Jumat, 26 Januari 2018

Apakah Demokrasi Liberal Sungguh Menyejahterakan Masyarakat?

Apakah Demokrasi Liberal
Sungguh Menyejahterakan Masyarakat?
Jannus TH Siahaan  ;  Pengamat Sosial Kemasyarakatan;
Tinggal di Pinggiran Bogor, Jawa Barat
                                                 KOMPAS.COM, 26 Januari 2018



                                                           
JOSEPH Stiglitz, penerima dua penghargaan Nobel Laureate (tahun 2001 untuk kategori ekonomi dan tahun 2007 untuk kategori perdamaian), pada kuliah umum di Central Europe University, Budapest, Hungaria, awal November 2014, dengan berat hati harus memberikan jawaban negatif atas pertanyaan yang sekaligus menjadi topik kuliah umum waktu itu.

Stiglitz memberikan jawaban "No" untuk pertanyaan yang berbunyi "Can Iiberal democracy create shared and sustained prosperity?"

Di satu sisi, Stiglitz sebenarnya bukanlah ekonom yang anti kapitalisme. Tapi disisi lain beliau juga bukan penganut paham neoliberalisme klasik yang secara ideologis percaya bahwa "pasar" atau "market" akan bekerja sendiri (by its self - self regulating market) untuk meningkatkan produktifitas dan mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi, kemudian memberikan landasan untuk lahirnya pemerataan dan kesejahteraan.

Dalam perspektif neoliberalisme, pasar tidak perlu diintervensi terlalu dalam. Tugas pemerintah hanya memfasilitasi dengan regulasi-regulasi yang diperlukan.

Jika kemudian terjadi ketimpangan (inequality), disparitas pendapatan, bahkan kemiskinan, maka persoalannya terletak pada aras "distribusi" dan "redistribusi", bukan pada kesalahan "market mechanism" (mekanisme pasar).

Sehingga konsekuensinya, pemerintah harus memberikan lebih banyak insentif kepada masyarakat yang tertinggal secara ekonomi atau kepada kelompok-kelompok marginal agar mereka bisa mengalami mobilisasi sosial (naik kelas), mulai dari insentif pendidikan, kesehatan, insentif teknologi, kemudahan kredit usaha, pinjaman untuk konsumsi rumah tangga atau pinjaman pendidikan, dan berbagai kebijakan yang berkategori safety net (jaring pengaman) maupun cash transfer.

Namun lebih jauh dari itu, Stiglitz tampaknya bergerak lebih progresif dari itu. Ketimpangan dan disparitas dalam berbagai aspek bukan sekadar urusan distribusi dan redistribusi atau soal beban pajak tinggi yang harus dikenakan kepada kelas tertentu, melainkan juga soal fundamental ekonomi dari sistem kapitalistik itu sendiri yang mengidap beberapa penyakit akut yang akhirnya secara terus-menerus memproduksi ketimpangan, kemiskinan, dan aneka pola disparitas di dalam masyarakat.

Dengan membiarkan pasar bergerak dalam logika self regulating market, maka pemerintah juga telah melebarkan kesempatan (opportunity) bagi kelompok-kelompok masyarakat kaya untuk terus memperkaya diri.

Yang lebih menyakitkan, kata Stiglitz, opportunity itu juga melebar menjadi kesempatan yang digunakan untuk mengeksploitasi kekayaan dari kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Menurunnya produktivitas modal

Hal ini terjadi karena menurunnya produktivitas modal dan berkembangnya model ekonomi rent seeking atau ekonomi rente di mana modal-modal menginvasi dunia politik untuk memengaruhi kebijakan pemerintah demi keuntungan segelintir pemilik modal sehingga mengalihkan banyak anggaran negara ke sektor-sektor yang justru tidak menguntungkan masyarakat.

Yang dimaksud oleh Stiglitz dengan penurunan produktivitas modal (kekayaan/wealth) adalah bahwa di satu sisi pihak pemilik modal mengalami penumpukan (akumulasi) kekayaan, tetapi di sisi lain kekayaan itu ternyata tidak ditempatkan pada sektor ekonomi produktif yang seharusnya bisa menciptakan trickle down effect untuk masyarakat kelas menengah ke bawah.

Mereka lebih memilih untuk menempatkan modal yang terus berakumulasi tersebut ke dalam sektor finansial (perbankan, ekuitas, obligasi, surat utang, dan lainnya) agar mendapatkan imbal hasil dan bunga (rent). Begitulah orang kaya kontemporer melipatkangandakan kekayaannya menurut Stiglitz.



Dengan begitu, perkembangannya secara statistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Pikkety dalam buku "Capital in The Twenty Century" dan oleh Stiglitz sendiri di dalam "The Price of Inequality" atau oleh Robert Reich dalam "Inequality for All", tingkat pertumbuhan kekayaan kelompok ekonomi teratas jauh melampui tingkat pertumbuhan gaji para pekerja (wage) dan tingkat pertumbuhan standar hidup layak para pekerja (standard of living).

Menurut para ekonom ini, ada pergerakan tingkat pertumbuhan yang tidak sinkron antara kelompok masyarakat kaya dengan masyarakat menengah ke bawah.

Di satu sisi kekayaan para konglomerat terus tumbuh setiap tahun dengan angka yang cukup bombastis, sementara itu disisi lain gaji karyawan dan standar hidup layak para pekerja nyaris stagnan. Hal itu menimbulkan jurang (cliff) yang sangat tajam antara masyarakat kaya (the have) dengan masyarakat menengah ke bawah

Sementara itu secara politik, Francis Fukuyama, penulis buku kontroversial "The end of History and The Last Man" tahun 1992, yang sebelumnya begitu percaya diri dan agak jumawa mengatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme adalah tujuan akhir dari evolusi peradaban manusia, akhirnya meralat pendiriannya.

Dalam karya-karya terbarunya, baik "The Origin of Political Order" (2011) maupun "Political Order and Political Decay" (2014), Frank, panggilan akrab beliau, mulai pesimistis dengan perkembangan mutakhir demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas.

Tanda-tanda kurang baik

Kapitalisme dan demokrasi liberal telah memperlihatkan tanda-tanda yang kurang baik yang bisa merusak idealitas demokrasi itu sendiri. Frank, sebagaimana Joseph Stiglitz, menyayangkan berkembangnya model rent seeking economic yang ternyata berimbas buruk pada dunia politik.

Ekonomi rente yang secara terus-menerus memberi peluang besar terhadap para pemilik modal untuk mengakumulasi kekayaanya malah mendorong terbentuknya pola patrimonialistik (political phatrimony) dalam sistem politik.

Menurutnya, model ekonomi rente mendorong terbentuknya relasi politik patron-klien (clientalism pattern) yang sayangnya malah menumpulkan responsivitas pemerintah terhadap rakyatnya.

Para pemilik modal dengan mudah menyetir arah kebijakan pemerintah, bahkan mereka mempunyai kemampuan memaksa di dalam proses pembuatan kebijakan karena piutang politik selama masa kontestasi yang harus dibayar oleh para politisi.

Melorotnya responsivitas pemerintah (the govern) terhadap kepentingan masyarakat pemilih berimbas pada memburuknya kualitas akuntabilas publik. Pemerintah merasa jauh lebih bertanggung jawab kepada kemajuan usaha dan akumulasi modal segelintir orang ketimbang kepada rakyat.

Dengan begitu, akhirnya demokrasi sebagai sebuah imperatif moral dan sebagai sistem instrumental yang mendorong aktualisasi kebebasan dan kemanusiaan malah terdegradasi sedemikian rupa.

Demokrasi kembali ke sistem scumpeterian (merujuk pada pemikir ekonomi fenomenal Joseph Scumpeter) yang sangat teknis dan prosedural.

Kondisi seperti ini pula yang kemudian disinyalir oleh Larry Diamond sebagai penyebab tersendatnya proses konsolidasi demokrasi di banyak negara dan mengakibatkan resesi demokrasi secara massif di berbagai belahan dunia yang sebelumnya sempat tersapu oleh gelombang demokratisasi ketiga versi Samuel P Huntington.

Relasi negara dan para pemilik modal semakin hari semakin mesra atas nama demokrasi. Di satu sisi, rakyat tetap dibiarkan memilih secara bebas, tapi di sisi lain apa pun pilihan rakyat pada akhirnya hanya menjadi basa basi politik untuk memperbaharui aktor-aktor yang akan meneruskan pengabdiannya kepada pemilik modal dan pasar.

Demokrasi pancasila

Nah, secara fundamental-ideologis maupun secara historis, demokrasi pancasila lahir dari perdebatan-perdebatan yang tak jauh berbeda dengan dialektika pemikiran demokrasi ini.



Para Founding Father kita, mulai dari Soekarno, Hatta, Syahrir, Soepomo, Moh. Yamin, Agus Salim, bahkan Tan Malaka, dan lain-lain, berjibaku secara intelektual untuk melahirkan garisan ideologis yang "pas" dan "pantas" untuk Indonesia waktu itu, baik pada masa pra kemerdekaan maupun beberapa waktu setelah deklarasi kemerdekaaan Indonesia.

Selain bersaing dalam memberikan landasan ideal untuk ideologi Indonesia yang baru merdeka, mereka juga saling mencarikan landasan empirik dan historis bahwa sebenarnya demokrasi telah berlangsung lama di Indonesia jauh hari sebelum istilah demokrasi itu lahir.

Salah satunya menurut pandangan Hatta, misalnya. Hatta menyatakan, ada tiga fakta yang mengindikasikan bahwa demokrasi telah berlangsung lama di Indonesia jauh hari sebelum kemerdekaan.

Pertama adalah adanya tradisi "rembuk desa" yang sudah berlangsung sedari dulu di banyak daerah di Indonesia dimana keterlibatan langsung masyarakat desa sangat berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan sebuah desa.

Kedua, kedatangan Islam ke nusantara juga telah memberi cara pandang baru bagi masyarakat nusantara dalam mengidentifikasi diri terhadap sistem yang lebih luas (sistem sosial, ekonomi, politik, dan lainnya). Menurut Islam, semua manusia sama di hadapan tuhan, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan masing-masing manusia.

Di satu sisi, cara pandang Islam ini sangat berpengaruh terhadap masayarakat Hindia Belanda waktu itu di mana sekat-sekat sosial ekonomi tidak lagi membedakan status seseorang di dalam masyarakat.

Di sisi lain, pandangan ini juga sangat berjasa dalam menghapus sistem feodalisme eksploitatif yang sudah berlangsung lama di hampir semua dataran Nusantara karena setiap masyarakat akhirnya merasa berkedudukan sama dalam tatanan sosial politik.

Serta yang ketiga, menurut Hatta, adalah pengaruh paham komunisme. Terlepas seperti apa cara pandang kita sekarang terhadap paham kiri ini, bagaimanapun komunisme juga telah memberi landasan berpikir kritis bagi masyarakat Indonesia yang terjajah waktu itu untuk terus menyuarakan kemerdekaan dan menyuarakan hak-hak politik ekonomi kepada pemerintahan kolonial.

Paham ini juga memberi cara pandang kritis pada masyarakat pribumi, terutama intelektual-intelektual muda pencetus gerakan kemerdekaan, dalam menilai bahwa kolonialisme-imprealisme adalah anak kandung dari kapitalisme.

Jika dilihat dialektika perdebatan menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan, hampir semua anggota BPUPK dan PPKI sepakat bahwa tatanan demokrasi yang ingin ditegakan di Indonesia bukanlah tatanan demokrasi yang memprioritaskan individualisme sebagaimana yang dianut oleh negara-negara liberal, melainkan bukan tatanan yang menghancurkan hak-hak individu atas nama kolektifitas (negara) sebagaimana yang di anut oleh negara-negara berhaluan kiri.

Dalam perjalanannya sampai saat ini, tarik ulur antara indiviualisme dan kolektivisme mengejawantah ke dalam setiap fenomena demokrasi Indonesia.

Ekonomi rente bertahan sebagai bagian dari eksistensi politik kolektif penguasa di satu sisi dan berlansungnya aglomerasi kapital di tangan-tangan segelintir konglomerasi menjadi indikasi kehadiran paham indiviualisme di sisi yang lain.

Dan, semua itu atas nama rakyat, baik rakyat yang mendapat akses dan priveledge untuk mengakumulasi modal sebanyak yang mereka bisa, maupun rakyat yang hanya punya hak mencoblos, kemudian terlupakan.

Terbukti sampai hari ini bahwa demokrasi prosedural yang berkembang di tanah Ibu Pertiwi adalah demokrasi yang tumbuh, hidup, serta berkembang biak untuk demokrasi itu sendiri, bukan untuk para pihak yang selalu kecewa atas apapun yang dicoblosnya di dalam bilik suara.

Jika demikian, jika demokrasi hanya berhenti untuk demokrasi, maka Indonesia berhenti di sila kelima Pancasila. Ini justru menjadi pertanda bahaya bagi negeri ini karena Founding Fathers kita telah menetapkan keadilan sosial di sila kelima, setelah sila keempat yang berbicara tentang demokrasi.

Oleh karena itu, sila kelima tersebut harus menjadi agenda utama kita semua. Demokrasi harus kita dorong untuk menopang lahirnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar