Rabu, 31 Januari 2018

Dilema Menghadapi Transportasi Daring

Dilema Menghadapi Transportasi Daring
Rahma Sugihartati  ;  Dosen Masyarakat Informasi FISIP Universitas Airlangga
                                            MEDIA INDONESIA, 31 Januari 2018



                                                           
DI era perkembangan masyarakat digital, kehadiran transportasi daring ialah hal yang tidak terhindarkan. Dalam beberapa tahun terakhir, tidak sedikit warga masyarakat yang telah merasakan keuntungan menggunakan transportasi daring yang relatif murah dan mudah diakses. Berkat kehadiran transportasi daring, bukan saja pilihan masyarakat mencari transportasi publik menjadi lebih beragam, melainkan juga mereka memiliki kesempatan untuk menghindar dari tarif taksi konvensional dan tarif ojek yang lebih mahal. Di berbagai kota besar, selama ini biaya yang ditanggung masyarakat untuk fasilitas transportasi publik cenderung makin mahal.

Bayangkan, siapa yang tak senang jika naik taksi konvensional, warga kota yang pergi dari rumah ke bandara udara biasanya harus mengeluarkan uang sekitar Rp150 ribu, dengan adanya taksi daring, mereka kini cukup mengeluarkan uang sekitar Rp60 ribu-Rp70 ribuan atau sekitar separuh dari tarif taksi konvensional. Berkat kehadiran transportasi daring, biaya transportasi yang mesti ditanggung masyarakat sedikit-banyak mulai berkurang sehingga wajar masyarakat saat ini banyak yang merasa dimudahkan dan diringankan berkat kehadiran transportasi daring.

Masalah di lapangan

Ketika pelan-pelan kehadiran transportasi daring menjadi primadona dan dirasa mulai mengurangi kapling rezeki transportasi konvensional, keresahan pun lantas muncul di sejumlah daerah. Tidak hanya di DKI Jakarta, di berbagai kota lain kehadiran transportasi daring dalam beberapa tahun terakhir mulai mengalami penolakan, bahkan perlawanan yang keras dari para pelaku transportasi konvensional. Pemasukan dan penghasilan harian sopir taksi konvensional dan ojek-ojek konvensional yang belakangan ini turun drastis menjadi pemicu munculnya konflik di antara pelaku transportasi daring dengan transportasi konvensional.

Untuk mencegah konflik antarpelaku transportasi daring dan konvensional semakin merebak, pada 2017 pemerintah sebetulnya sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan No 26/2017. Sejak aturan itu diberlakukan, situasi di lapangan sebetulnya mulai kondusif. Namun, ketika peraturan ini dicabut, status keberadaan angkutan sewa khusus menjadi tidak jelas dan sangat rawan menimbulkan kembali gesekan horizontal. Setelah menggelar rangkaian diskusi yang melibatkan berbagai pihak, pemerintah mulai 1 Februari 2018 kembali menerapkan aturan baru, yakni Peraturan Menteri Perhubungan No 108/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak Dalam Trayek. Tujuan aturan baru itu, selain menjamin status transportasi daring, sekaligus mengatur agar tidak terjadi potensi gesekan antara pelaku transportasi daring dengan konvensional.

Meskipun sudah disosialisasikan, karena aturan baru dinilai banyak mengurangi ruang gerak transportasi daring, dan bahkan berisiko membahayakan keselamatan pelaku transportasi daring, aturan yang diberlakukan pada 1 Februari 2018 itu pun menuai resistensi dari pelaku transportasi daring. Di berbagai kota, ratusan atau bahkan ribuan pelaku transportasi daring menggelar aksi unjuk rasa, Senin (29/1), untuk menentang pemberlakuan Permenhub No 108/2017 karena aturan itu dinilai berpotensi merugikan pelaku transportasi daring.

Selain mempersoalkan jatah kuota transportasi daring di tiap-tiap kota yang dinilai jauh lebih sedikit daripada jumlah transportasi daring yang ada di lapangan, sebagian besar pelaku transportasi daring menolak pemasangan stiker dan logo Kemenhub serta menolak uji kir. Kewajiban pemasangan stiker transportasi daring dinilai bisa berpotensi membahayakan keselamatan mereka di jalan raya karena tidak tertutup kemungkinan akan menjadi sasaran ketidakpuasan dari pelaku transportasi konvensional yang merasa dirugikan karena kehadiran transportasi daring. Dengan diwajibkannya pemasangan stiker yang memperlihatkan identitas mereka sebagai transportasi daring, dikhawatirkan itu justru menjadikan mereka sebagai sasaran empuk jika terjadi konflik terbuka di lapangan.

Dilema pemerintah

Menyikapi aksi unjuk rasa yang digelar di berbagai kota dan aspirasi pelaku transportasi daring tentu bukan hal yang mudah bagi pemerintah. Posisi pemerintah dalam kasus ini boleh jadi serbadilematis. Di satu sisi, jika pemerintah membiarkan pelaku transportasi daring beroperasi tanpa batas, jelas hal itu akan berisiko mematikan ladang mata pencaharian pelaku transportasi konvensional. Di sisi lain, jika pemerintah mempertimbangkan aspirasi pelaku transportasi konvensional, bukan tidak mungkin hal itu akan merugikan masyarakat sebagai pengguna layanan transportasi publik yang menginginkan tarif yang lebih murah dan mudah.

Di mana dan bagaimana pemerintah harus bersikap menghadapi situasi yang dilematis seperti di atas, tentu itu bergantung pada kebijakan dan kepentingan yang menjadi pertimbangan utama pemerintah sebelum memutuskan sikap. Saat ini pemerintah tampaknya lebih memilih jalan tengah, yakni menjembatani dua kepentingan yang bertolak-belakang agar tidak saling mematikan. Menerapkan Permenhub No 108/2017 dalam pandangan pemerintah ialah jalan tengah yang paling kompromistis. Namun, lebih dari sekadar persoalan kepastian payung hukum, potensi pergesekan antara pelaku transportasi daring dan konvensional sebetulnya ialah konsekuensi tidak terhindarkan dari proses perubahan masyarakat menuju era digital.

Dengan penerapan aturan yang kompromistis ini, memang untuk sementara waktu potensi konflik dapat diredam. Namun, dengan memahami proses perubahan masyarakat menuju ekonomi informasional--termasuk transportasi daring--sebagai hal yang tidak terhindarkan, sudah semestinya pemerintah memikirkan langkah terobosan yang lebih efektif untuk memfasilitasi proses perpindahan okupasi bagi pelaku transportasi konvensional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar