Islam
Indonesia dan Narasi Anti-semitisme
Munawir Aziz ; Mahasiswa Center for
Religious and Cross-Cultural Studies,
Sekolah Pascasarjana
UGM Yogyakarta
|
KOMPAS.COM,
27 Januari
2018
DI TENGAH kontroversi isu Israel-
Palestina, menarik untuk melihat framing dari suara publik yang menjadi
representasi Islam Indonesia atas isu ini. Di tengah renungan, saya melihat
isu Yerusalem menjadi titik penting untuk melihat ketegangan Israel-Palestina,
sekaligus masa depan geopolitik di kawasan Timur Tengah.
Keputusan presiden Donald Trump atas
penetapan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel tidak hanya mengguncang
geopolitik dunia internasioal. Lebih dari itu, keputusan tersebut menimbulkan
gejolak baru di berbagai negara.
Isu Israel-Palestina memang sangat seksi,
menjadi titik panas dalam kajian antar-agama, politik internasional, hingga
diplomasi kemanusiaan. Dalam kerangka kajian kawasan, isu ini sangat dinamis
dan menyedot perhatian publik serta akademisi internasional.
Saya berusaha melihat isu panas ini dalam
kerangka Islam Indonesia. Yaitu, bagaimana ormas Islam moderat dan
tokoh-tokohnya—terutama dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama—merespons isu
ini sebagai kajian yang penting dan strategis. Melihat kedua ormas ini
menjadi penting, untuk menangkap bagaimana ormas Islam moderat merespons
ketegangan ini.
Yerusalem merupakan kota tiga agama
Abrahamik—Islam, Nasrani, Yahudi—yang selalu bergolak dalam beberapa abad.
Sepanjang sejarahnya, Yerusalem selalu menyisakan catatan perdamaian,
sekaligus ketegangan, antar-umat manusia.
Jika kita menyimak film Kingdom of Heaven
garapan Ridley Scott dan William Monahan, akan terasa betul ketegangan,
dinamika, sekaligus manipulasi politik yang melingkupinya. Konflik terus
terjadi sepanjang abad, dalam perebutan klaim atas tanah dan kekayaan, juga
tentang kota suci yang mengalirkan darah dan air mata.
Pada narasi film Kingdom of Heaven,
tergambar kontestasi di arena kota suci Yerussalem. Saladin (atau Shalahuddin),
sultan sekaligus pemimpin perang dari kelompok Islam, pada akhir penguasaan
atas Yerussalem mengungkapkan makna yang mendalam.
Ia ditanya oleh Ksatria dari Ibelin,
"Apa makna Yerusalem?" Saladin menjawab, "Nothing….
Everything!"
Betapa, di balik perang berkepanjangan yang
merenggut ribuan nyawa, ada pertaruhan harga diri dan kekuasaan, yang
berujung pada kekosongan, sekaligus pengakuan atas semuanya.
Islam
Indonesia dan Isu Yahudi
Manuver Donald Trump membuat dunia
internasional terguncang. Menanggapi manuver Trump, Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama langsung bereaksi.
Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir,
mengungkapkan bahwa klaim sepihak Amerika Serikat tentang Yerussalem sebagai
Ibu Kota Israel akan memicu konflik baru. Nashir juga menganggap AS tidak
memiliki komitmen perdamaian di Timur Tengah.
Adapun pimpinan Nahdlatul Ulama juga tidak
kalah garang. KH Yahya C Staquf, Katib Syuriah PBNU, menegaskan betapa
langkah Trump menimbulkan masalah baru dalam lanskap geopolitik kawasan.
Kebijakan Trump terasa merobek inisiasi damai yang sedang direnda oleh
berbagai pihak, baik dari kubu Israel dan Palestina maupun negara-negara yang
selama ini menginsiasi perdamaian.
Dalam konferensi pers, PBNU meminta
Pemerintah AS mencari jalan perdamaian. Disusul kemudian, aksi damai
berlangsung di Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, pada pertengahan Desember
2017.
Sementara itu, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus)
merespons ketegangan Israel-Palestina tidak dengan reaksi keras dan demo di
jalanan. Gus Mus menginisiasi festival puisi untuk perdamaian
Israel-Palestina, yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki pada 24
Agustus 2017.
Festival puisi ini diikuti puluhan penyair
dan menyedot perhatian massif publik. Respons yang berkelas atas konflik
kemanusiaan, dengan jalan sastra, dengan hati nurani.
Memahami
Yahudi
Isu Israel-Palestina tidak semata hanya
konflik antar-negara. Di balik itu, menyembul berbagai kepentingan, silang
sengkarut pemahaman, politik pengetahuan, dan beragam kebutuhan lintas negara
yang demikian menggumpal. Saya teringat bagaimana Kiai Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) menganggap interaksi dengan Israel maupun komunitas Yahudi sebagai
sebuah ‘seni’.
Ketika menjabat sebagai Presiden Republik
Indonesia, Gus Dur mengungkapkan gagasan penting, tentang membangun poros
perdagangan dengan Israel. Namun, banyak yang salah paham dengan kebijakan
ini, menganggap Gus Dur telah menjalin kedekatan dengan ‘negeri Yahudi’.
Gus Dur melampaui itu, dengan melakukan
manuver yang menusuk jantung permasalahan, berusaha memecahkan problem
kemanusiaan tepat di titik tantangan terbesar. Dalam sebuah kesempatan
diskusi, Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenni Wahid, mengungkapkan argumentasi
di balik kebijakan Gus Dur.
Menurut Gus Dur, kata Yenny, Israel
merupakan negara yang menguasai ekonomi dunia. Namun, penguasaan Israel atas
aset dan sistem ekonomi dunia dilakukan secara terselubung.
Perusahaan-perusahaan Israel sering menggunakan bendera negara lain, agar
terhindar dari pajak.
Pada titik ini, strategi Gus Dur perlu
ditempatkan sebagai kecerdasan diplomatik dan kecanggihan politik.
“Supaya mereka (Israel) keluar, maka kita
harus menariknya ke permukaan. Dengan adanya kerja sama maka para pengusaha
Israel tidak lagi memakai tangan lain. Tapi sayang, karena kebijakan itu banyak
yang menuduh ayah saya sebagai antek Yahudi. Banyak yang tidak tahu maksud
dari kerja sama itu,” ungkap Yenni Wahid, dalam diskusi tersebut.
Bagi penulis, di tengah ketegangan
Israel-Palestina dalam konflik kawasan, yang mengkhawatirkan adalah meluasnya
anti-semitisme sebagai bentuk kegagapan memahami inti permasalahan.
Sering kali, luapan kebencian diarahkan
kepada orang-orang Yahudi, yang tidak semuanya bertanggung jawab atas
konflik. Bahwa, komunitas Yahudi sebenarnya tidak tunggal. Ada juga orang-orang
Yahudi yang menginginkan perdamaian dengan warga Muslim, baik di Palestina
maupun di kawasan Arab umumnya.
Menginiasi perdamaian di tengah konflik
memang tidak mudah. Lebih sulit lagi, mempertahankan keadaan dalam kondisi
damai, gemah ripah loh jinawi. Maka, sangat disayangkan bila ada pihak-pihak
yang memprovokasi untuk menebar kebencian dan kekerasan di negeri ini.
Saatnya kita menebar nilai-nilai Islam damai yang menyejukkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar