Menolak
Propaganda Politik LGBT
Aminuddin ; Analis Politik pada
Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi; Alumnus UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
23 Januari
2018
Perbincangan Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender (LGBT) menjadi sangat serius dalam diskursus politik kita. Hal
ini terjadi karena Ketua Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) Zulkifli Hasan
menyinggung undang-undang LGBT. Dalam sosialisasi pilar kebangsaan di salah
satu kampus Jawa Timur, Zulkifli Hasan menyinggung bahwa ada lima fraksi yang
menyetujui UU LGBT.
Diakui atau tidak, keberadaan LGBT dianggap
sebagai penyakit sosial yang harus dibasmi hingga akar-akarnya. Keberadaan
LGBT yang minoritas pun tidak bisa berbuat apa-apa. Kurangnya perjuangan dan
gerakan kelompok ini, membuat eksistensinya tergerus oleh opini publik.
Padahal, jika negara berpikir jernih, penolakan LGBT tidak seharusnya menjadi
polemik yang mengalahkan isu-isu mutakhir, seperti kasus hukum, ekonomi,
budaya, kemiskinan, dan lainnya.
Uraian ini tidak akan membahas bagaimana
eksistensi LGBT dan bagaimana gelombang penolakan dari publik. Akan tetapi,
sedikit mengurai bagaimana perjuangan politik LGBT. Artinya, fenomena LGBT
ini sudah bukan hal tabu di angkasa bumi ini, melainkan sudah menjadi bagian
dari isu politik. Mengapa isu politik? Di negara yang mayoritas Muslim
seperti di Indonesia, komunitas LGBT memang keras dilarang. Bahkan, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan stempel sesat bagi komunitas ini.
Namun, jika berkaca pada negara-negara
Barat, LGBT bukan sekadar persoalan agama. Namun, sudah menjadi bagian dari
komoditas politik. Bahkan, tidak jarang kepala negara melakukan pernikahan
sejenis sehingga dapat memengaruhi undang-undang. Pada akhirnya, UU
pernikahan sejenis dilegalkan.
Fenomena telah terjadi di negara kecil
Eropa, Luksemburg. Menteri Luksemburg Xavier Bettel dengan pasangannya
Gauthier Destenay telah melakukan pernikahan sejenis. Pernikahan ini tidak
kalah meriahnya dengan resepsi Pangeran William dan Kate Middleton. Tentunya
pernikahan tersebut disambut meriah oleh publik karena dianggap keran
kebebasan hak asasi telah terbuka.
Sedangkan di Amerika Serikat, perjuangan
politik LGBT tidak berjalan mulus. Seorang hakim bernama Anthony Kennedy
awalnya mendapat penolakan. Mengingat masifnya dorongan tentang keberadaan
undang-undang ini, akhirnya undang-undang ini disahkan.
Perayaan kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli
2015 bagaikan kemenangan bagi kaum LGBT di Amerika Serikat. Pasalnya, 26
Juni sebelumnya, Supreme Court Amerika Serikat memutuskan bahwa konstitusi
Amerika menjamin pernikahan sesama jenis (Arifki, 2016).
Di negara-negara sekuler, seperti Amerika,
Belanda, Luksemburg, pernikahan sejenis sudah dianggap hal yang wajar.
Bahkan, media sudah tidak canggung lagi memberitakan pernikahan sesama jenis.
Ini berbeda dengan di Indonesia. Kendati banyak yang mengampanyekannya
seperti para artis, keberadaannya tetap ditolak karena dianggap bertentangan
dengan norma agama.
Dalam realitas politik di Indonesia,
perjuangan politik LGBT tidak mendapat tempat. Ini dibuktikan dengan
keberadaan UU Perkawinan No 1/1974 sebagai dasar perkawinan semua manusia
Indonesia, yaitu antara laki-laki dan perempuan. Tentunya, UU tersebut
merupakan produk politik di parlemen sehingga tidak ada ruang bagi LGBT untuk
eksis.
Kuatnya paradigma agama dan hukum yang
menyatakan bahwa pernikahan sesama jenis, membuat kekuatan hukum tidak pernah
digubris. Tidak adanya payung hukum hasil perjuangan politik di parlemen
membuat komunitas LGBT tertindas. Hingga kini, atau bahkan 10 tahun
berikutnya, perjuangan LGBT tidak akan pernah berhasil. Selain dianggap
menentang agama dan norma hukum, komunitas LGBT juga menyimpang adat lokal.
Menolak
LGBT
Yang jelas, pemberitaan terkait LGBT dalam
beberapa hari terakhir ini mengonfirmasi bahwa perjuangan LGBT sudah mulai
tumbuh. Perjuangan untuk hidup layaknya manusia normal lainnya akan tetap
disuarakan oleh komunitas ini.
Berkaca pada negara-negara Eropa,
perjuangan LGBT memang mengalami hambatan. Namun pada akhirnya, negara lunak
oleh konsistensi dan semangat perjuangan politik LGBT.
Untuk itu, ini menjadi tantangan bagi
perpolitikan Indonesia untuk memosisikan diri sebagai otoritas tunggal.
Perjuangan politik LGBT harus segera direspons dengan baik. Artinya, parlemen
sebagai pembuat legislasi harus mampu menjadi benteng terakhir. Mereka harus
tunduk kepada amanat Undang-Undang 1945 dan semangat Pancasila sebagai dasar
UU lainnya.
Di sisi lain, negara sah-sah saja menolak
propaganda LGBT. Namun yang jelas, manusianya harus dilindungi. Ini sama
halnya dengan ideologi sesat yang baru-baru ini berkelindan. Ideologi sesat
harus di lawan dan ditolak dengan keras.
Namun, manusianya tidak boleh ditolak. Mereka
harus dilindungi sebagai warga negara. Begitu juga dengan manusia LGBT yang
tidak boleh ditindas ataupun didiskriminasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar