Pilkada
2018 dan Politik SARA
Asep Salahudin ; Staf Ahli Unit Kerja
Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila; Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya
Tasikmalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Januari 2018
BERTEMPAT di Jalan Proklamasi No 53
Menteng, Megawati Institute pada Rabu, 24 Januari 2018, menyelenggarakan
diskusi publik bertema Politik SARA dan Pilkada 2018. Di 2018, konteks
politik kita menjadi penting karena akan diselenggarakan pilkada secara
serentak. Sebanyak 171 daerah ikut terlibat dalam pilkada secara langsung.
Ada 17 provinsi, 39 kot,a dan 115 kabupaten yang akan memilih kepala daerah.
Tentu saja harapan kita pilkada itu melambangkan sistem demokrasi yang
bergerak secara benar dan menghasilkan kepala daerah yang amanah, kredibel,
dan bisa bekerja.
Demokrasi tidak hanya berhenti sebatas
kuantitatif-elektoral, tapi juga menyentuh sisi substantif kualitatifnya.
Demokrasi yang memberi kepastian bahwa tujuan bernegara dapat diwujudkan secara
saksama; memajukan kesejahateraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Narasi
kebencian
Harus diakui ada kekhawatiran bahwa
cara-cara pilgub DKI Jakarta akan di-copy paste di daerah lain. Berpolitik
dengan sentimen agama berlebihan, dan cara-cara seperti itu ternyata sangat
efektif. Massa digiring pada sebuah kondisi ketika dalam pilkada kesamaan
keyakinan dianggap segalanya walaupun calon itu tidak memiliki kapasitas,
tidak paham birokrasi, dan tidak cakap memimpin. Agama tiba-tiba menjadi 'zat
utama' dalam 'kimia politik' seraya pada saat yang sama menganggap yang liyan
yang tak sehaluan sebagai keliru dan menyimpang.
Kalau kita telaah dalam 15 tahun terakhir,
ada perebutan ruang publik yang dilakukan dua kelompok. Pertama, puritanisme
agama yang salah satunya ditandai sikap yang tertutup, eksklusif, dan selalu
terobsesi mengembalikan politik dan pola keagamaan arkaik masa lalu. Kedua,
kapitalisme konservatif yang ditengarai dari ekspresi politik ekonominya yang
dominatif dan eksploitatif.
Kedua kelompok itu menjadi ancaman masa
depan demokrasi dan kebinekaan ketika bersekutu. Satu sama lain saling
memanfaatkan. Puritanisme agama membutuhkan finansial, sementara kapitalisme
konservatif menghajatkan jaminan keamanan untuk kelangsungan seluruh kegiatan
ekonominya. Gejala kebangkitan populisme itu sesungguhnya bisa dibaca dari
sudut ini. Semacam politik yang didasarkan pada fantasi keberpihakan terhadap
'massa, 'kemurnian', 'pribumi' hanya untuk kepentingan pragmatis semata.
Populisme agama itu secara konseptual
beririsan dengan islamisme. Dalam islamisme, yang dikedepankan bukan lagi
pengembangan pengetahuan dan ikhtiar mewajahkan agama yang ramah, melainkan
juga militansi indoktrinasi agar umat selamanya dalam taklidisme dan terus
berupaya menyebarkan virus keyakinan bahwa eksistensi Islam itu hanya
terwujud kalau musuh ditaklukkan. Adapun yang disebut musuh ialah mulai kawan
seagama tapi berbeda paham sampai mereka yang dianggap tak segaris akidahnya.
Maka 'takfiri' dianggap urgen dalam rangka
membentangkan disparitas kawan dan lawan. Agar tampak 'takfiri' itu sesuai
ajaran agama maka dianggitlah secara serampangan ayat-ayat Alquran dan Hadis Nabi
yang mendukung opininya. Dimunculkannya fikih abad pertengahan ketika dunia
dibelah dalam pola dikotomi keagamaan antara wilayah aman (darul Islam) dan
wilayah musuh (darul harb).
Atas nama islamisme, tak hanya kekerasan
simbolis yang diperkenankan, kekerasan fisik juga menjadi bernilai pahala
ketika dilakukan. Di titik ini jihad begitu dominan dipromosikan dan
dipandang bagian penting yang membuktikan keluhuran agama. Dalam telaah
Olivier Roy (1996), islamisme hanyalah perhimpunan orang-orang buangan dari
modernisme yang gagal, dengan penggalangannya berdasarkan mitos kembali ke
autentisitas Islam yang sebenarnya tak pernah ada. Sebuah gerakan yang
digulirkan tanpa model politik, ekonomi, sosial yang khas dan konkret kecuali
sekadar jargon untuk menerapkan 'syariat' tanpa penjelasan utuh bagaimana
syariat itu dioperasionalkan secara teknis-sosiologis dalam birokrasi,
industri perbankan, kepartaian, dan sebagainya.
Sebuah model politik yang menuntut
ketakwaan para anggotanya. Namun, ketakwaan ini hanya bisa diperoleh lewat
mimpi bila masyarakatnya benar-benar islami. Sementara itu, persoalan laten
kemiskinan, sistem ekonomi, krisis nilai, serta kemerosotan mutu pendidikan
tidak pernah tersentuh dan tentu hal ini semakin memperjelas ilusi 'negara
Islam' itu. Agama mengalami pemiskinan makna. Langit kebebasan menjadi pudar
dan 'makna' menjadi lenyap.
Jalan
kebangsaan
Pilkada yang disulut api SARA harus kita
padamkan bersama. Pancasila semestinya menjadi--meminjam istilah Yudi
Latif--titik temu, titik tumpu, dan titik tuju segenap massa dan para calon
pemimpin. Pancasila harus menjadi tindakan politik harian kita. Nyaris dari
lima sila seluruhnya tidak kita amalkan secara simultan.
Sila pertama bergeser dari ketuhanan
universal kepada sikap keagamaan partisan. Sila kedua, kesadaran pentingnya
menjaga muruah kemanusiaan mulai terkikis. Sila ketiga, persatuan berada
dalam ancaman sekelompok orang yang tak henti menawarkan imaji 'negara
ketuhanan'. Sila keempat, kerakyatan yang menjadi oksigen demokrasi nyaris
tidak pernah diselesaikan secara musyawarah mufakat, tapi dibajak mereka yang
di belakangnya dengan terang terpampang kepentingan kapitalis dan rakyat
hanya didekati dalam hajat politik lima tahunan dan kemudian sempurnalah
absennya sila kelima: kesejahteraan dan keadilan yang semakin sayup-sayup
terdengar.
Padahal, menurut Bung Hatta, jalan
Pancasila adalah 'jalan lurus' menuju keadaban, menuju politik santun. Jalan
yang mewajibkan rakyat diposisikan sebagai 'tokoh utama' dalam seluruh
kebijakan politik dan ekonomi. Maka jelas bagi Hatta, politik itu harus
diarahkan pada proses humanisasi, memanusiakan manusia, bahwa yang dibangun
ialah rakyat. Ekonomi dan politik harus dijuruskan pada 'daulat rakyat' bukan
'daulat agama' dan 'daulat kapital'. Kita simak lebih jauh suara 'jalan
lurus' Hatta:
"Bagi kita, rakyat itu yang utama,
rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan, karena rakyat itu jantung
hati bangsa, dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendah derajat
kita. Dengan rakyat itu kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun.
Hidup atau matinya Indonesia merdeka, semuanya itu bergantung kepada semangat
rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada berarti
kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatan
dirinya," (Mohammad Hatta, Daulat Ra'jat, 20 September 1931).
Kita harus sepakat bahwa pilkada serentak
2018 semestinya tidak bermain dengan isu SARA, tapi mengedepankan politik
rasional. Politik yang ditegakkan pada upaya luhur mengamalkan Pacasila
dengan penuh penghayatan. Atau istilah Bung Karno, pada percepatan
terbumikannya politik yang berdaulat, ekonomi berdikari, dan kebudayaan yang
berkepribadian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar