Apakah
Demokrasi Liberal
Sungguh
Menyejahterakan Masyarakat?
Jannus TH Siahaan ; Pengamat Sosial
Kemasyarakatan;
Tinggal di Pinggiran
Bogor, Jawa Barat
|
KOMPAS.COM,
26 Januari
2018
JOSEPH Stiglitz, penerima
dua penghargaan Nobel Laureate (tahun 2001 untuk kategori ekonomi dan tahun
2007 untuk kategori perdamaian), pada kuliah umum di Central Europe
University, Budapest, Hungaria, awal November 2014, dengan berat hati harus
memberikan jawaban negatif atas pertanyaan yang sekaligus menjadi topik
kuliah umum waktu itu.
Stiglitz memberikan
jawaban "No" untuk pertanyaan yang berbunyi "Can Iiberal
democracy create shared and sustained prosperity?"
Di satu sisi, Stiglitz
sebenarnya bukanlah ekonom yang anti kapitalisme. Tapi disisi lain beliau
juga bukan penganut paham neoliberalisme klasik yang secara ideologis percaya
bahwa "pasar" atau "market" akan bekerja sendiri (by its
self - self regulating market) untuk meningkatkan produktifitas dan mendorong
terciptanya pertumbuhan ekonomi, kemudian memberikan landasan untuk lahirnya
pemerataan dan kesejahteraan.
Dalam perspektif
neoliberalisme, pasar tidak perlu diintervensi terlalu dalam. Tugas
pemerintah hanya memfasilitasi dengan regulasi-regulasi yang diperlukan.
Jika kemudian terjadi
ketimpangan (inequality), disparitas pendapatan, bahkan kemiskinan, maka
persoalannya terletak pada aras "distribusi" dan
"redistribusi", bukan pada kesalahan "market mechanism"
(mekanisme pasar).
Sehingga konsekuensinya,
pemerintah harus memberikan lebih banyak insentif kepada masyarakat yang
tertinggal secara ekonomi atau kepada kelompok-kelompok marginal agar mereka
bisa mengalami mobilisasi sosial (naik kelas), mulai dari insentif
pendidikan, kesehatan, insentif teknologi, kemudahan kredit usaha, pinjaman
untuk konsumsi rumah tangga atau pinjaman pendidikan, dan berbagai kebijakan
yang berkategori safety net (jaring pengaman) maupun cash transfer.
Namun lebih jauh dari itu,
Stiglitz tampaknya bergerak lebih progresif dari itu. Ketimpangan dan
disparitas dalam berbagai aspek bukan sekadar urusan distribusi dan
redistribusi atau soal beban pajak tinggi yang harus dikenakan kepada kelas
tertentu, melainkan juga soal fundamental ekonomi dari sistem kapitalistik
itu sendiri yang mengidap beberapa penyakit akut yang akhirnya secara
terus-menerus memproduksi ketimpangan, kemiskinan, dan aneka pola disparitas
di dalam masyarakat.
Dengan membiarkan pasar
bergerak dalam logika self regulating market, maka pemerintah juga telah
melebarkan kesempatan (opportunity) bagi kelompok-kelompok masyarakat kaya
untuk terus memperkaya diri.
Yang lebih menyakitkan,
kata Stiglitz, opportunity itu juga melebar menjadi kesempatan yang digunakan
untuk mengeksploitasi kekayaan dari kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Menurunnya
produktivitas modal
Hal ini terjadi karena
menurunnya produktivitas modal dan berkembangnya model ekonomi rent seeking
atau ekonomi rente di mana modal-modal menginvasi dunia politik untuk
memengaruhi kebijakan pemerintah demi keuntungan segelintir pemilik modal
sehingga mengalihkan banyak anggaran negara ke sektor-sektor yang justru
tidak menguntungkan masyarakat.
Yang dimaksud oleh
Stiglitz dengan penurunan produktivitas modal (kekayaan/wealth) adalah bahwa
di satu sisi pihak pemilik modal mengalami penumpukan (akumulasi) kekayaan,
tetapi di sisi lain kekayaan itu ternyata tidak ditempatkan pada sektor
ekonomi produktif yang seharusnya bisa menciptakan trickle down effect untuk
masyarakat kelas menengah ke bawah.
Mereka lebih memilih untuk
menempatkan modal yang terus berakumulasi tersebut ke dalam sektor finansial
(perbankan, ekuitas, obligasi, surat utang, dan lainnya) agar mendapatkan
imbal hasil dan bunga (rent). Begitulah orang kaya kontemporer melipatkangandakan
kekayaannya menurut Stiglitz.
Dengan begitu,
perkembangannya secara statistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas
Pikkety dalam buku "Capital in The Twenty Century" dan oleh
Stiglitz sendiri di dalam "The Price of Inequality" atau oleh
Robert Reich dalam "Inequality for All", tingkat pertumbuhan
kekayaan kelompok ekonomi teratas jauh melampui tingkat pertumbuhan gaji para
pekerja (wage) dan tingkat pertumbuhan standar hidup layak para pekerja
(standard of living).
Menurut para ekonom ini,
ada pergerakan tingkat pertumbuhan yang tidak sinkron antara kelompok
masyarakat kaya dengan masyarakat menengah ke bawah.
Di satu sisi kekayaan para
konglomerat terus tumbuh setiap tahun dengan angka yang cukup bombastis,
sementara itu disisi lain gaji karyawan dan standar hidup layak para pekerja
nyaris stagnan. Hal itu menimbulkan jurang (cliff) yang sangat tajam antara
masyarakat kaya (the have) dengan masyarakat menengah ke bawah
Sementara itu secara
politik, Francis Fukuyama, penulis buku kontroversial "The end of
History and The Last Man" tahun 1992, yang sebelumnya begitu percaya
diri dan agak jumawa mengatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme
adalah tujuan akhir dari evolusi peradaban manusia, akhirnya meralat
pendiriannya.
Dalam karya-karya
terbarunya, baik "The Origin of Political Order" (2011) maupun
"Political Order and Political Decay" (2014), Frank, panggilan
akrab beliau, mulai pesimistis dengan perkembangan mutakhir demokrasi liberal
dan ekonomi pasar bebas.
Tanda-tanda
kurang baik
Kapitalisme dan demokrasi
liberal telah memperlihatkan tanda-tanda yang kurang baik yang bisa merusak
idealitas demokrasi itu sendiri. Frank, sebagaimana Joseph Stiglitz,
menyayangkan berkembangnya model rent seeking economic yang ternyata berimbas
buruk pada dunia politik.
Ekonomi rente yang secara
terus-menerus memberi peluang besar terhadap para pemilik modal untuk
mengakumulasi kekayaanya malah mendorong terbentuknya pola patrimonialistik
(political phatrimony) dalam sistem politik.
Menurutnya, model ekonomi
rente mendorong terbentuknya relasi politik patron-klien (clientalism
pattern) yang sayangnya malah menumpulkan responsivitas pemerintah terhadap
rakyatnya.
Para pemilik modal dengan
mudah menyetir arah kebijakan pemerintah, bahkan mereka mempunyai kemampuan
memaksa di dalam proses pembuatan kebijakan karena piutang politik selama
masa kontestasi yang harus dibayar oleh para politisi.
Melorotnya responsivitas
pemerintah (the govern) terhadap kepentingan masyarakat pemilih berimbas pada
memburuknya kualitas akuntabilas publik. Pemerintah merasa jauh lebih
bertanggung jawab kepada kemajuan usaha dan akumulasi modal segelintir orang
ketimbang kepada rakyat.
Dengan begitu, akhirnya
demokrasi sebagai sebuah imperatif moral dan sebagai sistem instrumental yang
mendorong aktualisasi kebebasan dan kemanusiaan malah terdegradasi sedemikian
rupa.
Demokrasi kembali ke
sistem scumpeterian (merujuk pada pemikir ekonomi fenomenal Joseph Scumpeter)
yang sangat teknis dan prosedural.
Kondisi seperti ini pula
yang kemudian disinyalir oleh Larry Diamond sebagai penyebab tersendatnya
proses konsolidasi demokrasi di banyak negara dan mengakibatkan resesi
demokrasi secara massif di berbagai belahan dunia yang sebelumnya sempat
tersapu oleh gelombang demokratisasi ketiga versi Samuel P Huntington.
Relasi negara dan para
pemilik modal semakin hari semakin mesra atas nama demokrasi. Di satu sisi,
rakyat tetap dibiarkan memilih secara bebas, tapi di sisi lain apa pun
pilihan rakyat pada akhirnya hanya menjadi basa basi politik untuk
memperbaharui aktor-aktor yang akan meneruskan pengabdiannya kepada pemilik
modal dan pasar.
Demokrasi
pancasila
Nah, secara
fundamental-ideologis maupun secara historis, demokrasi pancasila lahir dari
perdebatan-perdebatan yang tak jauh berbeda dengan dialektika pemikiran
demokrasi ini.
Para Founding Father kita,
mulai dari Soekarno, Hatta, Syahrir, Soepomo, Moh. Yamin, Agus Salim, bahkan
Tan Malaka, dan lain-lain, berjibaku secara intelektual untuk melahirkan
garisan ideologis yang "pas" dan "pantas" untuk Indonesia
waktu itu, baik pada masa pra kemerdekaan maupun beberapa waktu setelah
deklarasi kemerdekaaan Indonesia.
Selain bersaing dalam
memberikan landasan ideal untuk ideologi Indonesia yang baru merdeka, mereka
juga saling mencarikan landasan empirik dan historis bahwa sebenarnya
demokrasi telah berlangsung lama di Indonesia jauh hari sebelum istilah
demokrasi itu lahir.
Salah satunya menurut
pandangan Hatta, misalnya. Hatta menyatakan, ada tiga fakta yang mengindikasikan
bahwa demokrasi telah berlangsung lama di Indonesia jauh hari sebelum
kemerdekaan.
Pertama adalah adanya
tradisi "rembuk desa" yang sudah berlangsung sedari dulu di banyak
daerah di Indonesia dimana keterlibatan langsung masyarakat desa sangat
berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan sebuah desa.
Kedua, kedatangan Islam ke
nusantara juga telah memberi cara pandang baru bagi masyarakat nusantara
dalam mengidentifikasi diri terhadap sistem yang lebih luas (sistem sosial,
ekonomi, politik, dan lainnya). Menurut Islam, semua manusia sama di hadapan
tuhan, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan masing-masing manusia.
Di satu sisi, cara pandang
Islam ini sangat berpengaruh terhadap masayarakat Hindia Belanda waktu itu di
mana sekat-sekat sosial ekonomi tidak lagi membedakan status seseorang di
dalam masyarakat.
Di sisi lain, pandangan
ini juga sangat berjasa dalam menghapus sistem feodalisme eksploitatif yang
sudah berlangsung lama di hampir semua dataran Nusantara karena setiap
masyarakat akhirnya merasa berkedudukan sama dalam tatanan sosial politik.
Serta yang ketiga, menurut
Hatta, adalah pengaruh paham komunisme. Terlepas seperti apa cara pandang
kita sekarang terhadap paham kiri ini, bagaimanapun komunisme juga telah
memberi landasan berpikir kritis bagi masyarakat Indonesia yang terjajah
waktu itu untuk terus menyuarakan kemerdekaan dan menyuarakan hak-hak politik
ekonomi kepada pemerintahan kolonial.
Paham ini juga memberi
cara pandang kritis pada masyarakat pribumi, terutama intelektual-intelektual
muda pencetus gerakan kemerdekaan, dalam menilai bahwa
kolonialisme-imprealisme adalah anak kandung dari kapitalisme.
Jika dilihat dialektika
perdebatan menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan, hampir semua anggota
BPUPK dan PPKI sepakat bahwa tatanan demokrasi yang ingin ditegakan di
Indonesia bukanlah tatanan demokrasi yang memprioritaskan individualisme
sebagaimana yang dianut oleh negara-negara liberal, melainkan bukan tatanan
yang menghancurkan hak-hak individu atas nama kolektifitas (negara)
sebagaimana yang di anut oleh negara-negara berhaluan kiri.
Dalam perjalanannya sampai
saat ini, tarik ulur antara indiviualisme dan kolektivisme mengejawantah ke
dalam setiap fenomena demokrasi Indonesia.
Ekonomi rente bertahan
sebagai bagian dari eksistensi politik kolektif penguasa di satu sisi dan
berlansungnya aglomerasi kapital di tangan-tangan segelintir konglomerasi
menjadi indikasi kehadiran paham indiviualisme di sisi yang lain.
Dan, semua itu atas nama
rakyat, baik rakyat yang mendapat akses dan priveledge untuk mengakumulasi
modal sebanyak yang mereka bisa, maupun rakyat yang hanya punya hak
mencoblos, kemudian terlupakan.
Terbukti sampai hari ini
bahwa demokrasi prosedural yang berkembang di tanah Ibu Pertiwi adalah
demokrasi yang tumbuh, hidup, serta berkembang biak untuk demokrasi itu
sendiri, bukan untuk para pihak yang selalu kecewa atas apapun yang
dicoblosnya di dalam bilik suara.
Jika demikian, jika
demokrasi hanya berhenti untuk demokrasi, maka Indonesia berhenti di sila
kelima Pancasila. Ini justru menjadi pertanda bahaya bagi negeri ini karena
Founding Fathers kita telah menetapkan keadilan sosial di sila kelima,
setelah sila keempat yang berbicara tentang demokrasi.
Oleh karena itu, sila
kelima tersebut harus menjadi agenda utama kita semua. Demokrasi harus kita
dorong untuk menopang lahirnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar