Tentang
Louie dan Resiliensi
Victor Yasadhana ; Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma
|
MEDIA INDONESIA, 29 Januari 2018
LOUIS Silvie 'Louie' Zamperini (26 Januari
1917-2 Juli 2014) ialah representasi keteguhan dan daya juang yang
mengagumkan. Tumbuh sebagai anak kecil yang bermasalah, Louie merokok dan
mabuk di saat usianya belum delapan tahun, mencuri dan akrab dengan berbagai
aksi kekerasan di sepanjang masa kecilnya.
Atletik kemudian mengubah jalan hidupnya
saat ia belajar di tingkat sekolah menengah atas. Kecintaannya berlari
membuatnya menjadi yang terbaik di sekolah--dan kemudian--di negara bagian. Berlari
jugalah yang kemudian membawanya ke Olimpiade 1936 di Berlin dan membuatnya
melekat dalam ingatan Hitler sebagai 'anak muda yang berlari dengan cepat di
putaran terakhir menjelang garis finis'.
Louie hanya berada di urutan kedelapan pada
hari itu. Namun, pertunjukan larinya di putaran terakhir (final lap), pada 7
Agustus 1936, menjadi salah satu yang tercepat dalam sejarah lari 5.000 meter
di Olimpiade.
Louie Zamperini ialah seorang pemenang. Namun,
kisah mengagumkan tentang Louie yang sesungguhnya bukan datang dari
pencapaiannya di lintasan atletik. Dunia lebih mengenal Louie Zamperini
sebagai seorang pahlawan perang dengan kisah keteguhan dan daya tahan hidup
yang menginspirasi dan melegenda.
Zamperini muda--seperti jamaknya anak muda
di Amerika di masa Perang Dunia II--memilih menjadi serdadu dan berperang
untuk negaranya di belahan dunia lain.
Pada 27 Mei 1943, dalam sebuah operasi
militer di lautan Pasifik, pesawat B-24 Green Hornet yang ia tumpangi jatuh
akibat masalah mesin di wilayah perairan, sekitar 1.300 kilometer selatan
Oahu, kepulauan ketiga terbesar di Hawai.
Louie bersama Russell Allen 'Phil' Phillips
dan Francis 'Mac' McNamara menjadi penyintas dari total 11 awak pesawat.
Bertiga, mereka terapung dan mempertahankan
hidup dengan memakan apa pun yang berhasil mereka dapatkan; sedikit sisa
makanan, kemudian ikan kecil atau burung yang hinggap di sekoci mereka.
Siksaan nasib tak berhenti di sini.
Setelah 33 hari terombang-ambing ombak
laut, McNamara meninggal.
Zamperini dan Phillips bertahan sampai hari
ke-47, hanya untuk ditangkap Angkatan Laut Jepang di Kepulauan Marshall.
Setelahnya, kisah Louie berkisar pada
deraan perlakuan buruk dan siksaan sebagai tawanan perang.
Louie berpindah dari kamp tawanan perang di
Kwajaelein Atoll, Ofuna, sampai Omori.
Hari-harinya penuh siksaan, pada saat yang
sama, hari-harinya penuh perjuangan dan demonstrasi kemampuan untuk selalu
bangkit dan bertahan.
Di penghujung Perang Dunia II, saat
kebebasan seperti terasa sangat dekat, Louie malah dipindahkan ke Kamp
Naoetsu--kompleks militer bagi tahanan perang--di Jepang Utara tempat ia
bertemu Mutsuhiro 'si Burung' Watanabe, salah satu penjahat perang paling
dicari dalam daftar Jenderal Douglas McArthur.
Di tangan Watanabe, siksaan yang konstan
dan ujian bagi keteguhan Louie untuk terus bertahan kembali berulang.
Kisah siksaan dan perjuangan Zamperini di
bawah Watanabe itulah yang kemudian ditulis dan difilmkan dalam Unbroken.
Saat Louie dibebaskan, ia berdamai dengan
semua kenangan buruknya dan memilih memaafkan musuh-musuhnya, termasuk
Mutsuhiro 'si Burung' Watanabe.
Kisah Louie Zamperini memberi contoh betapa
keteguhan, daya juang, dan kemudian kerelaan untuk memaafkan dalam menghadapi
cobaan hidup dan nasib buruk kembali membawanya sebagai pemenang.
Lingkungan
belajar
Mengapa Louie Zamperini tidak mudah
ditundukkan kegagalan, kesialan, kekalahan, siksaan, musibah, dan nasib
buruk?
Kenapa sebagian orang setelah mengalami
kegagalan dan kekalahan menyerah, sementara yang lain bangkit kembali dan
kemudian malah sukses dan menjadi pemenang seperti Louie? Jawabannya ialah resiliensi
(resilience).
Tidak ada definisi baku tentang resiliensi.
American Psychological Association (APA)
menyebutnya 'proses dan kemampuan untuk beradaptasi secara positif dalam
menghadapi berbagai situasi yang tidak diinginkan, trauma, tragedi, ancaman
atau berbagai penyebab stres.
Resiliensi disamakan juga dengan 'daya
lenting/bouncing back' dari pengalaman yang sulit'.
Studi tentang resiliensi ialah salah satu
studi tentang subjek yang tak seorang pun akan memahaminya secara utuh.
Resiliensi layaknya mahateka-teki tentang
hakikat alamiah manusia, seperti halnya kreativitas atau insting religius
(Coutu, L Diane: 'How Resilience Works': Harvard Business Review, 2002).
Namun, resiliensi ialah sesuatu yang dapat dipelajari.
Resiliensi tidak diturunkan dari orangtua,
tetapi sebuah kemampuan yang bisa dicapai dan dikembangkan.
Lalu, bagaimana menumbuhkan dan melatih
resiliensi terutama pada anak-anak?
Anak yang resilien setidaknya menunjukkan
empat karakteristik (Benard, 1995); pertama, memiliki kompetensi sosial,
kemampuan untuk menarik respons positif dari orang lain yang menjadi dasar
relasi sehat dengan orang lain, baik orang dewasa maupun sebaya mereka.
Kedua, kemampuan memecahkan masalah;
berkaitan dengan kemampuan untuk membuat rencana dan tindakan yang akan
dilakukan saat menghadapi masalah, termasuk kelenturan dalam mencari solusi
alternatif dan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan analitis. Ketiga,
otonomi, kemampuan memahami identitas diri, untuk bertindak bebas dan
mengendalikan lingkungan.
Terakhir ialah keyakinan akan adanya makna
dan tujuan hidup serta masa depan yang lebih baik.
Sekolah merupakan tempat yang tepat untuk
mengembangkan dan melatih resiliensi.
Membangun lingkungan yang positif bagi
peserta didik sudah semestinya menjadi visi sekolah.
Lingkungan yang memungkinkan peserta didik,
guru, dan orangtua/masyarakat saling mengembangkan relasi berdasarkan rasa
saling percaya, perhatian, pemahaman, empati, saling menghargai, dan peluang
untuk mendapatkan contoh dari praktik perilaku yang baik (role modelling).
Pada saat bersamaan, sekolah memfasilitasi
ragam potensi siswa dengan menumbuhkan kesadaran bahwa mereka bisa mencapai
harapan dan cita-cita mereka lebih baik daripada yang mereka bayangkan.
Sekolah harus mampu menjadi tempat untuk
melihat belajar sebagai sebuah proses yang terus berlanjut. Dalam proses
ini--karenanya--pengalaman gagal ialah sama pentingnya dengan sebuah
pencapaian keberhasilan.
Jika kegagalan diperlakukan sebagai bagian
dari proses pencapaian, ia tak lagi menakutkan.
Kesadaran semacam ini akan menumbuhkan
pengetahuan dan keterampilan analitis atas kegagalan yang pernah dialami
sekaligus seperangkat pengalaman, rencana, dan tindakan untuk menghadapinya.
Proses itu tidak saja menumbuhkan rasa percaya
diri (bahwa masa depan akan lebih baik), tetapi juga kesadaran dan kebutuhan
untuk mengukur kemampuan diri yang dimiliki peserta didik.
Pada titik tertentu, tarikan antara rasa
percaya diri dan kesadaran akan kemampuan diri akan menghasilkan apa yang
disebut sebagai 'ketegangan kreatif/creative tension' yang merupakan energi
bagi mereka yang mau belajar.
Saat kegagalan, kesialan, kekalahan,
siksaan, musibah, dan nasib buruk bukan lagi menjadi hal yang harus diratapi
dan dikutuk, mungkin kita selalu punya peluang untuk membangun resiliensi.
Seperti Louie Zamperini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar