Kamis, 25 Januari 2018

Obituari: Daoed Joesoef Bernalar hingga Akhir Hayat

Obituari: Daoed Joesoef Bernalar hingga Akhir Hayat
St Sularto  ;  Wartawan Kompas 1977-2017
                                                      KOMPAS, 25 Januari 2018



                                                           
Prof Dr Daoed Joesoef, 91 tahun (8 Agustus 1926-23 Januari 2018), pekerja keras, intelektual sejati, jujur, cendekiawan, dan puritan. Pun seorang pelukis.

Menurut Bambang Pharmasetiawan, menantunya, perlu usaha keras untuk membujuknya agar mau dibawa ke rumah sakit. Daoed Joesoef masih memikirkan pekerjaan yang harus diselesaikan, dan bersemangat ketika diajak bicara tentang pekerjaan.

Di hari Minggu (21/1) dan Senin pagi, sehari setelah masuk ICCU, ia ”mengabsen” sejumlah nama, yang dirasanya ”dekat”, belum datang. Sri Sulastri, istrinya yang selalu dia banggakan; Damayanti, anak semata wayang; dan suaminya, Bambang; serta cucu-cucunya tidak diabsen. ”Kami dianggap sudah seharusnya ada di sini,” kata Bambang di RS Medistra, Senin siang.

Harry Tjan Silalahi dari CSIS, Selasa pagi, mengabarkan keluarga dan CSIS—lembaga think tank yang didirikan Daoed Joesoef bersama sejumlah tokoh lain, sampai sekarang Daoed Joesoef masih sebagai pembina—sudah pasrah. Bambang Setiawan mengiyakan, sambil menambahkan, dokter masih terus berjuang. Akhirnya, lima menit menjelang berakhirnya hari Selasa, pukul 23.55, intelektual pencari makna bernalar itu dipanggil Tuhan.

Buku terakhirnya, Rekam JejakAnak Tiga Zaman, ditulisnya selama dua tahun, terbit Oktober 2017. Pada perayaan usia ke-90, tahun 2016, ia mengatakan zaman pertama—penjajahan Belanda—sudah selesai. Memastikan bahwa zaman kedua dan ketiga (penjajahan Jepang dan Kemerdekaan serta tiga subzaman (Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi), selesai sebelum dirinya genap berusia 92 tahun.

Benar. Tanggal 26 Oktober 2017, buku itu—boleh dikatakan masterpiece dari puluhan buku dan ratusan artikelnya—diluncurkan di Gedung Pakerti, Tanah Abang, Jakarta.

Buku Rekam Jejak mengisahkan jejak langkah, pemerian dan penegasan dua buku serupa yang ditulis sebelumnya: novel Emak yang terbit pertama tahun 2005 (diindonesiakan dengan judul Mama, terbit tahun 2015) dan Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran, terbit tahun 2006.

Emak merupakan persembahan dan pujian tentang emaknya, Djas’iah Joesoef, perempuan sejati yang menuntunnya dari Kampung Darat sampai Sorbonne. Dia dan Aku, memoar pencarian makna dengan sejumlah tokoh, sebuah perdebatan akademis, bernalar, berlandaskan realitas di Indonesia, kunci kemajuan bangsa.

Dalam satu perjumpaan kami setelah peluncuran Rekam Jejak di rumahnya—satu dari puluhan perjumpaan di rumah sebelumnya—Daoed Joesoef mengatakan, ”Saya merasa sudah mewariskan ajakan kita bisa bernalar jernih.” Bernalar waras? ”Bukan,” tukasnya cepat. Bergulirlah penjelasan dan pemerian mendalam tentang nalar dan naluri, tentang kondisi kebangsaan kita yang mengabaikan pencarian makna kehidupan berikut dengan rujukan-rujukan ilmiahnya, tentang tiga konsep pembangunan yang sudah disusunnya saat kuliah kandidat doktor di Universitas Sorbonne.

Pertama, pembangunan pendidikan yang dirasanya tidak jelas arahnya. Kedua, pembangunan ekonomi dan bukan pembangunan nasional. Ketiga, pembangunan pertahanan nasional yang seharusnya berbasis kelautan.

Tidak dengan ”kepala kosong”

Oleh karena itu, ketika Daoed Joesoef ditunjuk sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan tahun 1978—menjabatnya hingga 1983—dia masuk jajaran anggota yang masuk kabinet tidak dengan ”kepala kosong”. Dia bawa konsep. Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional yang dibentuknya merupakan langkah pertama perbaikan praksis pendidikan. Disusul dengan sejumlah kebijakan untuk pendidikan dasar dan menengah, termasuk pendidikan kejuruan di tingkat menengah dan tinggi.

Dengan contoh kesederhanaan, kejujuran, dan kebiasaan hidup yang sehat, Daoed Joesoef membawa suasana baru di kantornya, tidak hanya di kantor pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Kehadirannya seolah-olah menyentak. Konsep, pikiran, dan gagasannya menyadarkan orang tentang keharusan bernalar. Pikiran dan gagasan Daoed Joesoef merangsang orang untuk membuka mata pada ruang-ruang perbendaharaan intelektual yang memungkinkan menjadi lebih kaya secara spiritual.

Kekaguman pada filsafat rasionalisme Perancis, Rene Descartes (1596-1650)—negara yang dia banggakan—membawa Daoed Joesoef sebagai menteri yang menekankan kekuatan penalaran individual dalam akal budi anak didik. Harry Tjan Silalahi, rekan dan merasa sebagai pelunak ”kekerasan hati” Daoed Joesoef, menggambarkan Daoed Joesoef sebagai sosok yang mencita-citakan anak didik sebagai individu yang kelak mampu berpikir mandiri, sumber kreativitas untuk dasar kemajuan bangsa.

Membangun komunitas ilmiah

Pencarian nalar dan naluri atau wisdom, membedakannya dengan rasio Barat yang sepenuhnya kemampuan otak (reason), ditunjukkan dengan kekagumannya pada patung Le Penseur (Pemikir) karya Rodin, simbol orang dewasa yang berpikir. The power of reason, kekuatan nalar, itulah yang dia cita-citakan terutama kepada mahasiswa calon pemikir.

Dengan penekanan pentingnya komunitas ilmiah yang menentukan kemajuan kehidupan manusiawi seperti tecermin dalam dunia pendidikan tinggi, Daoed Joesoef mengharapkan kampus dikembangkan sebagai komunitas ilmiah, berbeda dengan komunitas-komunitas lain.

Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), konsep yang mendapatkan reaksi keras dari kalangan mahasiswa, dia dasarkan atas konsep kampus sebagai masyarakat ilmiah dan gelanggang politik sebagai komunitas politik. Mahasiswa yang ingin berpolitik, berpolitiklah dalam konsep sebelum akhirnya terjun ke gelanggang komunitas politik atau manusia panggung.

Konsep NKK memang menghentikan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa saat itu, seiring kemudian dengan represi kekuasaan Orde Baru.

Walaupun konsepnya mampu ikut meredam demonstrasi anti-Soeharto, Daoed Joesoef yang meninggalkan sejumlah kebijakan menerobos lain di bidang pendidikan dan kebudayaan, masa jabatannya dihentikan, tahun 1983. Padahal, di era penugasannya, sejumlah terobosan dilakukan. Hal itu, di antaranya, pertama kali anggaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menduduki angka nominal tertinggi, profesi guru dan kependidikan memperoleh perhatian  besar, dan kebijakan pendidikan mendapatkan arah yang jelas.

Sesudahnya Daoed Joesoef kembali aktif ke CSIS, mengutip Harry Tjan Silalahi, lembaga kegiatan nonprofit dengan Dr Daoed Joesoef sebagai ”figur intelektual”-nya. Senyampang itu, dia terus bertekun dengan membaca dan menulis artikel, sampai terganggu kesehatannya sejak awal Desember 2017.

Tidak pernah lelah membaca dan menulis, hidup sehat, tidak merokok, terus berpikir, representasi pencarian atas kekuatan nalar manusia. Dikitari ratusan, mungkin ribuan, buku di rumahnya yang hampir separuhnya jadi perpustakaan, ditingkahi ratusan murid SD Kupu-kupu dan SMP-SMA Garuda Cendekia— sekolah yang diampu oleh suami-istri anak menantunya, akhir Oktober yang lalu kami berjumpa.

Daoed Joesoef berujar, ”Kegiatan di usia senja ini kujalani dengan menulis.” Erivec’estvivre, ungkapan bahasa yang selalu dia banggakan, menulis itu kehidupan. Menulis adalah bagian integral pencarian makna dan terus mengajak orang untuk bernalar.

Pak Dr  Daoed Joesoef, selamat jalan. Terima kasih atas persahabatan kita selama ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar