Kriminalisasi
LGBT
Andi Saputra ; Pemerhati Hukum
|
DETIKNEWS,
24 Januari
2018
Perdebatan apakah LGBT perlu dipidana atau
tidak kembali mengemuka beberapa waktu terakhir. Dipicu putusan Mahkamah
Konstitusi (MK), bola panas itu kini bergulir ke DPR.
Kriminalisasi
Secara bebas, kriminalisasi dapat
didefinisikan proses menjadikan perbuatan yang bukan perbuatan pidana menjadi
sebuah bentuk kejahatan baru. Semakin besar proses kriminalisasi, maka
semakin besar pula bentuk kejahatan dan semakin banyak pula angka kejahatan.
Sebagai contoh, pada 2005 seseorang
menggunakan uang dari hasil kejahatan untuk digunakan modal bisnis legal
bukanlah kejahatan. Seorang bandar narkoba bisa membuka toko baju atau
restoran dengan modal dari jualan narkoba.
Tapi, pasca diundangkannya UU Tindak Pidana
Pencucian Uang pada 2012, perbuatan tersebut adalah kejahatan. Proses
perumusan perbuatan mencuci uang dari yang dulunya legal menjadi bentuk
kejahatan baru, itulah yang disebut dengan kriminalisasi.
Lembaga yang berhak mengkriminalisasikan
sebuah perbuatan adalah legislatif. Hal itu sesuai dengan tugas dan fungsinya
yang diberikan oleh UUD 1945.
Namun, belakangan terjadi latah penggunaan
istilah kriminalisasi. Yaitu, mencampuradukkan istilah kriminalisasi dengan
istilah penegakan hukum. Di mana penegakan hukum dilakukan oleh aparat
penegak hukum, baik penyidik Polri, jaksa, KPK atau pun PPNS.
Proses penegakan bukanlah proses
kriminalisasi karena penegakan hukum itu tidak membuat bentuk pidana baru.
Bila masyarakat tidak setuju dengan proses tersebut, maka bisa menggugat
aparat penegak hukum ke pengadilan lewat jalur praperadilan.
Masyarakat yang tidak setuju atas sebuah
penetapan tersangka, maka ia dapat menggugat penyidik. Kewenangan penyidik
terus diaudit lewat berbagai proses, dari praperadilan, putusan sela, hingga
pascaputusan.
Dalam tulisan ini, LGBT ditujukan sebagai
perbuatan homoseksual yang dilakukan oleh sesama orang dewasa.
LGBT
adalah Kejahatan
Dalam proses legislasi di parlemen,
paradigma terpecah ke dalam beberapa kelompok besar. Salah satunya adalah
pandangan LGBT adalah kejahatan sehingga harus dipidana. Bentuk sanksi
pidananya berupa penjara.
Kelompok ini menggunakan pembenar dari
langit yaitu kitab suci telah melaknat dan mengutuk LGBT sejak zaman dahulu
kala. Kebenaran langit itu kemudian menggaris batas tegas, mana moral dan
mana yang amoral.
Alasan lain yaitu LGBT menjadi salah satu
kelompok yang rentan terkena HIV/AIDS. Disusul alasan kuantitatif yaitu
menarik angka mayoritas dan minoritas: masyarakat dunia mayoritas heteroseks.
Langkah terakhir, kebenaran langit itu
harus diperjuangkan lewat gerakan politik. Puncaknya merumuskan dan
mengkonstruksikannya menjadi sebuah UU.
LGBT
sebagai Fitrah
Di kelompok lain, mereka memandang LGBT
merupakan fitrah dan bagian dari sejarah yang terelakkan. LGBT ada dan akan
terus ada sebagai sebuah fitrah manusia. LGBT ada sepanjang sejarah manusia
itu sendiri.
Manusia otonom untuk memilih dirinya
menjadi heteroseks atau homoseks. Oleh sebab itu, LGBT bukanlah bentuk
perbuatan pidana. Sepanjang sudah dewasa dan bisa menentukan pilihan, maka manusia
tidak bisa dipidana atas pilihan orientasi seksualnya.
Alasan menolak lainnya yaitu pidana LGBT
akan menimbulkan masalah baru yaitu dalam penegakan hukumnya. Seperti
pembuktian, bentuk sanksi pidana hingga proses pemasyarakatannya.
LGBT
Tabu
Di tengah irisan yang hitam-putih di atas,
ada juga yang mengakui bahwa LGBT ada di dalam masyarakat, tapi
mempertanyakan apakah hukuman pidana merupakan hukuman yang tepat. Pidana
adalah upaya hukum terakhir dalam sebuah sistem hukum, masih ada sanksi-sanksi
lain yang bisa dipakai untuk menertibkan sebuah masyarakat.
Ketidakteraturan masyarakat, tidak
selamanya harus dipikul oleh hukum pidana dan negara. Masih ada keluarga,
tokoh masyarakat, RT, kepala adat, tokoh agama, dan sebagainya untuk
mengontrol penyimpangan sosial dalam masyarakat.
Hukuman ke LGBT akhirnya berupa sanksi
sosial seperti didiskriminasikan oleh masyarakat, dikucilkan atau tidak
diberikan tempat dalam jabatan publik.
LGBT yang dilakukan sesama orang dewasa,
bukan kejahatan, tetapi perbuatan tabu. Alhasil, mengkampanyekan LGBT menjadi
perbuatan terlarang karena mengkampanyekan perbuatan tabu. Sehingga yang
dipermasalahkan adalah propagandanya, bukan LGBT-nya.
Masa
Depan KUHP Baru
Dari tiga konstruksi di atas, maka segala
kemungkinan akan terjadi di parlemen. Pertama, LGBT akan menjadi sebuah
kejahatan baru. Kedua, LGBT bukan sebagai kejahatan, tapi hanya menjadi
kejahatan bila melibatkan anak-anak. Paling ekstrem, meski sangat kecil
kemungkinannya, parlemen memberikan hak-hak keperdataan kepada LGBT.
Namun, dengan melihat dinamika politik
menjelang Pilpres-Pileg 2019, bisa jadi KUHP akan terbengkalai dan akan mulai
dari 0 lagi pada periode parlemen 2019-2024. Bukankah naskah ini teronggok
sejak tahun 80-an silam?
Dalam narasi besar Rancangan KUHP, LGBT
adalah narasi kecil yang membuat hukum pidana Indonesia semakin gemuk. Masih
banyak narasi kecil yang membuat Rancangan KUHP terseok-seok seperti
eksistensi hukum adat, pasal santet, hingga pasal kumpul kebo. Belum lagi
benturan dan gesekan dengan UU yang terbarukan.
Jangan sampai kencing sembarangan pun jadi
delik kejahatan dan dipenjara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar