Keserasian
Islam dengan Demokrasi (II-Habis)
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
30 Januari
2018
Kritik pahit dan tajam tentang gejala despotisme
Muslim diberikan oleh Muhammad Iqbal (w. 1938): “Tatapan mata raja-raja
Muslim semata-mata berpusat pada kepentingan-kepentingan dinasti mereka.
Selama kepentingan itu terlindungi, mereka tidak ragu-ragu menjual negerinya
kepada penawar yang tertinggi.
Untuk menyiapkan massa Muslim untuk sebuah
perlawanan terhadap situasi yang demikian itu di dunia Islam merupakan misi
khusus Syed Jamal-ud-Din Afghani.” (Lihat Muhammad Iqbal dalam Syed Abdul
Vahid (ed), Thoughts and Reflections of Iqbal. Kashmiri-Bazar-Lahore: Sh
Muhammad Ashraf, 1973, hlm 279).
Iqbal memang menjadi salah seorang pemberi
penghargaan tinggi kepada karier hidup al-Afghani. Kutipan berikut adalah
saksi untuk itu: “Jika energinya yang tanpa lelah tetapi terpecah itu telah
dapat dibaktikan seluruhnya untuk Islam sebagai sebuah sistem iman dan
perilaku manusia, maka dunia Islam, secara intelektual, akan berada di atas
satu landasan yang lebih kukuh sekarang ini.” (Lihat Muhammad Iqbal, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam. Kashmiri-Bazar-Lahore: Sh
Muhammad Ashraf, 1971, hlm 97).
Dengan latar belakang singkat ini, saya
harus mengatakan dengan yakin bahwa pemahaman Muslim Indonesia terhadap
diktum Alquran tentang konsep syûrâ (lihat Alquran surah III: 159 dan surah
XXXXII: 38) lebih dekat kepada gagasan demokrasi sebagaimana dipahami di era
modern. Dalam sistem ini dijamin dan dihormati keikutsertaan rakyat dengan
bebas dan aktif dalam proses pengambilan keputusan dalam urusan bangsa dan
negara, sesuatu yang haram dalam sistem despotisme.
Jauh sebelum hari kemerdekaan Indonesia
tahun 1945, para pendiri bangsa, sebagian besar Muslim, telah memilih
demokrasi sebagai sebuah sistem politik untuk hari depan Indonesia. Ada satu
contoh yang menarik untuk dikenang di sini: berdirinya Partai Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia) tahun 1945 di bawah pimpinan intelektual
Muslim adalah salah satu bukti komitmen umat kepada sistem demokrasi.
Partai ini dikenal sebagai pejuang
demokrasi dan konstitusi yang tangguh dan berani hingga pada akhirnya harus
menjadi martir (bubar/dilarang) karena perjuangannya itu di akhir 1960
berhadapan dengan sistem politik otoritarian di era itu.
Dalam ungkapan lain, adalah sebuah fakta
yang tidak terbantahkan bahwa mayoritas mutlak Muslim Indonesia percaya
kepada demokrasi sebagai yang serasi dengan gagasan politik Alquran,
sekalipun juga diakui bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang sempurna.
Tetapi, jika dibandingkan dengan sistem
politik lain yang berkembang dalam sejarah Muslim seperti kerajaan, khilafah,
keimaman, dan bentuk-bentuk yang lain, demokrasi jelas lebih unggul dalam
substansi dan dalam kualitas. Adapun demokrasi modern Barat telah pula
melahirkan seorang Adolf Hitler dari Jerman dan seorang Donald J Trump dari
Amerika Serikat adalah cerita lain yang saya segan berkomentar.
Sebagai kesimpulan, bagi saya sungguh
waktunya sudah sangat mendesak dan tinggi bagi Muslim untuk berpikir ulang
dan memberi penghargaan secara intelektual dan kritikal terhadap upaya
pengembangan konsep syûrâ sebagai sistem politik yang layak, efektif,
egalitarian, dan demokratik, demi menjawab tantangan zaman yang berubah
dengan kencang ini. Jika jalan ini tidak ditempuh secara berani dan cerdas,
saya khawatir dunia Muslim akan tetap berkubang dalam iklim kegagalan dan
keterbelakangan dalam mengurus bangsa dan negara di abad ke-21 ini.
Demokrasi yang terkubur dalam kafan ‘Ali
bin Abi Thalib harus dibongkar kembali, karena kejadian itu adalah sebuah
malapetaka sejarah yang dilakukan oleh elite Arab Muslim masa awal dengan
membuang konsep syûrâ dalam Alquran sebagai pedoman dan prosedur bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, di dalamnya pesan
egalitarianisme mendapatkan tempat yang amat terhormat.
Tak seorang pun tahu untuk berapa lama lagi
umat Islam dapat bertahan di lingkungan politik busuk, despotik, dan primitif
sebagaimana telah disebutkan di atas. Sebenarnya apa yang terjadi dalam Musim
Semi Arab yang mati suri itu tidak lain dari perlawanan rakyat terhadap
despotisme yang menindas dan antikeadilan yang tidak jarang dilakukan atas
nama agama. Alangkah kejinya, alangkah dustanya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar