Ketua
Tanpa Marwah
Abdul Ghoffar Husnan ; Peneliti Mahkamah
Konstitusi
|
KOMPAS,
25 Januari
2018
Akhir 2017, dalam pertemuan tentang rencana
strategis Mahkamah Konstitusi, Ketua MK Arief Hidayat menegaskan pentingnya
meningkatkan kepercayaan publik. Hal itu disampaikannya secara berulang di
hadapan para pejabat dan pegawai MK yang hadir, termasuk saya.
Saya sangat setuju dengan anjuran itu,
mengapa? Sebab, kekuatan utama dari lembaga peradilan bukanlah senjata atau
uang, melainkan kepercayaan publik. Sebuah peradilan akan dipatuhi putusannya
jika lembaga tersebut tepercaya. Sebaliknya, tanpa kepercayaan masyarakat,
apa pun putusannya akan ditertawakan, diolok-olok,dan tidak dianggap.
Namun, hanya selang sebulan, kepercayaan
publik itu kembali hancur. Kali ini bukan gara-gara ulah pegawai yang
melenyapkan berkas perkara, melainkan karena ulah sang ketua sendiri.
Sebagaimana ramai diberitakan media massa,
tanggal 11 Januari, Dewan Etik telah menuntaskan pemeriksaan etik atas hakim
terlapor, dalam hal ini Ketua MK. Hasilnya, Ketua MK terbukti melakukan
pelanggaran ringan terhadap kode etik perilaku hakim konstitusi.
Pelanggaran ini bukan kali pertama. Pada
2016, Ketua MK juga dijatuhi sanksi serupa dalam perkara pemberian
”katebelece” kepada seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek kepada Jaksa
Agung Muda.
Pasti ada pembelaan dan perasaan tidak
bersalah yang muncul dari Ketua MK. Akan tetapi, bukankah sudah disepakati
bahwa Dewan Etik dibentuk untuk mengawasi para hakim? Apa pun putusannya
harus diterima dengan lapang dada. Toh,wahana pembelaan diri juga sudah
diberikan di depan sidang Dewan Etik. Apa pun hasil akhirnya, itulah putusan
legal yang sah.
Arief bukan satu-satunya hakim konstitusi
yang pernah dijatuhi sanksi etik. Tahun 2011, misalnya, Hakim Konstitusi
Arsyad Sanusi juga bernasib sama. Majelis Kehormatan (sebelum terbentuk Dewan
Etik) saat itu menyatakan, Arsyad
dianggap melanggar kode etik ringan karena membiarkan anggota keluarganya
berhubungan dengan pihak berperkara.
Namun, berbeda dengan Arief, sesaat setelah
putusan diumumkan, Arsyad Sanusi langsung menyatakan mengundurkan diri dari
jabatan hakim konstitusi.
Memperkuat
Dewan Etik
Dalam rangkaian pemeriksaan etik,
sebagaimana pengalaman penulis terlibat dalam pemeriksaan etik terhadap Akil
Mochtar dan Patrialis Akbar, kesulitannya adalah dalam hal pembuktian.
Lembaga ini bukanlah lembaga aparat penegak hukum yang berwenang memanggil
paksa atau menyadap komunikasi.
Hasilnya bisa kita lihat. Dalam banyak
pemeriksaan, lembaga seperti Dewan Etik atau Majelis Kehormatan hanya
mengandalkan pada ”kebaikan” para saksi yang mau hadir bersaksi. Jika saksi
tidak mau hadir, tidak ada yang bisa dilakukan.
Dalam kasus pelanggaran etik Arief yang
kedua, misalnya, saya mendengar ada beberapa saksi dari anggota DPR dipanggil
hadir. Namun, dengan berbagai alasan—termasuk beralasan hak imunitas—mereka
tak hadir dalam pemeriksaan. Hanya tiga orang yang hadir. Itu pun satu mengaku
tidak mengetahui secara langsung. Begitu juga dalam kasus pemeriksaan etik
lainnya.
Tidak mudah bagi Dewan Etik menghadirkan
saksi yang dibutuhkan.
Oleh karena itu, ke depan, perlu
dipertimbangkan agar lembaga ini diperkuat. Dalam UU terbaru MK, pengaturan
Dewan Etik masih minim, baik dalam keorganisasian maupun dukungan dalam
menjalankan tugas.
Sebagai lembaga yang bertugas menjaga
harkat dan martabat hakim konstitusi, lembaga ini hanya digawangi oleh dua
staf. Dalam bayangan saya, dalam menjalankan tugas, Dewan Etik seharusnya
dibantu staf administrasi setingkat eselon 2.
Lembaga ini juga perlu tambahan taji
kewenangan. Untuk memudahkan menjalankan tugas, ke depan perlu
dipertimbangkan kewenangan untuk memanggil siapa pun yang dianggap tahu kasus
yang sedang ditangani, bila perlu dengan cara paksa. Mengingat banyak kasus
yang mendera MK, perlu juga kewenangan penyadapan 24 jam terhadap para hakim
konstitusi.
Saya membayangkan, para hakim konstitusi
tersebut, selama menjabat, seperti hidup dalam rumah kaca. Segala
gerak-geriknya terpantau dan terawasi. Sebelum mencalonkan diri, mereka harus
mengetahui konsekuensi tersebut. Ibarat mau pentas dalam sebuah pertunjukan,
para pemain sudah mengerti konsekuensi dari perannya. Begitu juga dengan
seorang hakim.
Jika mereka tidak ikhlas kebebasannya
berkurang, jangan pernah bermimpi menjadi hakim konstitusi. Saya meyakini
masih banyak orang hebat dan pintar di luar sana yang siap 24 jam disadap
ketika terpilih menjadi hakim konstitusi. Satu-satunya ruangan yang tidak
boleh disadap adalah Ruang Permusyawaratan Hakim untuk menjaga kerahasiaan
sebuah putusan.
Hakim
juga manusia
Mengapa cara ekstrem itu dilakukan? Sebab,
mereka juga manusia. Dalam beberapa kasus, mereka tergoda. Akil Mochtar dan
Patrialis Akbar adalah contoh nyata bahwa mereka manusia biasa yang gampang
tergelincir ke lubang kesalahan.
Dua kali melanggar etik sebagaimana
dilakukan Arief Hidayat saat ini, juga merupakan bukti tak terbantahkan kalau
lembaga ini bukan diisi para malaikat. Oleh karena itu, memperkuat sistem
kontrol adalah harga mati.
Lebih dari itu, pengawasan atau kontrol
atas hakim konstitusi harus di atas profesi lain. Sebab, ludah
mereka—mengutip Satjipto Rahardjo—adalah ludah api (idu geni). Di atas
putusan mereka hanya ada langit. Karena itu, sangat berbahaya jika pemilik
idu geni itu ternyata bukan negarawan yang sebenar-benarnya.
Saya tak pernah khawatir terhadap para
negarawan yang dipancari sinar ketuhanan. Namun, yang saya khawatirkan,
masuknya para negarawan administrasi, atau negarawan hasil lobi. Untuk yang
terakhir itu, Dewan Etik harus terus memantau karena pertaruhannya adalah
putusan MK yang akan ditanggung 250 juta penduduk Indonesia.
Oleh karena itu, menyikapi putusan Dewan
Etik untuk yang kedua kalinya, seharusnya Arief Hidayat mundur. Ibarat
permainan sepak bola, akumulasi dua kartu kuning adalah kartu merah. Secara
gentleman iaharus menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat, lalu
mengundurkan diri.
Arsyad Sanusi adalah contoh seorang
kesatria bagaimana seorang hakim konstitusi harus bersikap dalam
mempertanggungjawabkan sebuah kesalahan. Jika pernyataan mundur itu tidak
segera dilakukan, lembaga ini sulit mendapatkan kepercayaan publik. Kalau
marwah itu sudah hilang, buat apa juga ngotot bertahan menjadi Ketua MK.
Salam! ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus