Lawatan
Menhan AS
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan
Internasional
|
KORAN
SINDO, 24 Januari 2018
“Be
polite, be professional, but have a plan to kill everybody you meet.” -James Mattis
JAMES Mattis mengucapkan kalimat tersebut
pada saat kunjungannya sebagai Komandan Marinir Divisi Pertama di Irak pada
tahun 2003.Terjemahannya adalah: "bersikaplah santun, profesional,
tetapi punya rencana untuk membunuh siapapun yang kau temui”.
Setahun lalu ketika Presiden Amerika
Serikat (AS) Donald Trump memilihnya sebagai Menteri Pertahanan banyak orang
terkejut karena ia terkenal dengan sebutan Jenderal Cowboy yang dikenal tidak
segan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertempuran. Namun wajah
Mattis tersebut berubah ketika ia menjadi Menteri Pertahanan.
Saat awal-awal masa kepemimpinannya, ia
pernah tercatat menunjukkan ketidaksepakatan dengan Presiden Trump mengenai
beberapa hal seperti posisi AS di NATO dan hubungan mereka dengan para
aliansi di Timur Tengah.
Lambat laun, mungkin karena ia semakin
mendalami peranannya di Pentagon, Menteri Pertahanan ini mengurangi
komentarnya di media massa bahkan ia seringkali menolak untuk diwawancarai.
Ia lebih memilih untuk menyembunyikan pendapatnya apabila ada hal yang
dirasanya tidak cocok terkait dengan kebijakan pimpinannya.
Garis pandangan Mattis sejauh dibaca lewat
media massa dan hubungannya yang dekat dengan Menteri Luar Negeri adalah
untuk bekerja sama dan merawat mitra aliansi mereka di luar AS termasuk
Indonesia di Asia. Mattis adalah salah seorang yang menolak politik
isolasionis yang ditabuh oleh Trump dan mendorong kerja sama yang lebih erat
dengan negara-negara lain.
Sebagai latar belakang karier militer
selama 41 tahun, Mattis memahami bahwa tugas militer adalah untuk mendukung
diplomasi dan kontak antarnegara yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri.
Oleh sebab itu James Mattis amat sering
berkordinasi dengan Tillerson sebagai Menteri Luar Negeri AS untuk sekedar
saling menginformasikan perkembangan masing-masing. Mattis bahkan meminta
perwakilan dari Kementerian Luar Negeri untuk mendampingi ia agar
kebijakannya tetap sejalan dengan kebijakan Kementerian Luar Negeri. Dalam
istilahnya sendiri ia mengatakan bahwa diplomasi tanpa didukung oleh militer
yang siap perang tidak akan memiliki kekuatan.
Dalam konteks tersebut ia tetap harus
menempatkan diri dalam kebijakan Donald Trump yang cenderung isolasionis.
Donald Trump memperlakukan hubungan militer dengan aliansi mereka seperti
layaknya bisnis keamanan. Oleh sebab itu kita perlu bertanya-tanya apakah
maksud dan tujuan kedatangan James Mattis ke Indonesia.
Informasi secara resmi yang disampaikan ke
masyarakat oleh Kementerian Luar Negeri RI disebutkan bahwa kunjungan ini akan
membicarakan tiga hal: kerja sama peralatan militer (alutsista), kerja sama
Indo-Pasifik dan kerja sama pemberantasan terorisme.
Indonesia dalam alutsista memang masih
tergantung impor dari luar negeri sebesar 70% sementara sisanya dipenuhi oleh
industri pertahanan dalam negeri. Pasar perlengkapan militer di dunia memang
masih didominasi oleh AS sebesar 33% dan posisi kedua ditempati oleh Rusia
sebesar 23%. Ekspor senjata AS meningkat sebesar 21% pada tahun 2016 dan
Timur Tengah adalah wilayah yang menyerap 47% produk militer dari AS walaupun
secara total Asia adalah penyerap terbesar produksi senjata dunia.
Rusia tetap menjadi kompetitor utama AS di
mana Indonesia juga mulai meningkatkan perdagangannya dengan pembayaran yang
lebih fleksibel dibandingkan AS (misalnya, dibayar dengan produk kelapa
sawit, teh dan kopi). Hal ini mungkin bisa menjadi cara berbisnis dengan AS
terutama untuk produk-produk Indonesia yang sulit masuk ke pasar AS.
Di luar bisnis senjata, kebijakan luar
negeri AS terutama terkait dengan pertahanan sedikit berubah dalam tahun ini.
Apabila dalam pemerintahan Obama sebelumnya upaya AS adalah untuk terlibat
secara selektif ke sebagian konflik (artinya tidak ke segala lini konflik),
baik di Timur Tengah atau belahan negara lain, maka dalam pemerintahan Trump
kebijakan luar negeri secara khusus diarahkan untuk menangkal ancaman yang
berasal dari Rusia dan China.
AS
juga mengirim sinyal ke Timur Tengah bahwa kemungkinan mereka juga tidak akan
terlibat jauh dalam konflik di sana dengan mengatakan bahwa terorisme bukan
lagi ancaman utama AS. Trump juga tidak tertarik dengan masalah-masalah yang
terjadi di Eropa seperti misalnya di Krimea atau Ukrania. Baginya,
negara-negara Eropa kurang memberikan dukungan lebih, khususnya finansial kepada
AS, sehingga ia merasa tidak perlu capek-capek mengurusi Eropa.
Kebijakan yang mungkin masih konsisten
adalah hubungan dengan negara-negara Asia. Ia tetap melihat Asia sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi yang sedang menggeliat dan ia juga melihat Rusia dan
China telah mendekatkan diri mereka secara intensif ke beberapa negara
khususnya Asia Tenggara.
Salah satu penanda penting dari kebijakan
Trump di Asia adalah penggunaan istilah “Indo-Pacific” yang menggantikan
istilah “Asia-Pacific”. Analisis yang ada sejauh ini menduga perubahan
istilah ini untuk menekankan bahwa tidak lagi benar untuk memisahkan
Asia Selatan dan Asia Timur. Istilah
"Asia-Pasific" secara konvensional berfokus pada area mulai Korea
Utara ke ujung selatan China sementara "Indo-Pacific" mencakup
negara-negara dengan pantai di Samudra Hindia, Asia Tenggara, dan Australia,
Indonesia, dan Selandia Baru. Inti di wilayah itu adalah Samudera India dan
Samudera Pasifik."
Menyikapi gerak-gerik AS, Indonesia harus
mengedepankan politik luar negeri yang percaya diri. AS memang “memformat
ulang” hubungan luar negerinya dengan kawasan Asia, khususnya dalam konteks
arah isolasionis AS yang diinginkan oleh Presiden Trump di saat suasana
politik di segala belahan dunia merasakan ketidakpastian akan wujud
arsitektur hubungan internasional yang stabil.
Pesan-pesan yang disampaikan Menhan Mattis
menunjukkan bahwa AS-lah yang sedang memastikan AS mendapatkan tempat nyaman
dalam konstelasi hubungan internasional yang berkembang di Asia. Nyaman dalam
arti bahwa kepentingan AS tidak terganggu, AS tidak dianggap absen juga dari
kawasan, dan AS menjaga kemitraannya di wilayah ini.
Sejauh ini tidak ada hal serius yang perlu
dikhawatirkan dari lawatan seorang Menhan ke Indonesia; bahkan secara umum
hal ini perlu ditanggapi dengan sikap asertif bahwa Indonesia menginginkan AS
yang berkomitmen tinggi untuk tidak menggunakan cara-cara militeristik dalam
mencapai kepentingannya di kawasan.
Logika militer seorang Mattis perlu
diperkaya dengan pemahaman bahwa modernisasi alutsista di kawasan tidak serta
merta perlu dikhawatirkan sebagai awal suatu konfrontasi senjata, sehingga
kecurigaan yang saat ini membuncah dalam laporan-laporan AS tentang arah
militerisasi negara-negara di Asia dapat ditempatkan sesuai porsinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar