SARA
di Tahun Politik
Masdar Hilmy ; Guru Besar Ilmu Sosial;
Wakil Direktur
Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
|
KOMPAS,
25 Januari
2018
Memasuki tahun politik 2018, sinyal kewaspadaan
dini atas kapitalisasi isu SARA harus kita tingkatkan. Jika dibiarkan,
kapitalisasi isu SARA—terutama isu agama dan kesukuan—tidak saja dapat
menimbulkan kegaduhan sosial, tetapi juga dapat mengoyak soliditas kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Harus diakui, isu-isu suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) merupakan ”duri dalam daging” dalam tubuh keindonesiaan
kita yang sewaktu-waktu dapat dieksploitasi para pialang dan petualang
politik demi meraih keuntungan jangka pendek.
Kewaspadaan tingkat tinggi perlu
ditancapkan karena gelombang pilkada serentak di 171 daerah akan menjadi
medan sempurna bagi kapitalisasi isu-isu SARA. Di balik setiap isu SARA,
pasti ada kapitalisasi politik oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan
jangka pendek. Sejauh ini, Indonesia terbukti sintas menghadapi efek
destruktif politik SARA.
Pilkada DKI tahun lalu menjadi test case
mutakhir bagi daya tahan dan daya lentur bangsa ini menghadapi gempuran
politik SARA. Meski demikian, kita tidak boleh lengah dan jemawa terhadap
kemungkinan politisasi SARA dalam skala yang lebih besar.
Moda
produksi
Politisasi agama di ruang publik
dimungkinkan terjadi karena demokrasi meruangkan kontestasi nilai-nilai
keyakinan keagamaan. Dalam situasi semacam ini, medan politik dilihat oleh
individu atau kelompok kepentingan sebagai sebuah moda produksi (mode of
production) yang menjanjikan keuntungan, baik yang bersifat materi (tangible)
maupun imateriil (intangible).
Layaknya sebagai sebuah pasar,
proses-proses politik elektoral melibatkan sejumlah elemen dasar: produsen
atau penjual (elite politisi), pembeli (masyarakat pemilih), barang dagangan
(isu SARA), dan keuntungan.
Titik perjumpaan antara komodifikasi agama
dengan realitas politik terletak pada isu-isu keagamaan yang menjadi bagian
dari kepercayaan atau iman.
Dalam konteks ini, para pialang politik
memang diberi ”kelebihan” untuk mampu mengidentifikasi secara jeli isu-isu
mana yang dapat dimanfaatkan sekaligus dijadikannya sebagai amunisi politik
dalam sebuah kontestasi elektoral. Tentu saja pemanfaatan isu-isu SARA
terjadi dalam konteks kapitalisasi, eksploitasi, dan komodifikasi iman untuk
meraih kemenangan politik (baca: keuntungan jangka pendek).
Masyarakat pemilih berperan sebagai pihak
pembeli yang mudah terpesona oleh isu-isu politik yang dibungkus narasi
keagamaan sebagai sebuah ”investasi” akhirat yang menjanjikan pahala dan
surga. Meminjam kerangka teoretik Weberian, perilaku memilih masyarakat
konsumen yang demikian didorong oleh motif-motif tradisional dan afektual,
bukan pilihan rasional.
Saya menduga, tipologi pemilih tradisional
dan afektual di negeri ini jumlahnya relatif signifikan. Berkaca dari Pilkada
DKI tahun lalu, kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno salah satunya
ditentukan oleh mobilisasi kelompok pemilih jenis ini.
Masyarakat pemilih tradisional dan afektual
memang mudah terkecoh oleh narasi agama. Mereka mudah sekali menjatuhkan
pilihan politik atas dasar argumentasi agama, terlebih jika dijustifikasi
oleh teks suci. Artinya, mereka mengalami miopia politik: tidak lagi mampu
mengenali mana yang agama dan mana yang politik. Keduanya dianggap sama dan
satu berkat kelihaian para pialang politik ataupun elite agamawan meramu dan
melegitimasi isu tersebut.
Mereka berasumsi, jika sebuah keputusan politik
dijustifikasi oleh kitab suci, tidak ada alternatif lain kecuali menaatinya
tanpa sikap cadangan.
Di sisi lain, realitas agama bagi sejumlah
elite agamawan berlaku seperti ”pasar” yang juga menjanjikan keuntungan. Kata
Laurence R Iannacone (1995: 77), ”The combined actions of religious consumers
and religious producers form a religious market that, like other markets,
tends toward a steady-state equilibrium”. Perilaku konsumen (masyarakat
pemilih) dan produsen keagamaan (elite politik dan/atau agamawan) membentuk
sebuah pasar yang cenderung bergerak ke arah keseimbangan atau
ekuilibrium.
Padahal, politisasi dan kapitalisasi
keyakinan keagamaan dapat menjadi penghalang utama bagi terciptanya demokrasi
penuh (full-fledged democracy) (Amal Jamal, 2013:105). Ketika masyarakat
pemilih sudah dimobilisasi atas dasar politik identitas dan populisme, yang
muncul adalah komodifikasi kebencian, intoleransi pikiran dan tindakan, serta
segregasi dan favoritisme politik demi sebuah kemenangan semu.
Ketika hal ini terjadi, terciptanya sebuah
masyarakat majemuk yang saling toleran dan saling menghargai perbedaan
sebagaimana digaransi oleh demokrasi penuh makin jauh panggang dari api.
Pendewasaan
demokrasi
Apa pun pilihan yang dijatuhkan oleh
masyarakat pemilih dalam proses elektoral memang sudah membuat sebuah
demokrasi dikategorikan sehat. Dalam konteks ini, meski didasarkan atas motif
tradisional dan afektual, setiap pilihan sudah memenuhi syarat bagi sahnya
sebuah demokrasi.
Dalam sebuah demokrasi elektoral, every
vote counts. Setiap suara penting karena dapat mengantarkan kemenangan. Dalam
konteks ini, setiap pemilih niscaya akan diperlakukan secara istimewa sebagai
penyumbang pundi-pundi kemenangan oleh para elite politik. Dari sinilah
politik identitas dan populisme keagamaan dikapitalisasi untuk mengagregasi
suara politik.
Meski demikian, kondisi demokrasi yang
tercipta dari proses elektoral semacam ini bukanlah demokrasi ideal,
demokrasi penuh, atau demokrasi maksimalis, melainkan demokrasi
minimalis-prosedural. Demokrasi semacam ini tentu saja tidak berkorelasi
langsung terhadap perbaikan kualitas kehidupan publik dalam mengatasi
berbagai persoalan yang ada, seperti kemiskinan, disparitas sosial-ekonomi,
pengangguran, kriminalitas, dan gizi buruk.
Mestinya, jenis demokrasi yang kita
harapkan mampu melampaui demokrasi minimalis menuju demokrasi penuh atau
maksimalis.
Untuk mewujudkan demokrasi penuh,
pilihannya adalah pendewasaan demokrasi. Demokrasi menjadi dewasa bukan saja
karena proses elektoral dapat berjalan secara damai, bebas, dan rahasia.
Lebih dari itu, demokrasi yang dewasa sangat ditentukan oleh kualitas pilihan
warga pemilih yang terefleksi dalam setiap pilihan mereka atas dasar
rasionalitas yang mumpuni.
Dalam konteks isu agama, kualitas pilihan
politik bukan ditentukan apakah pilihannya telah dijustifikasi oleh bunyi
teks suci secara harfiah, melainkan oleh kemaslahatan dan kebajikan publik
(al-maslahah al-’ammah) yang senantiasa menjadi roh setiap doktrin agama.
Elite politik dan agamawan sesungguhnya
bertanggung jawab melakukan pendewasaan demokrasi warga pemilih, bukan malah
melakukan eksploitasi, kapitalisasi dan komodifikasi isu SARA. Yang perlu
disadari bersama, kemaslahatan dan kebajikan publik sering kali bersifat
tersembunyi, implisit, dan kontekstual. Persoalannya, mereka sering kali
mendefinisikan a sense of authenticity (al-ashalah) sebagai yang tertulis
secara tekstual, eksplisit, dan harfiah.
Seturut dengan itu, mereka lebih suka
melakukan tekstualisasi konteks ketimbang kontekstualisasi teks. Akibatnya,
kapitalisasi dan komodifikasi agama di ruang publik selalu berulang di setiap
proses politik elektoral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar