reformasi karena sering memicu diskriminasi dan intoleransi terhadap
warga negara dari latar belakang keagamaan berbeda.
Ketiga, evaluasi dan harmonisasi peraturan
daerah yang bersifat diskriminatif terhadap minoritas, termasuk kepada
perempuan. Pada 2016, pemerintah melalui Kemendagri telah melakukan
harmonisasi besar-besaran dengan membatalkan 3.143 perda yang menghambat
investasi. Langkah pembatalan tersebut mestinya lebih mendesak untuk
dilakukan pada perda yang merusak persatuan dan kesatuan melalui diskriminasi
terhadap kelompok-kelompok perempuan dan minoritas di daerah.
Sinyal
kepemimpinan
Untuk melakukan dua agenda tersebut,
sebenarnya pemerintah sudah menunjukkan sinyal kuat yang merepresentasikan
itikad politik (political will)untuk mewujudkan cita-cita ”satu untuk semua”,
sebagaimana diikrarkan para pendiri negara. Namun, pemerintah kemudian
seperti mundur beberapa langkah begitu menghadapi kontra wacana, terutama
dari kalangan mayoritas keagamaan mapan serta kelompok-kelompok intoleran
yang dari sisi kuantitas sebenarnya juga tidak banyak.
Pertama, Nawacita yang sayangnya hingga
kini belum terlihat memandu pembangunan inklusi sosial, apalagi politik,
terhadap minoritas keagamaan. Kedua, wacana penghapusan kolom agama, yang
menguap begitu saja. Ketiga, pemenuhan hak atas pengajaran agama dalam
institusi pendidikan formal untuk penghayat kepercayaan yang sudah dituangkan
dalam bentuk Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No 27 Tahun 2016, yang hingga kini bermasalah dalam
implementasinya terkait dengan ketersediaan sumber daya.
Keempat, dukungan pemerintah atas
pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama di KTP pada sidang uji
materi UU Administrasi Kependudukan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi
akhirnya dikabulkan, tetapi hingga kini tak tampak progres dalam
implementasinya.
Terakhir, kita harus mengapresiasi
pendirian lembaga pembinaan ideologi Pancasila dalam bentuk Unit Kerja
Presiden, yang kini ditingkatkan statusnya menjadi badan setingkat
kementerian. Pembentukan lembaga tersebut dapat dibaca sebagai jawaban
pemerintah atas kekhawatiran semakin menguatnya politik identitas yang
disertai pembesaran resistensi atas liyan, penggunaan sentimen primordial
atau isu SARA, khususnya agama dan suku/etnik, di ruang-ruang publik-politik.
Sinyal-sinyal kepemimpinan tersebut, sangat
disayangkan, jika dibiarkan meredup dan hilang begitu saja hanya karena
Presiden disibukkan dengan politik kekuasaan di tahun-tahun politik elektoral
ini. Semoga tidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar