Tiji
Tibeh vs Kawanan Imunitas Campak
Djoko Santoso ; Guru Besar Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 23 Januari 2018
PERINGATAN Pangeran Sambernyawa (Mangkunegara
I) yang dikenal dengan tiji tibeh, mati siji mati kabeh (satu mati, mati
semua), agaknya relevan jadi solusi wabah campak (plus gizi buruk) komunitas
terpencil di Papua. Bahwa, satu anak menderita campak, semua anak bisa
terkena campak. Apalagi ini terkait tiga problem besar, yaitu ketertinggalan,
kemiskinan, dan keterbelakangan budaya. Lantas, apa keterkaitannya?
Wabah di Asmat dan Pegunungan Bintang,
Papua, seperti diberitakan Jawa Pos, Senin (21/1), menyiratkan problem khusus
di pedalaman. Lokasi saudara kita ini jauh dari akses layanan kesehatan,
karakter hidup berpindah-pindah, tidak menetap dalam satu kampung. Tak heran
anak-anak sangat rentan penyakit menular. Penyakit yang bisa diatasi seperti
campak pun jadi vulgar dalam daya tular.
Anak terinfeksi campak idealnya tidak akan
menularkan pada lainnya. Namun, hal itu tidak demikian pada campak. Seperti
’’ikrar’,’ satu terinfeksi campak, semua bisa terinfeksi. Maka, mereka
menderita ramai-ramai. Sifat menularnya dimulai ketika ada anak terinfeksi
yang batuk atau bersin. Dia tentu menyemprotkan virus ke udara. Daya tular
memuncak pada empat hari sebelum dan empat hari setelah munculnya ruam.
Dalam komunitas, seperti Asmat, yang diduga
tidak memiliki kekebalan dari virus campak, berlaku hukum epidemiologi
(perwabahan). Yakni, satu anak yang terinfeksi akan berpeluang menginfeksi
12–18 anak, yang kemudian masing-masing dapat menginfeksi 12–18 anak lainnya
lagi. Jika sudah demikian, seketika wabah tumbuh meroket di luar kendali.
Terbukti hingga Jumat (19/1), sudah 68 anak
yang tercatat meninggal dunia. Sementara yang dirawat makin bertambah
jumlahnya hingga sampai ditempatkan di gereja. Terlebih lagi, sebelumnya juga
dilaporkan 18 anak yang terkena kasus gizi buruk dirawat di RSUD Agats dan
bertambah 15 anak. Kabar terakhir (22/1) di Kampung Pedam, Distrik Okbibab,
Pegunungan Bintang, juga ditemukan 25 anak meninggal akibat campak, plus
diare dan gizi buruk.
Selanjutnya, hukum epidemiologi semestinya
dijadikan dasar indikator untuk mengakhiri wabah. Targetnya menjadikan setiap
anak yang terinfeksi hanya mampu menginfeksi kurang dari satu anak lainnya,
tidak boleh lebih. Dalam contoh ini, setidaknya 17 dari setiap 18 anak (lebih
dari 94 persen) harus sudah divaksinasi dengan benar agar kebal campak. Ambang
batas inilah yang disebut ’’ambang batas imunitas kawanan yang menjadi kunci
solusi’.’
Memang ada kesulitan khusus di Asmat dan
kawasan terpencil lain. Pertama, komunitas terpencil mempunyai beban
kesulitan berlipat-lipat yang jika disederhanakan ada pada masalah
keterbelakangan budaya, kemiskinan, ketertinggalan saranaprasarana yang perlu
menjadi perhatian semua pihak.
Kedua, segala peristiwa di Papua sangat
mudah menjadi sorotan negara asing lengkap dengan bermacam hidden agenda-nya.
Ketiga, bila betul berikut ini semakin
menggegerkan. Yaitu ditemukan banyak anak-anak terserang campak dengan gizi
buruk pada tingkat yang mengkhawatirkan. Terpampanglah foto-foto kejadian
anak meninggal dengan menampakkan tulang belakang dan tulang rusuk yang lebih
menonjol, mirip wabah kelaparan tipikal Afrika. Gambaran kesedihan keluarga
akan kekurangan pangan yang tidak mampu menjangkau harga pangan. Belum lagi
sulit mendapatkan susu formula di rumah sakit atau kekurangan persediaan
medis paling dasar seperti obatobatan, sabun, semprotan, kasa, popok bayi,
dan sarung tangan.
Keempat, bila memang anak Asmat atau
komunitas terpencil lain jarang yang divaksinasi campak, risiko besar bagi
komunitas itu. Ringkasnya, hukum epidemiologi mengatakan bahwa setiap anak
yang divaksinasi akan dapat mengurangi potensi sumber infeksi yang sekaligus
mengurangi risiko pada anak yang tidak divaksinasi. Yakni memenuhi standar 94
persen tervaksinasi.
Untuk semua itu, menjadi penting dalam
menjaga kekebalan tubuh suatu komunitas (tak hanya individu) dari waktu ke
waktu. Pemerintah secara terpadu harus segera melakukan program vaksinasi
secara intens dengan menata ulang kelompok khusus ini. Yakni untuk penduduk
yang dikenal berpindah-pindah (tak hanya Asmat) dan kelompok yang secara
sosiodemografi yang masuk dalam kategori ketertinggalan, miskin,
keterbelakangan budaya.
Langkah penyelamatan berikutnya mengatasi
krisis dengan menerapkan pendekatan khusus dan dalam jangka pendek melalui
pengiriman makanan, susu formula, obat-obatan. Pada jangka panjang membuat
sistem logistik makanan untuk menjamin tidak terulangnya krisis. Selain itu,
secara lebih teknis, menulis sejujurnya kasus kekurangan gizi pada catatan
medis anak-anak dan segera diidentifikasi bila ada diagnosis klinis
malnutrisi dan meningkatkan kompetensi petugas agar profesional dalam
mengelola kasus gizi buruk anak, kasus anak-anak kelaparan. Kementerian
Kesehatan bersama kementerian lainnya bahu-membahu
meminta laporan secara
periodik terkait status gizi buruk. Karena ini merupakan sistem alarm awal
dari krisis pangan sebagai ’’keadaan darurat kemanusiaan’.’
Semoga komunitas Asmat dan kelompok
terasing lainnya bisa terjangkau melalui program penguatan kawanan imunitas.
Selain campak, anak-anak bangsa itu juga wajib diberi vaksin-vaksin dasar
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar