Obituari:
Daoed Joesoef Bernalar hingga Akhir Hayat
St Sularto ; Wartawan Kompas
1977-2017
|
KOMPAS,
25 Januari
2018
Prof Dr Daoed Joesoef, 91 tahun (8 Agustus
1926-23 Januari 2018), pekerja keras, intelektual sejati, jujur, cendekiawan,
dan puritan. Pun seorang pelukis.
Menurut Bambang Pharmasetiawan, menantunya,
perlu usaha keras untuk membujuknya agar mau dibawa ke rumah sakit. Daoed
Joesoef masih memikirkan pekerjaan yang harus diselesaikan, dan bersemangat
ketika diajak bicara tentang pekerjaan.
Di hari Minggu (21/1) dan Senin pagi,
sehari setelah masuk ICCU, ia ”mengabsen” sejumlah nama, yang dirasanya
”dekat”, belum datang. Sri Sulastri, istrinya yang selalu dia banggakan;
Damayanti, anak semata wayang; dan suaminya, Bambang; serta cucu-cucunya
tidak diabsen. ”Kami dianggap sudah seharusnya ada di sini,” kata Bambang di
RS Medistra, Senin siang.
Harry Tjan Silalahi dari CSIS, Selasa pagi,
mengabarkan keluarga dan CSIS—lembaga think tank yang didirikan Daoed Joesoef
bersama sejumlah tokoh lain, sampai sekarang Daoed Joesoef masih sebagai
pembina—sudah pasrah. Bambang Setiawan mengiyakan, sambil menambahkan, dokter
masih terus berjuang. Akhirnya, lima menit menjelang berakhirnya hari Selasa,
pukul 23.55, intelektual pencari makna bernalar itu dipanggil Tuhan.
Buku terakhirnya, Rekam JejakAnak Tiga
Zaman, ditulisnya selama dua tahun, terbit Oktober 2017. Pada perayaan usia
ke-90, tahun 2016, ia mengatakan zaman pertama—penjajahan Belanda—sudah
selesai. Memastikan bahwa zaman kedua dan ketiga (penjajahan Jepang dan
Kemerdekaan serta tiga subzaman (Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi),
selesai sebelum dirinya genap berusia 92 tahun.
Benar. Tanggal 26 Oktober 2017, buku
itu—boleh dikatakan masterpiece dari puluhan buku dan ratusan
artikelnya—diluncurkan di Gedung Pakerti, Tanah Abang, Jakarta.
Buku Rekam Jejak mengisahkan jejak langkah,
pemerian dan penegasan dua buku serupa yang ditulis sebelumnya: novel Emak
yang terbit pertama tahun 2005 (diindonesiakan dengan judul Mama, terbit
tahun 2015) dan Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran, terbit tahun 2006.
Emak merupakan persembahan dan pujian
tentang emaknya, Djas’iah Joesoef, perempuan sejati yang menuntunnya dari
Kampung Darat sampai Sorbonne. Dia dan Aku, memoar pencarian makna dengan
sejumlah tokoh, sebuah perdebatan akademis, bernalar, berlandaskan realitas
di Indonesia, kunci kemajuan bangsa.
Dalam satu perjumpaan kami setelah
peluncuran Rekam Jejak di rumahnya—satu dari puluhan perjumpaan di rumah
sebelumnya—Daoed Joesoef mengatakan, ”Saya merasa sudah mewariskan ajakan
kita bisa bernalar jernih.” Bernalar waras? ”Bukan,” tukasnya cepat.
Bergulirlah penjelasan dan pemerian mendalam tentang nalar dan naluri,
tentang kondisi kebangsaan kita yang mengabaikan pencarian makna kehidupan
berikut dengan rujukan-rujukan ilmiahnya, tentang tiga konsep pembangunan
yang sudah disusunnya saat kuliah kandidat doktor di Universitas Sorbonne.
Pertama, pembangunan pendidikan yang
dirasanya tidak jelas arahnya. Kedua, pembangunan ekonomi dan bukan
pembangunan nasional. Ketiga, pembangunan pertahanan nasional yang seharusnya
berbasis kelautan.
Tidak
dengan ”kepala kosong”
Oleh karena itu, ketika Daoed Joesoef
ditunjuk sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan tahun 1978—menjabatnya
hingga 1983—dia masuk jajaran anggota yang masuk kabinet tidak dengan ”kepala
kosong”. Dia bawa konsep. Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional yang
dibentuknya merupakan langkah pertama perbaikan praksis pendidikan. Disusul
dengan sejumlah kebijakan untuk pendidikan dasar dan menengah, termasuk
pendidikan kejuruan di tingkat menengah dan tinggi.
Dengan contoh kesederhanaan, kejujuran, dan
kebiasaan hidup yang sehat, Daoed Joesoef membawa suasana baru di kantornya,
tidak hanya di kantor pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Kehadirannya
seolah-olah menyentak. Konsep, pikiran, dan gagasannya menyadarkan orang
tentang keharusan bernalar. Pikiran dan gagasan Daoed Joesoef merangsang
orang untuk membuka mata pada ruang-ruang perbendaharaan intelektual yang
memungkinkan menjadi lebih kaya secara spiritual.
Kekaguman pada filsafat rasionalisme
Perancis, Rene Descartes (1596-1650)—negara yang dia banggakan—membawa Daoed
Joesoef sebagai menteri yang menekankan kekuatan penalaran individual dalam
akal budi anak didik. Harry Tjan Silalahi, rekan dan merasa sebagai pelunak
”kekerasan hati” Daoed Joesoef, menggambarkan Daoed Joesoef sebagai sosok
yang mencita-citakan anak didik sebagai individu yang kelak mampu berpikir
mandiri, sumber kreativitas untuk dasar kemajuan bangsa.
Membangun
komunitas ilmiah
Pencarian nalar dan naluri atau wisdom,
membedakannya dengan rasio Barat yang sepenuhnya kemampuan otak (reason),
ditunjukkan dengan kekagumannya pada patung Le Penseur (Pemikir) karya Rodin,
simbol orang dewasa yang berpikir. The power of reason, kekuatan nalar,
itulah yang dia cita-citakan terutama kepada mahasiswa calon pemikir.
Dengan penekanan pentingnya komunitas
ilmiah yang menentukan kemajuan kehidupan manusiawi seperti tecermin dalam
dunia pendidikan tinggi, Daoed Joesoef mengharapkan kampus dikembangkan
sebagai komunitas ilmiah, berbeda dengan komunitas-komunitas lain.
Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus
(NKK), konsep yang mendapatkan reaksi keras dari kalangan mahasiswa, dia
dasarkan atas konsep kampus sebagai masyarakat ilmiah dan gelanggang politik
sebagai komunitas politik. Mahasiswa yang ingin berpolitik, berpolitiklah
dalam konsep sebelum akhirnya terjun ke gelanggang komunitas politik atau
manusia panggung.
Konsep NKK memang menghentikan
demonstrasi-demonstrasi mahasiswa saat itu, seiring kemudian dengan represi
kekuasaan Orde Baru.
Walaupun konsepnya mampu ikut meredam
demonstrasi anti-Soeharto, Daoed Joesoef yang meninggalkan sejumlah kebijakan
menerobos lain di bidang pendidikan dan kebudayaan, masa jabatannya
dihentikan, tahun 1983. Padahal, di era penugasannya, sejumlah terobosan
dilakukan. Hal itu, di antaranya, pertama kali anggaran Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan menduduki angka nominal tertinggi, profesi guru dan
kependidikan memperoleh perhatian
besar, dan kebijakan pendidikan mendapatkan arah yang jelas.
Sesudahnya Daoed Joesoef kembali aktif ke
CSIS, mengutip Harry Tjan Silalahi, lembaga kegiatan nonprofit dengan Dr
Daoed Joesoef sebagai ”figur intelektual”-nya. Senyampang itu, dia terus
bertekun dengan membaca dan menulis artikel, sampai terganggu kesehatannya
sejak awal Desember 2017.
Tidak pernah lelah membaca dan menulis,
hidup sehat, tidak merokok, terus berpikir, representasi pencarian atas
kekuatan nalar manusia. Dikitari ratusan, mungkin ribuan, buku di rumahnya
yang hampir separuhnya jadi perpustakaan, ditingkahi ratusan murid SD
Kupu-kupu dan SMP-SMA Garuda Cendekia— sekolah yang diampu oleh suami-istri
anak menantunya, akhir Oktober yang lalu kami berjumpa.
Daoed Joesoef berujar, ”Kegiatan di usia
senja ini kujalani dengan menulis.” Erivec’estvivre, ungkapan bahasa yang
selalu dia banggakan, menulis itu kehidupan. Menulis adalah bagian integral
pencarian makna dan terus mengajak orang untuk bernalar.
Pak Dr
Daoed Joesoef, selamat jalan. Terima kasih atas persahabatan kita
selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar