Senin, 29 Januari 2018

Islam Indonesia dan Narasi Anti-semitisme

Islam Indonesia dan Narasi Anti-semitisme
Munawir Aziz  ;  Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies,
Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta
                                                 KOMPAS.COM, 27 Januari 2018



                                                           
DI TENGAH kontroversi isu Israel- Palestina, menarik untuk melihat framing dari suara publik yang menjadi representasi Islam Indonesia atas isu ini. Di tengah renungan, saya melihat isu Yerusalem menjadi titik penting untuk melihat ketegangan Israel-Palestina, sekaligus masa depan geopolitik di kawasan Timur Tengah.

Keputusan presiden Donald Trump atas penetapan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel tidak hanya mengguncang geopolitik dunia internasioal. Lebih dari itu, keputusan tersebut menimbulkan gejolak baru di berbagai negara.

Isu Israel-Palestina memang sangat seksi, menjadi titik panas dalam kajian antar-agama, politik internasional, hingga diplomasi kemanusiaan. Dalam kerangka kajian kawasan, isu ini sangat dinamis dan menyedot perhatian publik serta akademisi internasional.

Saya berusaha melihat isu panas ini dalam kerangka Islam Indonesia. Yaitu, bagaimana ormas Islam moderat dan tokoh-tokohnya—terutama dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama—merespons isu ini sebagai kajian yang penting dan strategis. Melihat kedua ormas ini menjadi penting, untuk menangkap bagaimana ormas Islam moderat merespons ketegangan ini.

Yerusalem merupakan kota tiga agama Abrahamik—Islam, Nasrani, Yahudi—yang selalu bergolak dalam beberapa abad. Sepanjang sejarahnya, Yerusalem selalu menyisakan catatan perdamaian, sekaligus ketegangan, antar-umat manusia.

Jika kita menyimak film Kingdom of Heaven garapan Ridley Scott dan William Monahan, akan terasa betul ketegangan, dinamika, sekaligus manipulasi politik yang melingkupinya. Konflik terus terjadi sepanjang abad, dalam perebutan klaim atas tanah dan kekayaan, juga tentang kota suci yang mengalirkan darah dan air mata.

Pada narasi film Kingdom of Heaven, tergambar kontestasi di arena kota suci Yerussalem. Saladin (atau Shalahuddin), sultan sekaligus pemimpin perang dari kelompok Islam, pada akhir penguasaan atas Yerussalem mengungkapkan makna yang mendalam.

Ia ditanya oleh Ksatria dari Ibelin, "Apa makna Yerusalem?" Saladin menjawab, "Nothing…. Everything!"

Betapa, di balik perang berkepanjangan yang merenggut ribuan nyawa, ada pertaruhan harga diri dan kekuasaan, yang berujung pada kekosongan, sekaligus pengakuan atas semuanya.

Islam Indonesia dan Isu Yahudi

Manuver Donald Trump membuat dunia internasional terguncang. Menanggapi manuver Trump, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama langsung bereaksi.

Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengungkapkan bahwa klaim sepihak Amerika Serikat tentang Yerussalem sebagai Ibu Kota Israel akan memicu konflik baru. Nashir juga menganggap AS tidak memiliki komitmen perdamaian di Timur Tengah.

Adapun pimpinan Nahdlatul Ulama juga tidak kalah garang. KH Yahya C Staquf, Katib Syuriah PBNU, menegaskan betapa langkah Trump menimbulkan masalah baru dalam lanskap geopolitik kawasan. Kebijakan Trump terasa merobek inisiasi damai yang sedang direnda oleh berbagai pihak, baik dari kubu Israel dan Palestina maupun negara-negara yang selama ini menginsiasi perdamaian.

Dalam konferensi pers, PBNU meminta Pemerintah AS mencari jalan perdamaian. Disusul kemudian, aksi damai berlangsung di Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, pada pertengahan Desember 2017.

Sementara itu, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) merespons ketegangan Israel-Palestina tidak dengan reaksi keras dan demo di jalanan. Gus Mus menginisiasi festival puisi untuk perdamaian Israel-Palestina, yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki pada 24 Agustus 2017.

Festival puisi ini diikuti puluhan penyair dan menyedot perhatian massif publik. Respons yang berkelas atas konflik kemanusiaan, dengan jalan sastra, dengan hati nurani. 

Memahami Yahudi

Isu Israel-Palestina tidak semata hanya konflik antar-negara. Di balik itu, menyembul berbagai kepentingan, silang sengkarut pemahaman, politik pengetahuan, dan beragam kebutuhan lintas negara yang demikian menggumpal. Saya teringat bagaimana Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menganggap interaksi dengan Israel maupun komunitas Yahudi sebagai sebuah ‘seni’.

Ketika menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Gus Dur mengungkapkan gagasan penting, tentang membangun poros perdagangan dengan Israel. Namun, banyak yang salah paham dengan kebijakan ini, menganggap Gus Dur telah menjalin kedekatan dengan ‘negeri Yahudi’.

Gus Dur melampaui itu, dengan melakukan manuver yang menusuk jantung permasalahan, berusaha memecahkan problem kemanusiaan tepat di titik tantangan terbesar. Dalam sebuah kesempatan diskusi, Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenni Wahid, mengungkapkan argumentasi di balik kebijakan Gus Dur.

Menurut Gus Dur, kata Yenny, Israel merupakan negara yang menguasai ekonomi dunia. Namun, penguasaan Israel atas aset dan sistem ekonomi dunia dilakukan secara terselubung. Perusahaan-perusahaan Israel sering menggunakan bendera negara lain, agar terhindar dari pajak.

Pada titik ini, strategi Gus Dur perlu ditempatkan sebagai kecerdasan diplomatik dan kecanggihan politik.

“Supaya mereka (Israel) keluar, maka kita harus menariknya ke permukaan. Dengan adanya kerja sama maka para pengusaha Israel tidak lagi memakai tangan lain. Tapi sayang, karena kebijakan itu banyak yang menuduh ayah saya sebagai antek Yahudi. Banyak yang tidak tahu maksud dari kerja sama itu,” ungkap Yenni Wahid, dalam diskusi tersebut.

Bagi penulis, di tengah ketegangan Israel-Palestina dalam konflik kawasan, yang mengkhawatirkan adalah meluasnya anti-semitisme sebagai bentuk kegagapan memahami inti permasalahan.

Sering kali, luapan kebencian diarahkan kepada orang-orang Yahudi, yang tidak semuanya bertanggung jawab atas konflik. Bahwa, komunitas Yahudi sebenarnya tidak tunggal. Ada juga orang-orang Yahudi yang menginginkan perdamaian dengan warga Muslim, baik di Palestina maupun di kawasan Arab umumnya.

Menginiasi perdamaian di tengah konflik memang tidak mudah. Lebih sulit lagi, mempertahankan keadaan dalam kondisi damai, gemah ripah loh jinawi. Maka, sangat disayangkan bila ada pihak-pihak yang memprovokasi untuk menebar kebencian dan kekerasan di negeri ini. Saatnya kita menebar nilai-nilai Islam damai yang menyejukkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar