Pembiayaan
Alternatif Proyek Pemerintah
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 22 Januari 2018
PEMBANGUNAN infrastruktur masih menjadi
agenda prioritas pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi,
mempersempit kesenjangan pembangunan lingkungan sosial antardaerah, serta
menggenjot daya saing nasional. Namun upaya pemerintah untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur sedang tersendat-sendat karena kantong keuangan
yang begitu terbatas.
Berulang kali pemerintah mendorong agar
pihak swasta dan masyarakat mau urunan melalui berbagai fasilitas skema
pembiayaan. Pemerintah secara berkala juga terus mempromosikan bahwa
investasi pembiayaan infrastruktur memiliki tingkat return yang menggiurkan.
Namun anehnya sampai sekarang pun belum
banyak pihak swasta yang mau terlibat di dalamnya. Padahal bukan rahasia umum
lagi bahwa sektor swasta relatif amat profit oriented.
Ada apa gerangan dengan daya tarik
investasi pembangunan infrastruktur? Mengapa sektor swasta masih enggan
menanamkan sebagian modalnya? Pertanyaan mendasar seperti inilah yang perlu
kita telisik secara lebih mendalam.
Seretnya APBN
Di awal penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 atau yang sering disebut sebagai
RPJMN Nawacita, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
memproyeksikan anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur
kurang lebih mencapai Rp4.796,2 triliun. Untuk memenuhi target tersebut
pemerintah meningkatkan alokasi untuk pembiayaan infrastruktur dengan segala
cara.
Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian
Keuangan, compound annual growth rate (CAGR) atau kenaikan anggaran tahunan
setelah tahun 2013 hingga 2018 sekitar 21,4%. Angka tersebut dihasilkan dari
perbandingan alokasi infrastruktur tahun 2013 yang pada saat itu mencapai
Rp155,9 triliun dengan alokasi di tahun 2018 yang diasumsikan mencapai
Rp410,7 triliun.
Cara pemerintah untuk menaikkan alokasi
pembiayaan infrastruktur antara lain dengan mengorbankan (mengalihkan)
subsidi energi dan menggenjot realisasi penerimaan pajak. Selain itu dana
transfer ke pemerintah daerah dan desa juga berusaha “dikunci” agar 25% di
antaranya digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Pemerintah juga berbulat tekad untuk
mengejar penguatan infrastruktur, bahkan hampir menggerus habis jatah defisit
APBN yang dipatok maksimal 3% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Akibatnya jumlah utang pemerintah pusat ikut terus menukik tajam.
Catatan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan
dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, hingga akhir 2017 total utang pemerintah sudah
sebesar Rp3.938,7 triliun atau rasionya sekitar 29,2% dari PDB. Warisan utang
di era Presiden SBY sekitar Rp2.605 triliun.
Dari data tersebut, dapat kita lihat
bahwa dalam 3 tahun terakhir jumlah utang pemerintah pusat meningkat sekitar
Rp1.333,7 triliun. Rata-rata pertumbuhan utangnya mencapai 17,07% per tahun.
Memang ini bukanlah sebuah komparasi
yang bisa diadu secara mentah-mentah. Kita perlu melihat lagi bagaimana
dampak utang terhadap kondisi ekonomi makro dan mikro.
Entah apakah memang ada korelasinya
atau hanya kebetulan selama era Presiden Jokowi laju pertumbuhan ekonomi kita
sedang melambat. Sepertinya euphoria pertumbuhan ekonomi pada level 6% ke
atas sulit terulang hingga tahun 2019. Namun pada indikator yang lain tampak
tren perbaikan dan positif.
Misalnya terkait pengendalian inflasi,
penurunan tingkat kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan antarpenduduk
(indeks rasio gini). Tren realisasi penerimaan pajak juga dalam masa-masa
yang positif dan progresif.
Akan tetapi hal tersebut tidak membuat
kebijakan yang diambil Presiden Jokowi bisa bebas dari kritikan. Bahkan
persoalan pembangunan infrastruktur ikut menjadi komoditas yang terus
menimbulkan paradoks. Percepatan pembangunan infrastruktur selalu dikaitkan
dengan pertumbuhan utang.
Perdebatan sengit mengenai pembangunan
infrastruktur sebetulnya bukan terkait fungsi dan penggunaannya. Pusat
pembahasan masyarakat lebih terkait pada persoalan tata cara pembiayaannya.
Apalagi masyarakat kita masih cenderung ignorance dengan kebijakan utang.
Selain itu multiplier effects dari
pembangunan infrastruktur juga termasuk dalam ranah perdebatan. Seharusnya
dalam jangka pendek muncul tuah positif dari adanya tahap konstruksi
infrastruktur, minimal dari sisi ketenagakerjaan. Namun sayangnya efek
normatifnya belum tampak hingga saat ini.
Agresi untuk menyerap banyak tenaga
kerja urung terjadi karena sebagian posisi tenaga kerja sudah tergantikan
dengan penggunaan teknologi konstruksi. Pemerintah kurang memperhitungkan
fenomena manusia vs mesin di dalam prosesnya.
Selain itu upah riil buruh bangunan
terus turun dari Rp65.211 per hari pada Januari 2017 menjadi Rp64.867 per
hari pada September 2017. Kita tengah menanti laporan terkini bagaimana efek
masifnya konstruksi terhadap perkembangan industri pendukungnya seperti
penyedia semen, baja, besi, dan industri-industri lain. Mudah-mudahan
dampaknya lebih sesuai dengan ekspektasi.
Menghidupkan Skema Alternatif
Kembali pada persoalan pembiayaan,
sederet upaya yang telah diunggah pemerintah ternyata belum cukup untuk
memenuhi target biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur.
Setidaknya berdasarkan kalkulasi, kemampuan APBN walaupun ditambahkan dengan
APBD kira-kira hanya mencukupi sekitar 41,3% dari total pembiayaan.
Dana sisanya diharapkan pemerintah
muncul dari uluran tangan pihak lain seperti perusahaan swasta dan BUMN agar
menghindari pertumbuhan utang. Upaya terbaru pemerintah untuk memancing minat
investasi/pembiayaan infrastruktur dilakukan melalui penyegaran kembali skema
PINA (Pembiayaan Investasi Non-Anggaran).
PINA merupakan skema pembiayaan yang
tidak melibatkan APBN atau jaminan pemerintah. Konsep yang digunakan ialah
menggandeng investor untuk menambah modal pemilik proyek. PINA menjadi
fasilitas bagi swasta dan BUMN untuk melahirkan creative dan alternative financing.
Sebelum PINA dirilis 2016 silam juga
sudah dikembangkan skema Kemitraan Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Namun kedua
skema pembiayaan tersebut masih perlu ditingkatkan pengenalannya kepada
masyarakat, dan termasuk pemerintah daerah.
Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR
mengatakan, hingga akhir 2017 kemarin investasi swasta di proyek
infrastruktur tak lebih dari 20% dari nilai total kebutuhan. Adapun hingga
2019 nanti, pemerintah menargetkan pihak swasta bisa berkontribusi hingga 32%
terhadap investasi infrastruktur nasional.
Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih
jeli menangkap faktor-faktor penghambat kemajuan investasi swasta di sektor
infrastruktur. Untuk berikutnya dibutuhkan solusi agar skema pembiayaan
alternatif bisa berjalan lebih optimal.
Pertama, merujuk pada pernyataan Ditjen
Bina Konstruksi Kementerian PUPR bahwa kalangan swasta pada umumnya masih
khawatir dengan risiko besaran biaya transaksi. Investasi domestik di
Indonesia dianggap cenderung masih kurang efisien.
Nilai incremental capital output ratio
(ICOR) sebagai parameter efisiensi investasi cenderung masih sangat tinggi.
Khusus terkait pembiayaan infrastruktur, hambatan tentang pembebasan lahan
sudah cukup menghantui.
Belum lagi dengan adanya indikasi biaya
transaksi yang muncul dari lingkungan birokrasi. Isu mark-up biaya dan
korupsi juga tak kalah mengganggunya dibandingkan dengan persoalan pembebasan
lahan.
Kedua, reformasi birokrasi dan
stabilitas politik perlu terus dijalankan. Selain terkait dengan persoalan isu
mark-up dan indikasi korupsi, pekerjaan rumah berikutnya ialah bagaimana cara
agar regulasi pembiayaan investasi bisa stabil dan tidak berubah-ubah.
Karena selama ini kita seperti terjebak
dengan adanya sebuah tradisi ketika kepemimpinan suatu rezim berakhir, maka
rezim pengganti berikutnya akan melakukan perombakan besar-besaran. Inilah
yang kemudian membuat kepastian hukum di negara kita menjadi simpang siur.
Obligasi daerah yang sempat ingin
dimasifkan sebagai alternatif pembiayaan di tingkat daerah juga terkendala
dengan hal yang sama. Belum lagi dengan persoalan tumpang-tindih kebijakan
antarkementerian, dan juga antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Reformasi birokrasi diharapkan mampu
menjembatani peraturan yang lebih mapan (stabil), tegas, dan terintegrasi
sehingga mampu memutus mata rantai korupsi.
Ketiga, perlu ada refocusing. Dengan
kapasitas pembiayaan yang terbatas, maka tidak banyak ruang untuk
menghambur-hamburkan biaya pembangunan di setiap wilayah. Perlu dihitung lagi
dengan cermat wilayah mana saja yang dapat menguntungkan secara ekonomis
maupun politis. Misalnya terkait dengan pembangunan jalan trans-Papua atau
trans-Sumatra.
Setelah nantinya terbangun dengan
megah, pertimbangannya adalah aktivitas ekonomi apa saja yang akan muncul,
berapa banyak tenaga kerja yang akan terserap? Pilihan-pilihan tersebut akan
terus dipertimbangkan dari segala aspek untuk menjadi pilihan terbaik bagi
semua.
Dan keempat, dibutuhkan koordinasi
dengan otoritas moneter terkait dengan kebijakan kredit modal. Dana untuk
tahap konstruksi bisa dibilang sangat besar dan mungkin melebihi likuiditas
yang dimiliki para calon investor sehingga kredit perbankan amat dibutuhkan
untuk menutupi kekurangan modal.
Pemerintah memang sudah memfasilitasi
dengan adanya penjaminan kredit. Akan tetapi hambatan lainnya ialah terkait
dengan durasi pengembaliannya. Rata-rata pembayaran cicilan utang dan
bunganya juga dalam jangka pendek.
Sementara itu pengembalian investasi
dari pembangunan infrastruktur biasanya baru diterima dalam jangka panjang.
Dibutuhkan sebuah solusi yang jitu atas permasalahan ini, agar masing-masing
pihak baik itu perbankan ataupun investor tidak saling terjebak dalam risiko
likuiditas.
Sekali lagi, tahun 2018 ini merupakan
periode penting bagi pembangunan infrastruktur yang sudah dimulai sejak 2
tahun lalu untuk menunjukkan dampak dan hasil yang signifikan bagi
masyarakat. Strategi pembangunan Nawacita perlu menunjukkan hasil yang
konkret dan ini membutuhkan kerja bareng seluruh komponen bangsa, dengan
mengurangi kegaduhan, saling curiga, dan jegal-menjegal. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar